Cristiano Ronaldo di 2021 bukan lagi ia yang 10 tahun lalu. Dulu, ia merupakan pemain sayap dalam formasi empat gelandang, maupun tiga penyerang. Sejak pindah ke Juventus, posisinya bergeser lebih ke sentral menjadi seorang penyerang tengah.
Salah satu alasannya, tentu karena usia. Ia memang masih bisa berlari cepat, tapi fullback lawan ada yang lebih cepat dan lebih bugar. Memaksimalkan ketajamannya adalah prioritas utama dengan menempatkannya sebagai striker.
Dalam sejumlah pertandingan bersama Manchester United, Ronaldo kerap diturunkan sebagai penyerang tunggal. Ini pula yang jadi alasan mengapa serangan United mudah terbaca: bola diarahkan selalu pada Ronaldo!
Ketika para pemain United mengarahkan bola pada Ronaldo, pemain lawan sudah paham betul cara mengatasinya: kerubungi Ronaldo agar tak mendapatkan bola. Alhasil, penyerangan menjadi kandas dan lini serang United menjadi tumpul.
Untuk itu, manajer Manchester United, Ole Gunnar Solskjaer, perlu mempertimbangkan sejumlah perubahan. Salah satunya perubahan formasi.
Formasi 4-2-3-1 memang stabil baik saat menyerang maupun bertahan. Ditambah lagi, United punya pemain yang tepat untuk mengisi formasi ini. Sialnya, formasi ini selalu dipertahankan, bahkan ketika menghadapi lawan yang lebih inferior seperti Aston Villa, misalnya. Menggunakan dua poros menjadi mubazir karena toh Villa hanya mengandalkan serangan balik.
Perubahan formasi ini bisa melihat dari kebugaran Edinson Cavani. Kalau ia siap dimainkan, maka Ole bisa meninjau formasi dua penyerang dalam 4-4-2. Memang, formasi ini terkesan klise dan jadul. Namun, terlihat cukup menjanjikan buat skuad United saat ini.
Formasi dua striker biasanya menggunakan dua penyerang yang kuat, dua gelandang pekerja keras, dan para pemain sayap yang punya kualitas tinggi. Menurut Dominic Booth dari Manchester Evening News, formasi ini sederhana, tapi populer dan menjadi pilihan hampir semua pelatih di sepanjang 1990-an.
United juga pernah menggunakan formasi 4-4-2 di bawah arahan Sir Alex Ferguson. Lini tengah yang paling dikenal diisi oleh David Beckham, Roy Keane, Paul Scholes, dan Ryan Giggs. Mereka adalah inti dari formasi ini karena memberikan kualitas terbaik di setiap senti lapangan.
Pada 1999, Fergie punya empat stiker bagus: Andy Cole, Dwight Yorke, Teddy Sheringham, dan Solskjaer. Ia cuma perlu meninggalkan dua striker di bangku cadangan, dan memasukkannya ketika dirasa perlu.
“Ferguson tidak butuh pemain nomor 10, atau gelandang bertahan murni,” tulis Booth.
Ketika para pelatih menggunakan 4-2-3-1, formasi 4-4-2 belum kehilangan taji, apalagi mati. Booth mencontohkan Leicester City yang menjuarai Premier League pada 2016 dengan menggunakan formasi 4-4-2.
Sama seperti filosofi 4-4-2 itu sendiri, Leicester punya dua gelandang pekerja keras dalam diri N’Golo Kante dan Danny Drinkwater. The Foxes juga punya Riyad Mahrez di sayap kanan. Tapi uniknya, untuk pos sayap kiri, Claudio Ranieri justru memasang Marc Albrighton.
Mahrez bisa melewati lawan dengan mudah dengan skill dan kecepatannya. Sementara Albrighton sebenarnya lebih mirip gelandang tengah yang kekuatan utamanya ada pada umpan.
Di lini depan, Ranieri pasti memasang Jamie Vardy yang hampir selalu mencetak gol ketika masuk kotak penalti. Pasangan Vardi adalah Shinji Okazaki yang paru-parunya mirip Park Ji-sung. Lalu, di babak kedua, Ranieri biasanya menurunkan Leonardo Ulloa yang pergerakannya hanya di sekitar kotak penalti.
Selain Leicester City, Atletico Madrid juga sukses menantang dominasi Real Madrid dan Barcelona lewat formasi 4-4-2. Formasi musim 2013/2014 di lini tengahnya juga mirip: Arda Turan, Gabi, Mario Suarez/Tiago, dan Koke. Diego Simeone punya empat pemain tangguh yang beroperasi di lini tengah.
Lantas bagaimana dengan situasi terkini di MU?
Manchester United dengan 4-4-2
Di atas kertas, Cavani akan menjadi striker yang ngetem di dalam kotak penalti. Namun, ternyata ia punya kerja keras yang tinggi sehingga bisa main lebih menyamping seperti Diego Costa. Sementara itu, Ronaldo bisa menjadi penyerang bohongan seperti yang dilakukan Raul Garcia di Atletico.
Selain kedua nama itu, ada Mason Greenwood yang lebih senang menjadi striker ketimbang pemain sayap. Kecepatannya juga bisa membuatnya bermain lebih melebar. Hal serupa juga berlaku buat Marcus Rashford dan Anthony Martial.
Pos sayap kiri biasa diambil alih oleh Paul Pogba yang kerap diturunkan di area tersebut. Jadon Sancho baiknya ditempatkan di posisi naturalnya sebagai pemain sayap kanan.
Masalah sekaligus solusinya ada di lini tengah. Solskjaer biasa memainkan Fred dan Scott McTominay sebagai poros ganda. Agar bakat Bruno Fernandes tak terabaikan, Ole bisa memasangnya sebagai gelandang berduet bersama McTominay. Pun dengan Donny van de Beek.
Formasi 4-4-2 lebih mantap dan sedap bilang preferensi serangannya adalah serangan balik. Untuk itu, diperlukan bek tengah yang punya umpan bagus dan bisa berpikir cepat. Tentu saja, United punya itu semua dalam Harry Maguire dan Raphael Varane.
Sejatinya, problem utamanya ada di lini tengah dan lini serang. Bila Solskjaer bisa menemukan formasi terbaik dengan gaya main yang pas, bukan tidak mungkin ia akan meraih kesuksesan. Termasuk menjadi manajer pertama United setelah era Fergie yang bisa mengangkat trofi Premier League.
Sumber: Dominic Booth dari Manchester Evening News.