Foto: Blame Football

Pada awal kedatangannya, Solskjaer tampil sangat mengejutkan ketika membawa United meraih 10 kemenangan dari 11 pertandingan pertamanya setelah ditunjuk menggantikan Mourinho. Tidak hanya itu, beberapa rekor apik yang tidak bisa dibuat Sir Alex Ferguson dan Sir Matt Busby justru bisa ia torehkan meski statusnya hanya caretaker.

Prestasinya tersebut membuatnya mendapatkan gelar individu. Salah satunya adalah menjadi manajer terbaik Premier League bulan Januari. Hingga bulan ketiga, ia terus membawa United berada dalam trek yang benar sehingga manajemen United kemudian mengangkatnya sebagai manajer permanen selama tiga musim berikutnya.

Namun, Ole Gunnar Solskjaer kini berada dalam situasi terpojok. Kapasitasnya dalam memegang Manchester United mulai diragukan. Hal ini tidak lepas dari penurunan performa tim yang mulai goyah. Setelah dipermanenkan, United justru menderita lima kekalahan dalam tujuh pertandingan terakhirnya. Harapan yang sebelumnya membumbung bersama Solskjaer kini perlahan mulai turun seiring penampilan kesebelasan yang tampil inkonsisten dan tidak menjanjikan layaknya pada awal-awal Solskjaer memegang tim.

Salah satu yang meragukan kapasitas Solskjaer adalah mantan pemain Tottenham Hotspur, Jermain Jenas. Pria yang sekarang menjadi pundit BBC ini mengungkapkan kalau keputusan manajemen United memberikan kontrak permanen kepada Solskjaer adalah keputusan yang terburu-buru. Jenas menyebut kalau manajemen membuat keputusan hanya berdasarkan sisi emosional yang pernah terjalin antara United dan Solskjaer.

“Saya melihat kalau United emosional dengan Ole. Saya merasa itu (keputusan mempermanenkan Ole) adalah keputusan yang sangat emosional. Menurut pemikiran saya, memilih pelatih harus didasarkan dengan keputusan yang logis, menggunakan keputusan yang matang, karena kita membahas seorang manajer yang akan menangani tim dalam jangka waktu yang cukup panjang,” tutur Jenas.

Solskjaer ditunjuk karena bisa memberikan aura yang positif bagi para pemain United yang tidak bisa berkembang bersama Mourinho. Tidak hanya itu, ia memiliki kedekatan yang cukup spesial dengan Sir Alex Ferguson. Keberadaan orang dalam memudahkan dirinya untuk meminta saran kepada sosok manajer terbesar mereka sepanjang masa tersebut agar para pemain bisa bermain seperti di eranya dulu. Hal ini yang telah beberapa kali ia lakukan ketika pertama kali menangani tim.

Meski begitu, hal inilah yang membuat Jenas merasa kalau Solskjaer tidak akan bisa berkembang bersama United. Kedepannya ia akan mengalami nasib serupa seperti para pendahulunya yang kerap dibanding-bandingkan dengan sosok sebesar Sir Alex Ferguson ketika permainan United tidak sesuai dengan yang diinginkan para penggemar mereka.

Ia berharap Solskjaer bisa membuat identitasnya sendiri tanpa bantuan dan bayang-bayang Sir Alex Ferguson. Pemain yang pensiun karena cedera parah ini merasa kalau yang bisa membuat United bermain seperti tim layaknya era Sir Alex Ferguson adalah Alex Ferguson itu sendiri. Bukan Van Gaal, Mourinho, atau bahkan Solskjaer.

“Salah satu yang harus mereka hindari adalah penyebutan ‘cara Manchester United’ dan ‘itu bukan cara yang biasa Ferguson lakukan’. Apa yang dilakukan Ferguson adalah pekerjaan unik dan United merasa sulit untuk meniru apa yang ia buat dengan beberapa manajer terbaik di dunia.”

“Lihat Pep Guardiola ketika masuk ke Manchester City. Dia tidak mengatakan ‘apa yang dilakukan Mancini dan Pellegrini untuk memenangkan liga?’ Dia masuk ke dalam tim dan melakukan apa yang ingin dia lakukan. Jurgen Klopp di Liverpool juga demikian. Ia punya gayanya sendiri.”

“Itulah yang saya inginkan dari United sekarang. Saya tidak perlu mereka berpikir keras dan mencoba mencari orang yang mirip seperti Ferguson. Mereka perlu menemukan identitas baru. Mourinho mencoba melakukan itu tapi klub justru tidak setuju,” tuturnya menambahkan.

Musim ini mungkin menjadi awal yang sulit bagi Solskjaer dalam tiga tahun masa kepelatihannya. Pembuktian sesungguhnya tentu pada musim depan saat ia menjalani beberapa tahapan di bursa transfer dan melakoni pra-musim pertamanya. Pada saat pra-musim itulah Solskjaer sudah harus menemukan pola dan taktik seperti apa yang ingin ia mainkan ketika memasuki musim 2019/20. Taktik yang membuat United disebut bermain dengan gaya Solskjaer dan tidak lagi membawa-bawa nama Ferguson.

Lagipula, mau sampai kapan kita sebagai penggemar harus membanding-bandingkan gaya main setiap manajer United dengan apa yang ditampilkan Sir Alex Ferguson selama 26 tahun kariernya? Bisa-bisa klub ini kedepannya hanya akan mengungkit-ngungkit sejarah karena tidak bisa move on dari kakek berusia 77 tahun tersebut.