Tiga puluh tahun yang lalu Manchester United sedang menjalani masa pembangunan pada timnya dengan Sir Alex Ferguson sebagai manajer mereka saat itu, dan ada banyak kesamaan antara situasi yang ada dulu dan yang ada sekarang. Di satu sisi, kesamaan tersebut terletak pada musim panas di Old Trafford, di mana terdapat pemain baru tiba dengan pengeluaran uang yang signifikan, dan musim dimulai dengan kemenangan epik melawan rival utama, tetapi kemudian terpuruk di pertandingan selanjutnya.
Mirip sekali bukan dengan musim 2019/2020? Ya, tapi semua situasi tadi sebenarnya merupakan deskripsi musim United di 30 tahun yang lalu, tepatnya di musim 1989/1990 ketika Sir Alex Ferguson mulai membangun kembali skuatnya sendiri –sebelum akhirnya bangkit menjadi skuat fenomenal yang tidak tertandingi.
Di sisi lain, musim ini adalah musim berat bagi Ole Gunnar Solskjaer setelah sebelumnya sempat mendapatkan hasil-hasil memalukkan di paruh kedua musim lalu dengan hanya mampu membawa United duduk di urutan enam klasemen Premier League. Seperti Solskjaer, musim 1989/1990 Fergie pun sama beratnya, apalagi ketika musim sebelumnya (musim 1988/89), ia sempat dikecam habis-habisan setelah hanya mampu membawa United duduk di urutan ke-11 klasemen Liga Inggris.
Maka ketika United mulai masuk ke masa musim panas saat itu, tepatnya beberapa hari sebelum jendela transfer, Ferguson menghabiskan lebih dari 7 juta paun –jumlah yang dinilai signifikan pada saat itu– untuk merekrut enam pemain baru, dan bahkan sempat sampai memecahkan rekor transfer Inggris selama prosesnya.
Enam pemain itu termasuk Mike Phelan, Neil Webb, Gary Pallister, Paul Ince dan Danny Wallace. Mereka semua memiliki berbagai tingkat kualitas keberhasilan di dalam permainannya, dan beberapa di antara mereka justru berhasil memenangkan tujuh gelar liga bersama United setelah itu. Situasi dan beberapa perekrutan tersebut merupakan awal dari pembangunan kembali yang kemudian berhasil mengarahkan United ke masa keemasan di bawah asuhan Ferguson.
Namun, jika berkaca kembali ke musim 1989/1990, rasannya kejayaan seperti itu akan dianggap sebagai mimpi kosong belaka. Apalagi ditambah dengan status Ferguson yang masih belum memiliki trek rekor sebagai manajer penuh prestasi, rasanya masa keemasan United sulit untuk diraih. Memang, investasi di bursa transfer musim panas kala itu tampak seperti menuai hasil ketika United meronta-ronta di laga pembuka melawan Arsenal, dan mengalahkan mereka dengan skor akhir 4-1.
Tapi… United kemudian tidak lagi menuai hasil serupa, dan malah gagal meraih kemenangan ketika mereka melawan tim-tim sekelas Crystal Palace, Derby County, Norwich City dan Everton. Kendati mereka akhinya berhasil bangkit dengan menghancurkan Millwall dengan skor 5-1, namun hasil itu segera terlupakan setelah seminggu kemudian Setan Merah dikalahkan dengan skor yang sama oleh Manchester City.
Di musim itu, United kehilangan poin penting di 16 pertandingan liga, dan hanya bisa finis di urutan 13. Tahap pertama (yang dibilang berhasil) dari pembangunan kembali United hanyalah kemenangan Piala FA. Namun, momentum dari raihan tersebut yang akhirnya mulai memicu kebangkitan era keemasan Ferguson.
Ada sebuah peningkatan bertahap yang terjadi. Setahun kemudian United naik ke posisi 10 besar dan berhasil duduk di urutan keenam klasemen. Pada musim 1991/1992, mereka kemudian naik lagi dengan duduk di urutan kedua klasemen. Setahun berikutnya, akhirnya United berhasil memenangkan gelar liga setelah 26 tahun menunggu. Ini semua merupakan hasil dari metode “trust the proccess” ala Fergie.
Jika dibayangkan, sepertinya gambaran musim United di bawah awal era Sir Alex Ferguson memang berat dan begitu menguras kesabaran. Mirip sekali dengan era United sekarang. Hanya saja bedanya, setelah tiga dekade melewati masa itu, United justru harus mengalami “kekeringan terpanjang” (sejak 1992/93) setelah gagal memenangkan gelar liga dalam enam tahun sejak Ferguson pensiun.
Selain itu, bedanya lagi United seperti menyia-nyiakan masa-masa sulitnya sekarang dengan memberikan sedikit perencanaan jangka panjang pada manajernya. United seolah tidak serius membenahi masalahnya sendiri, dan salama ini, hanya mampu beralih dari satu gaya manajerial ke gaya manajerial lainnya. Kini Setan Merah beralih ke gaya manajerial Solskjaer, seorang murid asli Ferguson, yang diharap bisa kembali mengembalikan semacam identitas murni ke Old Trafford seperti layaknnya sang guru.
Meskipun ada kemiripan yang tak diragukan antara musim tiga dekade lalu dengan sekarang, tapi itu semua belum bisa memastikan bahwa hasil akhirnya juga akan mirip. Sepakbola modern adalah permainan yang sangat berbeda, dan terdapat kenyataan yang suram juga bahwa, jika Ferguson masih tetap menjadi seorang manajer dengan investasi tujuh juta paun di musim panas dan kemudian membawa United terpuruk dalam satu musim, maka ia justru akan dipecat.
Pasalnya, dengan investasi Solskjaer yang senilai 140 juta paun di musim panas ini saja akan membawanya ke pintu keluar –dipecat– jika ia tidak berhasil membawa United masuk enam besar. Maka, ia hampir tidak mungkin mempertahankan pekerjaannya dengan situasi semacam itu, dan tugas membangun kembali United akan jatuh ke tangan orang lain.
Jadi, menyamakan situasi saja mungkin tidak akan cukup untuk melihat seperti apa United ke depan di bawah Ole Gunnar Solskjaer. Karena di samping itu, sayangnya, keadaan eranya juga sudah jauh berbeda dari era di 30 tahun lalu. Pada intinya, Solskjaer bisa belajar banyak dengan situasi yang dianggap mirip 30 tahun lalu tersebut dengan menggunakan caranya sendiri. Ini semua agar ia bisa menyesuaikan apa yang terjadi dulu dengan apa yang harus diterapkan sekarang.