Foto: Daily Star Sport

Salah satu legenda Manchester United, Wayne Rooney, menceritakan momen kacaunya ketika ia berada di klub. Ia juga mengungkapkan bagaimana ia sempat terpantik untuk “memarahi” Sir Alex Ferguson setelah kelahiran putra pertamanya.

Kembali pada bulan November 2009, saat itu Rooney melakukan persiapan untuk pertandingan grup Liga Champions antara Manchester United melawan CSKA Moskow. Ia begitu terganggu ketika istrinya Colleen melahirkan putra pertamanya Kai sehari sebelum pertandingan.

United memiliki modal optimisme sebelum pertandingan karena mereka hanya perlu memperoleh satu poin untuk lanjut ke babak sistem gugur kompetisi. Dan di laga itu, dengan kondisi yang tidak memungkinkan, Rooney dinilai harus melewatkan pertandingan.

Sayangnya, Ferguson tidak mau meninggalkan salah satu bintangnya. Bahkan ia bersikeras kepada Rooney agar bersiap-siap dan meninggalkan Colleen sendirian di rumah sakit. Perintah itu membuat Rooney naik pitam, dan setibanya di Old Trafford, sesuatu yang tidak diharapkan pun terjadi.

“Saya ingat ketika Kai lahir, saya hanya berpikir; ‘Bagaimana saya harus bertanggung jawab?’ Setelah dia lahir, Alex Ferguson meminta saya untuk pulang dan meninggalkan Coleen sendirian di rumah sakit. Itu karena United akan melawan CSKA Moscow di Liga Champions keesokan harinya,” ujar Rooney kepada Daily Mail.

“Saya mengatakan kepadanya bahwa saya tidak tidur selama dua hari, akan tetapi dia (Ferguson) berkata; ‘Pulanglah, karena Anda harus bermain. Saya tiba di stadion dan dia menempatkan saya di bangku cadangan. Padahal dia mengistirahatkan Berbatov dari skuat. Jelas saya marah. Dan dia memberi saya hari libur setelah itu.”

Meskipun Rooney kurang senang dicadangkan, ia tetap membuat kontribusi besar dalam permainan. Setelah United kalah 3-1 dan tampaknya akan kehilangan rekor tak terkalahkan dalam 22 pertandingan kandang mereka, Ferguson pun mulai meminta Rooney bermain.

Ia kemudian masuk dan berperan dalam dua gol penyeimbang Setan Merah. Wazza sangat menginspirasi semua orang di akhir pertandingan. Hasil imbang 3-3 berhasil mengamankan posisi United di babak 16 besar, dan itu merupakan torehan positif bagi pasukan Fergie.

Namun selain soal kemarahannya kepada Sir Alex Ferguson, Wayne Rooney juga telah membuka masa kelamnya kala ia tidak bisa berhenti dari minuman keras. Bahkan hal ini ia lakukan selama karier profesionalnya di klub.

Dalam sebuah wawancara dengan Daily Mail menjelang rilis film dokumenter Amazon Prime Video ‘Rooney’, pemain berusia 36 tahun itu terbuka untuk menceritakan masa lalunya. Ia sangat ingat betul betapa sulitnya masa kelam yang ia lalui sejak muncul sebagai bocah berbakat berusia 16 tahun darii Goodison Park.

“Saya telah membuat banyak kesalahan ketika saya masih muda. Beberapa saya pernah ungkap di pers, dan beberapa tidak. Entah itu tentang berkelahi atau apa pun. Bagi saya, itu sulit untuk dihadapi. Berurusan dengan semua hal di media membuat saya stres. Dan berurusan dengan manajer saat itu sangatlah sulit,” ungkap Rooney.

“Pada tahun-tahun awal saya di Manchester United, mungkin sampai kami memiliki putra pertama saya, Kai, saya benar-benar mengunci diri. Saya tidak pernah keluar dan berinteraksi dengan siapa pun. Saya kesulitan untuk meninggalkan kebiasaan buruk saya.”

“Ada saat-saat di mana saya mendapatkan beberapa hari libur dan saya benar-benar mengunci diri untuk minum. Saya lakukan itu untuk mencoba menghilangkan semua yang ada di pikiran saya. Mengunci diri membuat saya melupakan beberapa masalah yang sedang saya hadapi. Rasanya seperti pesta pora.”

Wayne Rooney merasa kalau ia berada “di tempat yang sangat buruk” sebelum menyelesaikan masalah. Maka sangat wajar mengapa ia begitu depresi dengan keadaan yang menyelimutinya. Rooney kemudian menambahkan kalau ia selalu terus mencoba mengatasi masalahnya ini sendirian. Hingga akhirnya ia bisa berdamai dengan semua perasaannya.

“Yang saya rasakan adalah tekanan di mana-mana. Saya merasakan tekanan bermain untuk negara dan bermain untuk Manchester United. Beberapa tekanan di antaranya muncul di surat kabar, khususnya tentang kehidupan pribadi saya. Saya mencoba untuk menghadapi semuanya. Dan tekanan itu perlahan membangun kepribadian saya,” tutur Wazza.

“Saya mencoba mencari cara untuk menghadapinya sendiri. Saya tumbuh di lingkungan yang kurang baik, dan saya tidak pernah benar-benar pergi dan berbicara dengan siapa pun. Saya selalu menemukan cara untuk menghadapinya sendiri. Dan saya terus mencoba mengatasinya sendiri daripada meminta bantuan.”