Nama Nicky Butt mungkin tidak setenar lima nama Class of ’92 lainnya. Namun bukan berarti Sir Alex Ferguson tidak menyukainya. Meski ia tidak memiliki stamina sekuat Ryan Giggs, visi sekelas Paul Scholes, dan sepakan setajam David Beckham, tapi Butt memiliki sikap yang Ferguson sukai.

Butt adalah seorang yang pemberani. Ia tak sungkan bertanya langsung kepada Ferguson mengapa ia tidak dimainkan pada sebuah pertandingan. Ia juga tidak takut untuk membela rekannya yang sedang terlibat dalam insiden dalam sebuah pertandingan.

Sepanjang kariernya di United, Butt memang bukan menjadi andalan utama Ferguson. Pada masa itu, ada nama senior seperti Roy Keane dan Paul Ince yang bermain brilian, ditambah dengan Scholes muda yang sangat potensial. Hal ini membuat Ferguson harus benar-benar hati-hati dalam menempatkan Butt di skuat utama United.

Ketika Ince pergi pada 1995, Ferguson otomatis berharap Butt dapat mengisi posisi Keane setelah pemain yang dikenal emosional itu pensiun atau pergi meninggalkan klub. Saat Keane cedera pada musim 1997/1998, Butt tampil mengesankan dan berhasil membuat Ferguson tak khawatir akan kehilangan Keane. Ia bahkan masuk dalam PFA Player of the Year musim itu.

Namun setelah Keane kembali, Butt mulai jarang bermain. Ferguson sebenarnya kerap melakukan rotasi dan memainkan Butt. Contohnya pada semifinal Liga Champions 1999 saat menghadapi Juventus. Butt bermain menggantikan Scholes yang akan terkena sanksi bermain jika mendapat satu lagi kartu kuning. Butt memang selalu ada ketika dibutuhkan.

Kecintaannya kepada United juga tak perlu diragukan. Butt tidak pernah ingin pergi dari United. Tapi kondisinya yang tidak terlalu banyak bermain tentu menjebaknya dalam situasi sulit. Ia berada di antara kesetiaan terhadap klub dan kesedihan karena tidak banyak terlibat sebagai pemain utama. Dan Butt harus memilih salah satu di antaranya.

Ferguson memperlakukan pemain mudanya seperti anaknya sendiri. Karena itulah ia merasakan trauma yang cukup hebat kala ia harus melepas Butt. Pemain asli Manchester itu akhirnya meninggalkan United pada Juli 2004 dan bergabung dengan Newcastle yang saat itu dilatih oleh Bobby Robson.

“Itu bagian yang menyeramkan dalam pekerjaan saya. Anda menjadi keluarga, Anda akan menjaga mereka seperti ayah melakukan kepada anaknya. Itu sangat menyakitkan bagi saya pada saat itu karena mereka adalah profesional yang fantastis,” ujar Ferguson pada sebuah wawancara dengan ESPN.

“Phil Neville dan Nicky Butt addalah bagian dari kami sejak dahulu dan itu tak perlu dipertanyakan. Orang-orang bisa mengidentifikasi Manchester United dalam beberapa hal, dengan pemain hebat yang dimiliki, dengan pemain yang dibeli tapi rahasia aslinya adalah pemain yang memberi semangat ke Manchester United. Phil Neville dan Nicky Butt adalah bagian dari itu.”

Meski berat, namun akhirnya Ferguson melepas Butt. Menurut Ferguson, pemain-pemain seperti Butt tidak akan pernah dilepas, namun jika pihak klub justru memberi banyak kerugian dibanding membantu mereka, maka melepasnya ke klub lain tak akan terelakan.

Dalam 12 tahun karirnya bersama United, Butt membuat 387 penampilan dengan raihan 26 gol. Butt juga mengoleksi 14 trofi selama karirnya. Kini ia menjabat sebagai pelatih kepala di tim akademi United. Jika saja United bermain dengan tiga gelandang, Ferguson pasti akan memainkan Butt dan membuatnya menjadi legenda yang lebih besar lagi.

 

Editor: Frasetya Vady Aditya
Sumber: Buku otobiografi Alex Ferguson "My Autobiography"