Mungkin masih banyak yang belum mengetahui kalau Sir Alex Ferguson pernah menjadi pelatih tim nasional. Kejadian tersebut terjadi pada 1 Oktober 1985. Saat itu, Fergie diminta untuk menjadi manajer timnas Skotlandia menggantikan Jock Stein yang meninggal dunia ketika timnya bertanding melawan Wales dalam kualifikasi Piala Dunia 1986.

Fergie saat itu diberi mandat untuk membawa The Tartan Army lolos ke putaran final. Akan tetapi, langkahnya tersebut terbilang cukup terjal. Selain penunjukkannya yang bersifat dadakan, Fergie yang saat itu masih menjadi manajer Aberdeen juga belum paham bagaimana situasi tim nasional Skotlandia saat itu. Salah satunya adalah kepribadian para pemainnya yang ternyata banyak ulah.

Berikut penuturan langsung Fergie ketika menghadapi pemain bandel saat menangani Skotlandia seperti yang ia tuliskan dalam buku Managing My Life.

***

Untuk bisa melaju ke Meksiko, Skotlandia harus melewati babak play off melawan Australia. Dalam pertandingan di kandang sendiri, kami menang 2-0. Dengan demikian, hasil imbang di Melbourne saja sudah cukup buat kami untuk melaju. Tetapi saya dibuat repot oleh dua pemain bintang yang ada di tim itu, Maurice Johnston dan Franck McAvennie.

Pertandingan kedua berlangsung pada Rabu, 4 Desember 1985. Kami memutuskan berangkat seminggu lebih cepat untuk aklimatisasi. Kami berlatih pada hari Jumat dan meliburkan mereka pada hari Sabtu. Saya juga memikirkan mereka kalau tidak realistis mengurung mereka di kamarnya masing-masing.

Saya punya teman bernama Hugh Murnie di sana. Dia adalah mantan pemain sepakbola St Mirren. Dia punya pub di Melbourne dan dia dengan sukarela menyediakan fasilitas sebaik-baiknya untuk tim kami. Dia juga menyediakan orang-orang yang bertugas mengawasi siapa saja orang yang masuk ke pub itu. Hal itu dilakukan untuk berjaga-jaga takutnya ada pemain saya yang berkelahi dengan orang-orang yang tidak saya kenal.

Saya meninggalkan mereka untuk pergi ke Sydney dan bertemu Alex yang lain, yaitu saudara kakek saya yang umurnya 90 tahun. Saya tidak lupa untuk bertukar kontak dengan asisten saya, Walter Smith. Dia mengatakan kalau semuanya berjalan lancar. Tetapi satu jam kemudian, saya mendapat kabar dari Smith.

“Si gila Johnston dan McAvennie datang ke bar membawa tiga cewek. Mereka mentraktir semua orang di bar untuk minum. Keduanya terlihat mabuk-mabukan,” kata Smith lewat telepon.

Kurang ajar, kata saya. Saya akan “bunuh” mereka berdua. Saya langsung memanggil kedua pemain itu sekembalinya saya dari Sydney. “Ini adalah peringatan terakhir untuk kalian. Jika saya melihat ada kejadian seperti itu lagi, maka saya akan pulangkan kalian berdua,” kata saya.

Pertandingan leg kedua berakhir imbang 0-0. Kami lolos ke Meksiko. Saya kaget karena Alex nonton di stadion. Bayangkan, orang 90 tahun naik kereta 14 jam dari Sydney ke Melbourne. Keberhasilan mereka membuat saya kembali memberikan libur. Namun sehari kemudian, saya diberi tahu oleh Ketua Eksekutif Persatuan Sepakbola Skotlandia, Ernie Walker, kalau Johnston buat ulah lagi.

“Tadi malam Johnston bikin ulah lagi. Pada tengah malam, saya mendengar ada ribut-ribut di kamarnya. Saya intip dari lubang kunci ternyata dia sedang telanjang bersama wanita yang juga telanjang. Benar-benar edan. Saya minta Anda mempertimbangkan kehadirannya di tim,” kata Ernie.

Saya menghadapi dilema. Johnston adalah pemain hebat. Dia pencetak gol yang subur. Tapi kelakuannya menjengkelkan. Pada akhirnya, saya tidak membawa Johnston ke Meksiko dan beralih membawa Charlie Nicholas. Tapi saya punya alasan lain kenapa tidak membawanya ke Piala Dunia. Johnston bukan pemain serba bisa seperti Nicholas.

Masih ada masalah lain yang saya hadapi, yaitu Alan Hansen. Dia adalah bek tengah yang tidak diragukan lagi kemampuannya bersama Liverpool. Namun dia punya kelemahan yaitu suka bolos. Hal itu tidak bisa saya toleransi. Mendiang Jock Stein pernah dibuat marah ketika Hansen pergi tanpa pamit jelang bertanding melawan Wales.

Namun saya ingin memberinya kesempatan. Asal dia berperilaku baik dalam pertandingan persahabatan melawan Belanda dan Inggris, maka saya akan membawa dia (ke Meksiko). Namun ketika menjalani pemusatan latihan jelang melawan Inggris, Hansen mendatangi Smith dan minta izin pulang.

“Lutut saya kurang beres, saya mau pulang.” Dengan kejadian itu, saya memutuskan untuk tidak membawa Hansen.

Masalah lainnya muncul bernama Kenny Dalglish. Statusnya saat itu adalah player-manager di Liverpool. Saya ingin membawa dia ke Piala Dunia, tapi dia berkata kalau saya juga harus membawa Hansen. Saya tidak mau karena keputusan saya sudah bulat. Beruntung, Hansen mau menerima keputusan saya saat itu.

Ketika saya tidak membawa Hansen, Dalglish juga menolak panggilan saya. Namun penolakan itu dikarenakan adanya masalah pada lutut Dalglish dan bukan karena saya tidak mau memanggil kembali Hansen.

Kami kemudian tersingkir pada babak penyisihan. Kami kalah 0-1 dari Denmark dan 1-2 dari Jerman Barat. Lalu kami bermain imbang 0-0 melawan Uruguay. Untuk kesekian kalinya, perjalanan Skotlandia hanya sebentar. Saya kecewa karena tidak bisa memperbaiki tradisi buruk ini.