Manchester United telah lima kali melangkah ke final Liga Champions Eropa sepanjang sejarah. Dari jumlah tersebut, tiga kali mereka berhasil menjadi juara dan dua kali menjadi runner-up. Apes, dua kekalahan tersebut justru terjadi pada dua kesempatan terakhir mereka pada babak final. Lebih nelangsa lagi, mereka selalu kalah dari lawan yang sama, Barcelona.
Blaugrana adalah pengganggu United untuk membuat rekor. Jika Setan Merah menang pada 2009, mereka menjadi kesebelasan pertama yang bisa mempertahankan gelar pada era Liga Champions. Dua tahun berselang, ambisi United meraih gelar ganda sejak 2007/2008 kembali digagalkan oleh mereka. Jika United bisa menang pada dua final tersebut, mereka sudah punya lima gelar dan menjadi tim ketujuh yang punya badge of honour.
Namun,sulit untuk tidak mengakui kalau Barcelona saat itu memang terlalu kuat untuk United. Sejak 2009 hingga 2011, mereka begitu dominan di semua kompetisi. Barcelona asuhan Pep Guardiola dikenal oleh publik sebagai kesebelasan dengan aksi memikat melalui permainan bola-bola pendek, ajaib, dan nikmat dilihat.
Berkat permainan indah tersebut, Barcelona sanggup ia bawa untuk meraih enam gelar sepanjang 2009, termasuk treble winners 2008/2009 dan tiga gelar tambahan yaitu Piala Super Spanyol, Piala Super Eropa, dan Piala Dunia Antarklub. Selain itu, mereka juga tiga kali menang La Liga dan hanya sekali kehilangan kesempatan meraih gelar Eropa yaitu pada 2010 karena parkir bus Jose Mourinho.
“Barcelona punya pemain yang mungil, tingginya tidak sampai 1,7 meter, tetapi mereka berani seperti singa. Mereka selalu bisa merebut bola dan tidak bisa diganggu. Prestasi Lionel Messi, Xavi, dan Andres Iniesta itu sangat menakjubkan bagi saya,” kata Sir Alex Ferguson dalam bukunya My Autobiography.
Dalam autobiografinya tersebut, Ferguson membuat satu bab khusus tentang Barcelona dengan judul ‘Barcelona (2009-11)-Small is beautiful’. Dalam bab tersebut, ia membahas tentang kegagalannya mengalahkan Barca pada dua laga final Eropa sekaligus memuji mereka sebagai tim terbaik yang pernah ia lawan.
Pada final 2009 di stadion Olimpico, United punya kans untuk menang. Mereka sempat membuat Barca kalang kabut pada babak pertama dengan membuat delapan tembakan. Bahkan Cristiano Ronaldo tiga kali mengancam gawang Victor Valdes hanya dalam tempo sepuluh menit. Namun, penyelesaian akhir yang kurang baik dan penampilan apik Valdes membuat United tidak bisa mencetak gol dengan cepat.
Setelah itu, United justru kebobolan melalui Samuel Eto’o. Pemain asal Kamerun ini melewati Nemanja Vidic sebelum melepaskan tendangan yang tidak bisa ditahan oleh Van der Sar.
“Kami kebobolan setelah sepuluh menit karena gelandang kami terlambat menghentikan Andres Iniesta untuk tidak memberi umpan kepada Eto’o. Barcelona memulai laga dengan Messi di kanan, Eto’o di tengah, dan Henry di kiri. Sebelum gol, mereka geser Eto’o ke kanan sehingga Messi bisa bermain sebagai penyerang lubang di tengah,” ujar Ferguson menambahkan.
“Dengan perubahan itu, Barcelona menciptakan posisi yang disukai Messi, yaitu di tengah. Sejak saat itu, ia membuat repot empat bek kami karena tidak tahu harus mendekati dia atau tetap di belakang dan bermain aman. Mereka juga punya Xavi dan Iniesta yang bisa semalaman menguasai bola. Saya tidak bisa membantah itu.”
Sejak kebobolan melalui Samuel Eto’o, United tidak bisa lagi mengancam gawang Valdes. Pada babak kedua, mereka bahkan lebih banyak tertekan dan melihat Barcelona berkali-kali mengancam gawang mereka. Blaugrana membuat tujuh sepakan yang semuanya mengarah ke gawang Van der Sar, sedangkan United hanya punya satu tendangan tepat sasaran dari empat percobaan.
Memainkan Tevez dan Berbatov pada babak kedua juga tidak mengubah keadaan. Bermain dengan empat pemain menyerang tidak menjamin Anda bisa mencetak gol dengan mudah. Itulah yang dialami oleh United.
Alih-alih mencetak gol balasan, gawang United justru kebobolan lagi melalui Lionel Messi. Ia menyundul bola memanfaatkan umpan Xavi untuk menambah keunggulan sekaligus menghabisi perlawanan United sekaligus membuktikan kalau pada musim itu, La Pulga jauh lebih unggul dari Cristiano Ronaldo.
CR7 saat itu tidak bisa berbuat banyak. Timnya tertinggal dua gol, rivalnya sesama pemain terbaik menjadi salah satu pencetak golnya. Alih-alih ingin menjadi pahlawan, Ronaldo justru menjadi pesakitan karena mendapat kartu kuning. Permainan berakhir dengan skor 2-0 untuk Barcelona dan membawa mereka meraih treble winners pertama sepanjang sejarah klub.
“Kami seharusnya tidak boleh kalah pada laga di Roma itu. Tetapi, kami benar-benar kesusahan. Barcelona memonopoli bola begitu lama, dan kalau sudah begitu, pemain kami jadi kehilangan minat. Mereka hanya bisa diam dan mengamati ke mana bola akan bergerak,” ujar Ferguson.
Ferguson menyebut kalau dia bisa saja bermain lebih bertahan ketika menghadapi Barcelona, seperti yang ia lakukan pada semifinal leg pertama 2008. Akan tetapi, hal itu ia rasa sangat menyakitkan terutama bagi pemain, penggemar, dan dirinya sendiri, karena harus bermain negatif. Itulah kenapa ia memilih untuk bermain lebih positif yaitu menyerang ketika bertemu lagi pada final 2009.
Akan tetapi, Barcelona 2008 dengan Barcelona 2009 adalah dua kesebelasan yang berbeda. Tim yang ia lawan pada 2008 masih dipimpin oleh Frank Rijkaard, sedangkan ia bertemu seorang Pep Guardiola yang otomatis membawa perubahan baru dan lebih segar untuk Barcelona. Itulah yang ia rasakan ketika Barcelona membuat mereka tidak berkutik di Roma.
Ferguson jelas kecewa. Ia gagal meraih trofi Liga Champions ketiga sepanjang kariernya. Ia langsung bertekad untuk membalas kekalahan di Roma tersebut. Bahkan sang gaffer ingin final kembali digelar satu hari setelahnya jika memungkinkan. Ia sudah tidak sabar untuk melampiaskan kekesalannya. Kesempatan itu akhirnya datang pada 2011 dengan setting tempat yang berbeda yaitu stadion Wembley.