Ketika kesalahan demi kesalahan terus terulang setiap pertandingan, otak terkadang langsung berpikir apakah yang bermain ini adalah individu-individu terbaik di dunia sepakbola ataukah hanya segerombolan keledai yang hobi masuk lubang yang sama.
Disaat suporter United merayakan kemenangan dengan euforia ketika melawan Atalanta beberapa waktu lalu, Paul Scholes memilih untuk bersikap sewajarnya. Ia bukannya tidak senang dengan kemenangan itu, tapi kemenangan itu seolah menutupi masalah pertahanan United yang berantakan pada babak pertama.
“Saya gembira United menang. Tapi lihat secara keseluruhan terutama pada babak pertama. Itu mengkhawatirkan. Tidak ada sebuah kesatuan yang bagus. Bisakah mereka bermain melawan Liverpool seperti itu? Tidak akan pernah dalam sejuta tahun. Jika mereka bermain seperti itu lawan City dan Liverpool, mereka sudah ketinggalan empat gol pada babak pertama,” ujarnya.
Ucapan Scholes menjadi kenyataan. Semalam United berantakan di kandang sendiri. Lawannya Liverpool. Skornya 0-5. Empat gol terjadi pada babak pertama alias sesuai prediksi dari Sang Pangeran Jahe.
Membahas soal kekalahan United memang menyebalkan. Bukan karena kalahnya, melainkan prosesnya. Hampir semuanya sama yaitu kesalahan dalam struktur bertahan. Tiga pertandingan, cara kebobolannya hampir sama. Kesalahan ketika melawan Leicester, mereka ulangi lagi melawan Liverpool. Imbasnya, tiap ada kekalahan tulisan yang dibuat pun intinya selalu sama.
Miskoordinasi masih sering dilakukan. Gol ketiga misalnya, semua pemain belakang United melakukan hal yang sama yaitu press kepada pembawa bola termasuk Shaw. Apesnya, hal ini tidak diimbangi dengan cover dari pemain lain terhadap posisi yang ditinggalkan eks Southampton itu.
Seperti tidak ada pembagian peran dalam cara bermain United khususnya ketika bertahan. Siapa yang harus melakukan press, siapa yang harus cover. Dan itu memberi bencana bagi diri mereka sendiri ketika melawan tim yang agresif seperti Liverpool.
Beberapa laga juga memperlihatkan kalau United memakai garis pertahanan tinggi. Akan tetapi, hal ini tidak diimbangi dengan kesiapan mereka menerima serangan balik. Hasilnya gawang mereka gampang diserang. Implementasinya bisa dilihat dari proses gol Naby Keita yang diawali dengan aksi Wan Bissaka yang melakukan “sekali ambil” yang membuat semua pemain belakang United bergeser ke kanan secara bersamaan.
Ketika kesalahan demi kesalahan selalu diperlihatkan, maka pertanyaan besar pun muncul: Ngapain aja mereka selama ini di Carrington Training Ground? Apakah tidak ada drill khusus yang dilakukan Ole dan staf pelatih? Atau tidak ada sesi latihan khusus saking banyaknya pihak yang menyebut kalau Ole adalah manajer dengan tipikal membebaskan para pemainnya untuk berkreasi di lapangan.
Banyak memberi kebebasan kepada pemain bak pisau bermata dua. Di satu sisi, kebebasan membuat pemain bisa berkreasi menurut caranya sendiri. Namun di sisi lain, terlalu banyak memberi kebebasan bisa menghancurkan permainan tim apabila chemistry pemain tidak terjalin dengan solid.
Alhasil, permainan akan menjadi berantakan ketika skema main bebas yang mereka usung juga ikut berantakan. Menarik juga apabila Ole ternyata memang tidak memberi wejangan para pemainnya untuk tetap disiplin meski dibiarkan untuk berkreasi sendiri.
Memang ada kalanya United dengan Ole Gunnar Solskjaer bermain superior. Menghadapi City musim lalu contohnya. Akan tetapi, mereka seperti tidak bisa menunjukkan penampilan seperti itu di setiap pertandingannya. Inkonsistensi parah yang bisa membuat United terlihat bagus banget tapi juga bisa terlihat jelek banget.
United pada musim ketiga Ole Gunnar Solskjaer justru memiliki masalah yang semakin kompleks alih-alih terselesaikan satu demi satu. Dari masalah serangan di sisi kanan yang masih biasa saja meski kedatangan Sancho, hingga pertahanan yang malah makin acakadut meski telah membeli banyak pemain belakang.
Kekalahan telak semalam memang sulit dimaafkan. Jika merunut pernyataan Fabrizio Romano, kekalahan akan membuat Ole kesulitan mengontrol ruang ganti United. Hingga tulisan ini dibuat, memang belum ada tanda-tanda apakah ada pergolakan besar di sekitar tubuh United mengingat berita pemecatan saja tampaknya tidak ada.
Menarik melihat respons United ketika menderita kekalahan ini. Kalimat template seperti “kita harus bangkit” sudah keluar dari mulut para pemainnya. Yang menjadi masalah tentu mereka akan dihadapkan dengan Tottenham dan Manchester City, dua tim yang bisa mempersulit langkah Ole ke depannya.
Adam Crafton dari The Athletic menyebut kalau Ole Gunnar Solskjaer adalah sosok yang bisa membawa Manchester United menjadi lebih baik, tapi dia juga berkata kalau Ole bukanlah sosok yang bisa membawa United menjadi yang terbaik. Atau kutipan dari pengamat bola lainnya, Zen RS yang menyebut kalau harga keberadaan Ole di kursi manajer akan sangat mahal mengingat ia akan membawa aib kekalahan ini sampai kapan pun.
Ole kini benar-benar dalam tekanan yang luar biasa.