Biasanya saya tidak terlalu sependapat dengan kosakata apa yang dibuat Coach Justin dalam akun Youtube-nya seperti umpan ke kerumunan, miskin taktik, dan lain-lain. Namun, untuk saat ini saya sepertinya setuju dengan salah satu kosakata yang dimiliki oleh beliau. Yaitu “ancur-ancuran.”
Ancur-ancuran tampaknya pas untuk mendefinisikan permainan Manchester United ketika bertemu Leicester City semalam. Penantian dua pekan suporter setia mereka harus dibayar dengan permainan yang sangat buruk, tidak ada visi, dan mudah di ekspos. Bahkan kekalahan 4-2 ini dinilai jauh lebih jelek ketimbang saat mereka kalah di tempat yang sama dengan skor 5-3 tujuh tahun yang lalu.
Ketika Harry Maguire diumumkan bermain, suporter sempat lega karena pemain andalannya kini telah kembali. Ironis, kembalinya Maguire di King Power justru menjadi berkah bagi mantan klubnya. Empat gol semua hadir dengan keterlibatan dia di dalamnya.
Ia terlambat membaca bola dari De Gea dan membaca permainan. Iheanacho memanfaatkannya dengan mencuri bola dan sisanya menjadi gol Tielemans. Saat para pemain United di kotak penalti berada di depan pemain Leicester, Maguire terlambat untuk keluar sehingga pemain Leicester menjadi onside pada gol kedua.
Gol ketiga memang tidak hanya andil dari Maguire seorang. Tapi dia terlambat menutup pergerakan Vardy saat itu. Sedangkan gol empat, ia seperti orang linglung saat mengawal Patson Daka. Ole Gunnar Solskjaer sendiri mengaku salah sudah berjudi dengan memainkan Maguire.
Sebenarnya, United memulai laga dengan baik lewat gol Greenwood. Namun setelahnya Leicester lah yang pintar memanfaatkan banyaknya celah yang dibuat oleh pemain tengah dan belakang United. Ini yang membuat beberapa kali pemain United bertahan dengan banyak mengejar dari belakang karena beberapa kali Leicester seringkali dapat situasi menang jumlah.
“Pemain tengah United tidak melakukan press sehingga kami bisa bersabar dan mengolah bola dengan baik. Lalu kami masuk ke beberapa area yang bagus dan memberi tekanan pada lini belakang mereka,” ujar Brendan Rodgers.
Yang menjadi masalah adalah United, khususnya Ole, mereka seperti membiarkan masalah ini terus berlanjut hingga 90 menit. Tidak adanya plan B atau plan C untuk mengatasi masalah lini tengah ini. Ole kemudian memasukkan Marcus Rashford dengan harapan bisa cetak banyak gol. Gol pada akhirnya memang datang tapi gol yang masuk ke gawang De Gea justru lebih banyak dari yang mereka cetak.
United terus-terusan diminta untuk bermain agresif tanpa memperhatikan struktur mereka ketika membangun serangan. Bola secepat mungkin harus diberikan ke depan yang sayangnya justru acak-acakan. United agresif tapi tidak disiplin dalam hal penempatan posisi baik ketika menyerang atau diserang. Inilah yang membuat United tidak bisa memenangi bola kedua.
Beberapa kali saya katakan kalau di era Ole Manchester United menjadi tim yang susah ditebak penampilannya setiap pekan. Mereka bisa saja bermain bagus pada hari ini tapi di pekan berikutnya permainan mereka bisa memburuk. Inkonsisten. Sulit untuk mencari siapa yang salah dan patut bertanggung jawab apakah Ole atau para pemain. Lagipula kita juga tidak tahu apa saja yang mereka bicarakan dalam sesi latihan.
Mantan legenda timnas Skotlandia, Alan Hutton, menyebut kalau United saat ini sebenarnya tidak kekurangan kualitas. Akan tetapi, mereka hanya kekurangan kolektivitas. Para pemain berkualitas ini seperti tidak tahu bagaimana caranya bermain sebagai satu kesatuan tim dan itu terlihat ketika laga melawan Leicester.
Ole tentu harus mencari jawabannya secepat mungkin mengingat setelah ini ada Atalanta, Liverpool, Spurs dan juga Man City yang telah menunggu mereka.