Foto: stretty News

Jika ada pemilihan pemain yang nasibnya kurang beruntung selama memperkuat Manchester United, maka nama Dion Dublin layak masuk dalam daftar.

Dion Dublin mungkin tidak setenar striker-striker lain yang bersinar di awal 90-an seperti Gary Lineker, Ian Wright, hingga Alan Smith (pemain Arsenal). Meski begitu, catatan tiga kali top skor klub bersama Cambridge United pada Second Division membuat banyak tim yang menginginkan jasanya. Termasuk Manchester United.

Pada 7 Agustus 1992, Sir Alex Ferguson mendatangkan Dublin. Mereka mengalahkan Chelsea dan Everton. Biaya 1 juta pounds dikeluarkan yang saat itu yang merupakan nilai cukup tinggi pada era tersebut.

Sebenarnya, transfer tersebut terbilang mengejutkan mengingat Sir Alex lebih menginginkan Alan Shearer yang ketika itu berstatus wonderkid. Akan tetapi, Shearer memilih untuk hengkang ke Blackburn Rovers. Meski begitu, Fergie puas karena mereka berhasil mendatangkan Dublin yang juga masih muda dan tajam di depan gawang.

Meski Dublin baru bisa mencetak gol pada pertandingan keempat melawan Southampton, namun dia berhasil beradaptasi dengan baik. Sepertinya, Dublin siap untuk memimpin lini depan mereka.

Sayangnya, nasib buruk langsung datang sepekan setelah ia menjadi pahlawan. Pada pertandingan melawan Crystal Palace, Dublin mendapat tekel keras dari Eric Young. Tulang fibulanya patah dan mengalami dislokasi yang membuatnya absen selama enam bulan.

“Saya mengalami dislokasi di pergelangan kaki dan itu sakit sekali. Tulang fibula saya patah karena tekel dari Eric Young, bek tengah yang biasa dipanggil Ninja. Dia menangkapku hari itu,” tutur Dublin.

“Dia mungkin berkata kalau itu kecelakaan tapi itu tekel yang sangat buruk. Saya hanya bisa merasakan sakitnya saja.”

Cederanya Dublin menjadi kisah tersendiri bagi perjalanan kariernya. Namun, siapa yang menyangka kalau cederanya pemain kelahiran Leicester ini menjadi salah satu faktor tidak langsung dari keberhasilan United meraih gelar Premier League musim itu.

Absen enam bulan jelas bukan waktu yang singkat. Apalagi United saat itu menjalani tujuh laga tidak pernah menang dan terjebak pada posisi ke-10. Inilah yang membuat Ferguson memilih kembali mencari pemain. Saat itu, jendela transfer memang belum ada sehingga klub bebas membeli pemain kapan saja. Ketika itu, United mendatangkan Eric Cantona dari Leeds.

Sama seperti mendatangkan Dublin, keputusan mendatangkan Cantona saat itu juga dikarenakan Fergie gagal mendatangkan target utama mereka yaitu Peter Beardsley. Bahkan, target alternatifnya saat itu adalah (masih) Alan Shearer dan David Hirst. Nama terakhir bahkan sudah enam kali ditawar United sampai-sampai membuat United memberi tiga juta pounds. Sayangnya, pdkt United masih gagal.

“Selama musim panas, aku mencoba mendatangkan Alan Shearer, lalu David Hirst. Saat saya di kantro Martin Edwards, dia menyarankan Peter Beardsley. Tapi kemudian ada panggilan masuk dari Bill Fotherby dari Leeds yang ingin mengontrak Irwin. Saya bilang Irwin tidak dijual, lalu saya berkata Cantona dan dia ragu-ragu sambil berkata kalau aku harus bertanya kepada Howard Wilkinson, pelatih Leeds,” kata Sir Alex Ferguson.

Kita semua tahu apa yang terjadi sesudahnya adalah sejarah. United sukses merekrut Cantona, mendapat nomor keramat 7, lalu menjadi kunci kesuksesan tim memutus puasa gelar liga yang berlangsung 26 tahun.

Di sisi lain, nama Dublin mulai terlupakan. Hingga 1994, ia hanya bermain 11 kali saja untuk klub secara total. Ia juga tidak mendapat medali kemenangan Premier League karena tidak memenuhi syarat jumlah penampilan minimal. Medali 1992/93 didapat hanya karena sebuah dispensasi.

Meski menyedihkan, namun Dublin memilih untuk tertawa tiap kali mengenang kejadian itu. Setidaknya, ia bisa mengaku sebagai katalis dari kesuksesan United pada 90-an. Belum tentu juga United juara liga jika ia tidak mengalami cedera parah tersebut.

“Kita semua tahu setelah Eric masuk. Ngomong-ngomong saya adalah katalis untuk Manchester United. Jika saya tidak mematahkan kaki saya, mungkin Eric tidak akan datang. Lalu dia datang dan semuanya berubah. Saya tidak sedih. Bahkan itu membuat saya lebih kuat,” kata Dublin.

Dublin memang kalah pamor. Ia juga kalah jumlah gelar dari Eric. Namun, setidaknya Dublin bisa mengalahkan King dari sisi produktivitas selama bermain di kompetisi atas. Dublin sukses membuat 111 gol di Premier League bersama tiga tim dan masuk dalam Premier League 100 goals, sedangkan Cantona hanya membuat 64 gol.