Ole Gunnar Solskjaer nampak santai menyikapi kritikan yang terus ia terima di media sosial. Hal itu ia ungkapkan dalam konferensi pers jelang pertandingan melawan Arsenal pada Selasa (1/10) dini hari nanti. Segala kritikan tersebut tidak dianggap penting karena yang penting adalah beberapa suporter masih mau mendukung mereka langsung ke stadion.
“Perasaan suporter sangat positif dan kami dapat melihat apa yang Anda lakukan, maka teruskanlah (mengkritik di media sosial). Lebih mudah menjadi positif ketika Anda bertemu seseorang secara langsung ketimbang bersembunyi di balik media sosial. Saya merasa sangat terkesan dengan suporter kami,” kata Solskjaer.
Mantan manajer Molde ini boleh saja bersikap santai. Sejak Solskjaer datang, ia memang menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang kalem, santai, selalu berpikir positif, dan tidak mau ambil pusing. Namun ia tidak bisa mengelak kalau saat ini posisinya sedang berada di ujung tanduk. Masa depannya untuk mengikuti jejak sang mentor kini mulai dipertaruhkan.
Coba tengok akun YouTube The United Stand. Dari sembilan video tentang tanggapan para penggemar yang diunggah setelah laga melawan Rochdale, mayoritas berisi tentang kritikan terhadap Manchester United. Dan itu semua datang dari mereka yang menonton. Tanggapannya pun bervariasi. Dari yang meminta Jesse Lingard pensiun, menyebut United bermain layaknya “sampah”, hingga menyebut kalau waktu Solskjaer sudah habis.
Jika dirasa masih kurang, maka tengok lagi beberapa unggahan ketika United dikalahkan West Ham United pekan sebelumnya. Harapan agar Solskjaer segera out bahkan datang dari pendukung United yang rela bertandang ke London Stadium, penonton yang ‘katanya’ punya loyalitas dan gairah mendukung jauh lebih tinggi ketimbang mereka yang hadir dalam laga tandang.
Memang apa yang ditampilkan The United Stand hanyalah sebagian kecil. Namun hal itu menandakan kalau Solskjaer kini mulai mendekati bahaya yang bisa mengancam pekerjaan impiannya. Jika tidak ada perubahan, maka siap-siap saja dia akan menjadi manajer berikutnya yang tidak menyelesaikan kontraknya hingga tuntas.
Beberapa penggemar United menyebut kalau ini semua adalah kesalahan Ed Woodward atau bahkan kesalahan keluarga Glazer. Mereka dianggap tidak mengerti bagaimana menjalankan sebuah tim sepakbola, kebijakan transfer mereka yang tidak tepat guna, dan dianggap hanya mengejar sisi komersial. Lalu ada juga yang menyalahkan pemain yang dianggap tidak punya komitmen atau hanya bermain di United hanya demi uang saja.
Masalah ini tidak diragukan lagi menjadi bagian dari kejatuhan klub setelah ditinggal Sir Alex Ferguson. Namun perlu diingat, selain dua nama itu, ada orang yang pekerjaannya paling dekat dengan performa tim di atas lapangan. Ya, dia adalah manajer atau pelatih tim itu sendiri. Ketika berbicara tentang United, maka Solskjaer juga patut dimintai pertanggung jawaban dengan penampilan tim yang masih ala kadarnya seperti ini.
Solskjaer baru menang enam dari 18 pertandingannya sejak ditunjuk menjadi pelatih permanen. Delapan diantaranya menderita kekalahan. Sulit menang di laga tandang sejak bulan Maret, serta mencetak rataan kurang dari satu gol dalam 20 pertandingan terakhir mereka menjadi torehan yang dibuat United sejauh ini. Bahkan menghadapi tim sekelas Astana dan Rochdale saja mereka kepayahan.
Tidak hanya itu, penampilan tim juga kurang menggigit. Cara bermain mereka tidak menunjukkan kalau tim ini pernah merajai kompetisi Premier League selama hampir dua dekade. Mereka miskin dengan kreativitas dan miskin pula dalam hal agresivitas. Ketika melawan West Ham, tidak ada pemain yang nampak kreatif, sedangkan ketika melawan Rochdale, agresivitas mereka begitu memprihatinkan.
Lucunya, pemain-pemain yang kurang menggigit ini mayoritas adalah penggawa yang bersinar sebelum Solskjaer dipermanenkan macam Marcus Rashford, Jesse Lingard, Anthony Martial, atau bahkan Paul Pogba. Lalu disempurnakan dengan beberapa rekrutan yang ia mau seperti Harry Maguire, Aaron Wan-Bissaka, dan Daniel James. Namun betapa anehnya ketika para pemain ini justru tidak bisa menjalankan taktik sang pelatih seperti ketika Solskjaer masih berstatus caretaker.
“Bagi saya, Solskjaer masih menyerupai manajer sementara yang tugasnya hanya untuk membersihkan ruang ganti dari nama-nama yang berkinerja buruk dan menyatukan tulang punggung sebuah tim untuk pengggantinya. Dalam pandangan saya dia tidak akan pernah membawa United meraih gelar Premier League atau Liga Champions karena jika dia bisa mencapai tujuan memulihkan stabilitas, maka dia tetap digantikan pelatih elit yang jauh lebih mapan,” tutur Jamie Carragher.
Solskjaer juga harus bertanggung jawab. Dia harus mengembangkan taktik dan filosofi sepakbolanya agar bisa diaplikasikan dengan baik oleh para pemainnya. Penampilan United pada awal-awal kepelatihannya menjadi bukti kalau Solskjaer sebenarnya mampu membawa tim ini menjadi lebih baik. Namun dalam beberapa match terakhir, ia seperti kekurangan ide untuk menjalankan skuad yang sebelumnya ia anggap terbaik ini.
United kerap kesulitan menghadapi lawan yang bermain dengan taktik blok rendah. Seperti yang mereka alami ketika melawan Crystal Palace atau bahkan Southampton. Ketika lawan bermain cenderung lebih menunggu, seketika serangan mereka menjadi tersumbat dan beberapa individu kebingungan untuk mencari jalan keluar.
Hal-hal seperti ini yang harus ia cari jalan keluarnya. Ia butuh rencana cadangan apabila taktik utamanya mentok di tengah jalan. Memiliki variasi taktik merupakan aspek penting yang harus dimiliki bagi manajer yang pendekatan taktiknya cenderung reaktif seperti Solskjaer. Jangan sampai kedepannya, Solskjaer hanya beralasan kalau dia kurang beruntung hanya karena taktiknya mentok menghadapi lawan-lawan yang bermain dengan blok rendah.
Hal ini memang akan bergantung lagi dengan kualitas pemain yang dimiliki United. Namun secara kualitas, tim ini tidak kekurangan pemain berkualitas. Di lini tengah ada juara serta semifinalis Piala Dunia. Di lini depan ada remaja termahal dan remaja yang disebut-sebut akan menjadi pemain terbaik dunia. Solskjaer sempat menyebut kalau mereka adalah pemain-pemain yang bagus. Akan tetapi, mereka kerap sekali kehilangan konsistensi.
“Saya senang dengan skuad yang saya miliki saat ini. Saya tak berharap siapa pun untuk datang. Sepakbola itu mudah jika Anda memiliki pemain-pemain yang bagus. Mereka adalah sekelompok pemain hebat dan kualitas mereka sulit untuk dipercaya,” tutur Solskjaer pada Januari lalu ketika performa timnya terlihat sangat baik.
Solskjaer mungkin saja saat itu sedang bermulut manis dan menampilkan citra dirinya yang berbeda dengan Jose Mourinho. Namun ia harus tetap konsisten dengan ucapannya yang menyebut kalau pemain-pemain United sekarang sudah membuatnya senang. Caranya adalah dengan mengeluarkan permainan terbaik para pemainnya melalui taktik dan strateginya. Jika hal itu tidak bisa ia lakukan, maka surat pemecatan bukan tidak mungkin hadir lebih cepat dari yang dibayangkan.
Seperti yang pernah saya ucapkan sebelumnya, penggemar United bisa saja menyalahkan Ed Woodward serta keluarga Glazer, atau para pemainnya yang tampil tidak konsisten. Namun bagi pemilik klub, manajer akan menjadi orang yang dimintai pertanggung jawaban jika penampilan timnya menurun atau terus menerus mendapat hasil akhir yang tidak diinginkan.
Atau jangan-jangan Solskjaer memang tidak punya filosofi yang bagus dalam melatih. Hal ini disebabkan adanya isu yang menyebut kalau para pemain mulai mengeluhkan sesi latihan yang mereka jalani dan menganggap kalau latihan yang sekarang dimainkan lebih cocok untuk dimainkan oleh tim akademi, serta terkejutnya Patrice Evra yang melihat begitu menurunnya intensitas pemain dalam sesi latihan.