Pepatah mengatakan kalau karma itu pasti ada. Apesnya, karma itu menimpa Manchester United dengan cara yang menyakitkan dan memalukan.
***
20 menit sebelum peluit babak pertama dibunyikan, Manchester United tampak (terlalu) percaya diri bisa mengalahkan Crystal Palace. Hal ini terlihat jelas dari cuitan akun Twitter resmi mereka yang berharap kalau laga ini bisa berakhir seperti pertandingan pertama ketika melawan Chelsea. Mereka cukup yakin kalau skor telak bisa terjadi lagi.
*#MUNCRY. Wish we were playing Chelsea again, though…
— Manchester United (@ManUtd) August 24, 2019
Anggapan itu sah-sah saja. Sebelumnya, Palace tidak punya cerita bagus setiap menghadapi United di Teater Impian. Mereka tidak bisa meraih kemenangan setiap bertanding di tempat tersebut. Bahkan musim ini, skuad asuhan Roy Hodgson tersebut belum bisa mencetak gol sementara United sudah menyarangkan lima gol ke gawang lawan-lawannya.
Namun alih-alih skor telak, United, dan juga Twitter mereka justru mendapatkan malu dari lawan yang mereka anggap lemah tersebut. Setan Merah takluk 1-2 melalui gol yang menyakitkan dari Patrick van Aanholt pada menit terakhir pertandingan. Cibiran kini berbalik mengarah ke United termasuk akun Twitter Chelsea yang membalaskan rasa sakit hatinya karena disindir oleh mereka.
Dominan Tidak Menjamin Kemenangan
Ole Gunnar Solskjaer begitu kesal dengan kekalahan ini. Dalam perspektifnya, United tidak pantas untuk meraih kekalahan. Bahkan ia yakin kalau United lebih layak untuk menang ketimbang skuad asuhan Roy Hodgson tersebut karena berhasil mendominasi laga.
“Setengah jam pertama, Anda bisa mengendalikan pertandingan sehingga laga terasa lebih mudah. Lalu babak kedua kami sebenarnya bermain dengan baik, namun kami gagal menyelesaikan peluang kami. Pada laga melawan Wolves, kami pantas untuk menang. Begitu juga kali ini, kami pantas untuk menang. Kami berhasil mendominasi laga, namun kami belum bisa mengontrol permainannya,” tuturnya.
Agak sulit sebenarnya untuk menyetujui ucapan Ole. Kenyataannya, United tidak mencerminkan apa pun untuk disebut pantas meraih kemenangan jika melihat permainan mereka di atas lapangan. Mereka memang mendominasi, namun dominasi mereka nampak semu alias tidak terlalu terlihat signifikan. Hal ini yang mungkin membuat Ole kembali berucap kalau timnya tidak bisa mengontrol laga.
Statistik pertandingan menunjukkan hal itu. United membuat 22 percobaan tembakan berbanding 5 miliki Crystal Palace. Namun dari banyaknya sepakan tersebut, hanya 3 yang mengarah ke gawang Guaita. Angka ini sama dengan yang dibuat Palace. Yang membedakan, 2 dari 3 tembakan Palace justru menjadi gol.
Pada 15 menit pertama, United memiliki penguasaan bola hingga 82,4%. Angka ini menunjukkan dominasi mereka. Namun setengah dari jumlah penguasaan bola terjadi di lini belakang mereka sendiri. United hanya menguasai bola namun bukan di area yang berbahaya untuk lawan sehingga permainan mereka terkesan hanya berputar-putar untuk mencari celah.
Secara keseluruhan babak pertama, United mempunyai penguasaan bola sebanyak 62,4% dengan 52,7% diantaranya terjadi di lini pertahanan Palace. Namun serangan MU mudah dimatikan. Sirkulasi bola mereka cukup lambat, kehilangan kreativitas, dan mudah terbaca lini belakang Palace.
Permainan Palace sendiri memang patut diberikan apresiasi. Dengan pola 4-5-1 yang dipakai, Hodgson membuat lini tengah mereka tidak kekurangan jumlah ketika para pemain United mencoba menekan bahkan hingga setengah lapangan. Dalam beberapa situasi, 10 pemain Palace sukses membuat enam pemain (4 pemain belakang plus 2 gelandang tengah) United tidak bisa mendistribusikan bola dengan baik.
Dalam situasi seperti ini, lini belakang United tidak bisa mengalirkan bola dengan baik meski memiliki dua Ball Playing Defender andal. Mereka tidak bisa membuat umpan-umpan vertikal karena Scott McTominay dan Jesse Lingard tidak punya kontribusi yang baik untuk menyerang. Lingard, yang dimainkan sebagai pemain di belakang striker, sebenarnya beberapa kali memancing pemain belakang dengan turun ke lini tengah, namun Palace memilih untuk tidak terpancing pemain andalan Ole Gunnar Solskjaer tersebut.
Selain itu, dua blok yang dipasang Hodgson juga bergerak mengikuti arah serangan United. Hal ini digunakan untuk menciptakan beberapa situasi overload agar pemain United dipaksa untuk melawan kondisi kekurangan pemain tersebut.
Apalagi Palace diuntungkan dengan kurang bagusnya dua bek sayap United untuk menyisir sisi sayap serangan lawan. AWB tidak mempunyai kemampuan ofensif yang bagus sementara Shaw tidak dibekali kemampuan umpan silang yang memadai. Masuknya Young, pemain yang dibenci mayoritas pendukung United, justru membuat sisi flank United bekerja jauh lebih baik dibanding saat Shaw masih berada di sana.
Kesalahan dan Dampak dari Sebuah Perjudian
Pada akhirnya United menderita kekalahan melalui dua gol yang sebenarnya bisa diantisipasi apabila mereka mampu bermain dengan koordinasi antar lini yang cukup baik. Kelemahan Victor Lindelof dalam duel udara berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Jeffrey Schlupp. Jordan Ayew, yang menerima bola dari Schlupp, sukses memanfaatkan terlambatnya cover dari Maguire dan AWB, yang oleh banyak penggemar disebut tidak tega untuk bermain berani melawan mantan klubnya.
Respon Solskjaer untuk mencari kemenangan sebenarnya cukup baik. Ia memasukkan Mason Greenwood untuk meningkatkan lini serang sekaligus membuat United bermain dengan formasi 4-2-4. Namun masuknya pemain belia ini juga tidak memberikan kontribusi apa pun mengingat Pogba dan McTominay seperti membawa arah serangan ke sisi kiri. Alasannya sederhana, James memiliki speed yang jauh lebih baik ketimbang Greenwood. James sendiri berhasil membuat gol pada masa injury time.
Gol James juga terjadi setelah Juan Mata masuk menggantikan Scott McTominay. Paul Pogba, yang hanya bermain sendirian di tengah, berhasil menjadi kreator setelah merebut bola yang sempat hilang dari kakinya.
Namun memainkan Pogba sendirian di tengah pada akhirnya membawa petaka bagi United dan Solskjaer. Gelandang asal Prancis ini seperti menjalani tiga peran yaitu sebagai gelandang bertahan, pengendali, dan gelandang serang. Ia akhirnya membuat kesalahan yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh Van Aanholt untuk membuat gol kemenangan. Dalam proses gol kedua Palace, terlihat tidak ada pemain yang bisa menemaninya di lini tengah karena beberapa pemain lainnya berada di depan.
***
Dua pertandingan terakhir United seperti menunjukkan kalau mereka nampak tidak cocok jika disuruh memegang kendali permainan sejak awal. Para pemain United, yang mayoritas pemain-pemain yang jago dalam counter attack, kerap mentok jika bertemu dengan kesebelasan yang bermain sangat dalam dan mengandalkan dua blok di sepertiga akhir pertahanan mereka. Musim lalu, akurasi sepakan United ke gawang lawan mencapai 42,78%. Salah satu yang tertinggi di Eropa saat itu. Namun dalam tiga laga musim 2019/20, akurasi United hanya 23,81%. Jelas ada penurunan yang signifikan.
Kalau sudah buntu, United kerap melakukan serangan-serangan yang cenderung monoton. Seperti yang terjadi pada laga melawan Palace kemarin. Tidak bisa menembus melalui permainan bola-bola bawah yang diinginkan, mereka kemudian mengandalkan bola-bola silang yang sayangnya tidak dibekali pemain dengan kemampuan duel udara yang mumpuni. Apalagi Solskjaer seperti tidak memiliki plan B. Rencana cadangan disini dalam bentuk pola permainan yang berubah dan bukan hanya sekadar mengganti pemain-pemain tertentu saja. Solskjaer sendiri adalah manajer yang reaktif. Sama seperti idola, ayah, dan panutannya dalam melatih, Sir Alex Ferguson. Namun Solskjaer tidak sama dengan sosok Fergie yang bisa memiliki plan B, C, bahkan D sekalipun.
Jangan sampai para penggemar United, yang berharap bisa melihat United bermain menghibur seperti era Fergie, justru mendapat timnya kembali bermain membosankan seperti era Louis van Gaal hanya karena Solskjaer tidak mempunyai rencana cadangan dan para pemainnya yang baru benar-benar bisa “bermain” hanya ketika ada momen serangan balik.
Musim ini memang baru menjalani pekan ketiga, namun Solskjaer kini hanya memiliki tiga kemenangan saja dari 15 pertandingan terakhirnya. Bahkan sejak dipermanenkan, rasio kemenangan Solskjaer baru menginjak angka 20% saja dan menjadi salah satu yang terburuk. Tentu akan sangat berbahaya bagi kariernya jika kedepannya tidak ada peningkatan yang signifikan.