Foto: TheBusbyBabeNation

Pekan lalu pecinta sepakbola disuguhkan oleh penampilan apik dua kesebelasan yaitu Liverpool dan Chelsea pada final Carabao Cup musim 2021/2022. Meski level turnamen ini dianggap hanya kelas tiga, namun keduanya tampil apik dan saling jual beli serangan. Saking sengitnya, pemenang laga ini harus ditentukan lewat adu penalti.

Pada akhirnya, Liverpool lah yang menjadi juara. Mereka menang 11-10. Dari 22 penendang, hanya satu yang gagal yaitu kiper Chelsea, Kepa Arrizabalaga. Dimainkannya Kepa bertujuan agar Chelsea siap menghadapi babak tos-tosan. Maklum, selama ini kesuksesan Chelsea dalam drama adu penalti kerap ditentukan oleh Kepa.

Apes, kali ini Kepa justru membuat peluang The Blues meraih trofi pun sirna. Pengandaian pun muncul, terutama yang berkata kalau Mendy sebaiknya tidak diganti karena kiper Senegal ini juga baru saja merasakan atmosfer adu penalti dan sukses ketika bersama timnas.

“Kami membuat keputusan ini (mengganti Mendy dengan Kepa) karena dia lebih baik dalam hal penyelamatan dari penalti. Karena itu, saya mengambil keputusan tersebut,” tutur Tuchel.

***

Berbicara soal peran penjaga gawang sebagai penentu hasil akhir drama adu penalti bukan kali ini saja terjadi. Manchester United pernah merasakannya kurang lebih 13 tahun yang lalu. Yang membedakan tentu hasil akhirnya.

Final Piala Liga musim 2008/2009 berlangsung sengit. Mempertemukan Manchester United dan Tottenham Hotspur, kedua kesebelasan saling jual beli serangan. United ingin meraih titel keduanya pada musim tersebut. Sementara Spurs ingin mempertahankan gelar yang sebelumnya sudah mereka raih.

Akan tetapi, hingga 90 menit waktu normal plus 30 menit babak perpanjangan waktu, tidak ada gol yang tercipta. Kedua penjaga gawang yang bermain sama-sama tampil gemilang. Laga kemudian harus dilanjutkan adu penalti. Bagi United, ini adalah adu penalti kedua secara beruntun yang mereka lakukan setelah final Liga Champions musim lalu.

Akan tetapi, kali ini gawang United tidak dikuasai oleh Edwin Van der Sar melainkan Ben Foster. Ketika itu, kiper kelahiran Leamington Spa ini merupakan cadangan dari Edwin dan Tomasz Kuszczak. Keraguan pun terjadi mengingat Foster belum banyak terlibat dalam pertandingan klub karena lebih banyak menjadi cadangan.

Sebuah pemandangan menarik kemudian terjadi sebelum adu penalti dimulai. Foster didekati oleh Eric Steele, pelatih penjaga gawang United. Eric kemudian memberikan sebuah ipod yang sudah ia pegang untuk diberikan kepada Foster. Dalam ipod tersebut ternyata berisi beberapa video para pemain Spurs ketika sedang menendang penalti. Dan beberapa di antaranya akan menjadi eksekutor saat itu.

Siapa yang sangka kalau Ipod tersebut membantu United meraih Piala Liga yang ketiga sepanjang sejarah mereka. Foster sukses membaca arah dengan benar dua dari tiga penendang mereka. Hanya sepakan Vedran Corluka yang luput meski dalam tayangan ulang, tangannya nyaris menyentuh sepakan pemain asal Kroasia tersebut.

“Tepat sebelum adu penalti, saya melihat sebuah ipod dengan didampingi oleh Eric Steele. Dalam ipod tersebut, berisi gambar pemain Tottenham ketika mengambil penalti. Salah satunya adalah Jamie O’Hara. Mereka memberi tahu saya untuk tetap berdiri dan melihat arah bola yang datang karena dia pasti akan melakukan hal yang sama. Saya sudah melakukan penelitian seperti ini sebelumnya tetapi ini adalah inovasi yang kami bawa ke dalam klub,” tutur Foster.

Selama 120 menit, Foster tampil luar biasa. Kakinya menahan sepakan Darren Bent. Tangan kanannya kemudian menyelamatkan United dari sepakan Aaron Lennon yang saat itu tidak terkawal. Ia membuat tujuh penyelamatan saat itu. Atas penampilan apiknya, ia diganjar gelar pemain terbaik final. Foster menjadi kiper kedua yang mendapat anugerah tersebut setelah Jerzy Dudek pada 2003.

“Kami akan kalah tanpa Ben Foster. Dia membuat beberapa penyelamatan hebat untuk kita. Tottenham memiliki peluang terbaik untuk mencetak gol tetapi mereka gagal melakukannya,” tutur Ferguson.

Aksi Foster yang melihat video pemain Tottenham tersebut sebenarnya menuai protes. Terutama dari Sepp Blatter, presiden FIFA saat itu, yang kerap menentang adanya teknologi masuk ke sepakbola. FA sendiri kemudian buka suara kalau apa yang dilakukan Foster hanyalah sebuah inovasi dan tidak melanggar aturan apa pun.

“Apa yang terjadi tidak melanggar aturan apa pun sehingga kami tidak akan menyelidiki masalah ini lebih lanjut,” begitu pernyataan dari FA.

Sejak babak kelima, gawang Setan Merah sudah dijaga Ben Foster. Van Der Sar lebih difokuskan untuk pertandingan level tinggi terutama di Premier League dan Liga Champions. Tentu banyak yang meragukan kualitas Foster bisa sehebat Van Der Sar saat itu. Namun penampilan hebatnya di Wembley saat itu menunjukkan kalau ia juga punya kualitas.

“Ben bisa menjadi kiper masa depan kami namun Edwin adalah kiper utama kami saat ini. Jika ia tidak terkendala dengan cedera. Dibutuhkan banyak kekuatan mental untuk kembali dari cedera lutut yang parah dan Anda harus memiliki sesuatu yang istimewa di dalam diri untuk bisa bangkit dari situasi tersebut.”

Namun harapan hanya sekadar menjadi harapan. Foster tidak bisa menjadi penjaga gawang masa depan United. Bukan karena tidak punya kemampuan, namun Van Der Sar masih sangat sulit dan konsisten hingga usia 39 tahun.

Saat penjaga gawang asal Belanda tersebut pensiun, United sudah mendeklarasikan David De Gea sebagai penerus. Foster kemudian mencari masa depannya sendiri bersama klub-klub medioker seperti Birmingham City dan West Bromwich Albion. Bersama klub-klub semenjana inilah Foster bisa jadi si nomor satu.

Sejak 2018, Foster berlabuh ke Watford dan sempat menjadi rekan setim Heurelho Gomes, kiper yang ia kalahkan pada final Piala Liga tersebut. Namanya pun mulai masuk dalam jajaran 10 besar kiper dengan caps terbanyak di Premier League.

Hingga usianya yang ke-38, Foster tampak belum habis dan bahkan terus dipercaya sebagai kiper utama. Penampilannya masih sangat memukau dan beberapa kali membuat frustrasi lawannya, termasuk Manchester United pada pekan lalu.