Rian Ekky Pradipta mencuit kalau dia kangen Ole Gunnar Solskjaer menjadi pelatih Manchester United. Dalam pikiran saya, ia telah tersesat.
Soal Trofi
Solskjaer menangani United selama tiga tahun. Ia ditunjuk sebagai pelatih caretaker menggantikan Jose Mourinho sebelum akhirnya dipermanenkan. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari Ole sebagai pelatih. Di United, capaian terbesarnya adalah mencapai final Europa League 2020/2021. Di liga, ia pernah membawa MU ke peringkat kedua di musim tersebut. Sementara semusim sebelumnya, United dibawa ke semifinal Piala FA, Piala Liga, dan Europa League.
Bandingkan dengan Erik ten Hag. Selama tiga musim ini, ia sudah memberikan dua trofi, Piala Liga 2023 dan Piala FA 2024. Capaian Ten Hag di liga memang buruk, tapi karena kita bicara soal trofi, Ole dan Ten Hag jelas tak bisa disandingkan.
Gaya Bermain
Kalau bicara gaya main, apa yang dilakukan Solskjaer justru lebih tidak terstruktur. Namun, Ole memang punya keberuntungan besar saat menghadapi pertandingan sulit. Puncaknya di babak 16 besar Liga Champions 2019 saat United comeback atas Paris Saint-Germain.
Ole juga mendapatkan sejumlah pemain berharga mahal seperti Daniel James, Aaron Wan-Bissaka, Harry Maguire, Bruno Fernandes, sampai Jadon Sancho. Namun, agaknya cuma Bruno yang tampil konsisten sampai sekarang. Sisanya bahkan tak main lagi untuk The Red Devils.
Rian mungkin lupa bahwa United juga pernah dibantai 1-6 oleh Tottenham Hotspur pada 4 Oktober 2020. United pernah kalah dari Everton 0-4 dan Liverpool 0-5. Tidak sebagus itu juga. Secara permainan, suporter United sering frustrasi karena gaya main yang tidak jelas. Hasilnya mungkin menang, tapi secara permainan jauh dari kata memuaskan.
Ten Hag juga sama. Sejauh ini, proses yang ia sebutkan masih belum jelas bentukannya. Pemain-pemain baru sudah didatangkan tapi gaya bermain United masih jauh dari kata ideal. Namun, bila harus kembali ke zaman Ole, jelas itu adalah sebuah kemunduran akal sehat.