Di luar dugaan, kesebelasan negara Belgia berhasil mengalahkan juara dunia lima kali, Brasil, pada perempat final Piala Dunia 2018, 7 Juli lalu. Gol bunuh diri Fernandinho serta sepakan Kevin De Bruyne membawa mereka ke semifinal sekaligus mengulangi catatan yang pernah dilakukan seniornya pada 1986 lalu.

Salah satu faktor keberhasilan Belgia terletak pada solidnya permainan mereka meski sepanjang 90 menit mereka selalu berada di bawah tekanan. Penampilan cemerlang Thibaut Courtois serta lima pemain belakang membuat Neymar dan Gabriel Jesus begitu frustrasi dan hanya mencetak satu gol saja.

Lini tengah mereka pun tidak kalah apiknya. Ketika Neymar, Willian serta Douglas Costa mencoba melakukan cut inside, mereka selalu terbentur tembok kokoh yang digawangi dua pemain berambut mirip yaitu Axel Witsel dan Marouane Fellaini.

Nama yang disebut terakhir menjadi sorotan karena dinilai tampil sangat baik sepanjang laga. Dirinya mampu menahan serangan yang dibangun oleh trio Philipe Coutinho, Fernandinho dan Paulinho. Tinggi badannya mampu mengintimidasi para pemain tim Samba yang bertubuh mungil sementara kepalanya berguna untuk mengantisipasi bola-bola atas.

Sepanjang 90 menit, Fellaini memenangi 7 duel udara (terbaik dibanding seluruh pemain Belgia), 3 tekel sukses, 2 intersep, serta 4 kali melakukan blok. Hanya tujuh dari 34 umpannya yang tidak tepat sasaran. Dengan catatan ini, banyak yang beranggapan kalau pemain berusia 31 tahun tersebut lebih layak mendapat gelar Man of the Match ketimbang Kevin De Bruyne yang didaulat menjadi pemain terbaik pertandingan.

Apa yang ditampilkan Fellaini menegaskan kalau dirinya bukanlah pemain yang bisa diremehkan. Kita tentu mengetahui kalau Fellaini sering dianggap sebagai pemain yang hanya mengandalkan kepala dan tinggi badannya saja. Bahkan tidak sedikit yang merasa kalau pemain dengan tipe seperti Fellaini ini tidak dibutuhkan dalam sepakbola modern seperti saat ini.

Tentu masih ingat ketika Roberto Martinez mengumumkan skuad Belgia yang akan dibawa ke Rusia. Ketika itu protes berdatangan karena nama Fellaini, yang bukan menjadi pemain inti di Manchester United, bisa menggusur nama tenar macam Radja Nainggolan. Pemain AS Roma tersebut dianggap lebih layak mengemban seragam Rode Duivels ketimbang dirinya.

Fellaini pun sebenarnya bukanlah pemain inti dalam skema 3-4-3 yang dipakai Roberto Martinez. Sepanjang turnamen, sektor tengah selalu ia percayakan kepada Axel Witsel dan Kevin De Bruyne. Sementara Dries Mertens mengisi posisi penyerang bersama Eden Hazard dan Romelu Lukaku. Fellaini hanya menjadi pemain pengganti ketika Belgia mengalahkan Panama dan baru bermain sejak awal saat mereka mengalahkan Inggris.

Sinar Fellaini kemudian muncul ketika Belgia mengalahkan Jepang pada babak perdelapan final. Tertinggal 0-2, Martinez kemudian memasukkan Fellaini (beserta Chadli) yang merupakan rencana kedua setelah skema utamanya mentok. Tak disangka, tinggi badan Fellaini saat itu berguna untuk menyamakan kedudukan sebelum Chadli menyelesaikan pertandingan dengan kemenangan.

Perjudian kembali dilakukan Martinez ketika ia memainkan Fellaini sebagai starter dalam laga penting melawan Brasil. Ditakutkan bisa merusak kestabilan lini tengah, Fellaini justru merusak simfoni Jogo Bonito dengan mengantungi Neymar lewat sikut dan terjangan lututnya. Kolumnis Telegraph, Jim White, menggambarkan sosok Fellaini sebagai potongan Lego yang berserakan di lantai yang mengganggu langkah Anda saat bangun ke kamar mandi.

“Dia selalu diremehkan soal kemampuannya. Tetapi, teknik dan kontrol bolanya adalah yang terbaik dibanding apa yang orang pikir. Dia lahir sebagai pemenang dan sangat kompetitif. Sepakbola adalah panggung tepat baginya untuk menunjukkan siapa dia sebenarnya. Siapapun manajernya maka dia akan suka memiliki pemain sepertinya,” tutur Martinez.

Apa yang diucapkan Martinez terbukti dengan diperpanjangnya kontrak Fellaini dua tahun bersama Setan Merah. Menjadi musuh utama pendukung (Layar Kaca) United, nyatanya Jose menyukai cara main kembaran dari Mansour Fellaini ini.

Laga melawan Prancis akan menjadi pertandingan berikutnya bagi Marouane Fellaini. Menarik untuk menanti peran apa yang akan diberikan Martinez kepadanya. Apakah sebagai satu dari dua double pivot di lini tengah atau menjadi striker dadakan layaknya pertandingan melawan Jepang.

Apapun peran yang nantinya akan diemban, Fellaini sejauh ini telah membuktikkan kalau dirinya bukan pemain yang bisa diremehkan. Para penggemar Manchester United pun akan dibuat penasaran apakah Fellaini bisa tampil sebaik ini ketika seragam Belgia yang sudah dikenakan berganti wujud menjadi seragam Manchester United.