Dibanding rekan setimnya yang kerapkali memposting kalimat template seperti “not result we wanted” atau “comeback stronger”, De Gea seperti mencoba jujur dengan memposting tiga kata saja yang memiliki makna lebih. I am Hurt
Apa yang terjadi di Old Trafford semalam memperlihatkan sisi yang baru dari seorang David de Gea. Ia yang biasanya kalem dan irit bicara, tiba-tiba menjadi sosok yang paling reaktif. Meninju tiang, memarahi pemain belakang United, berjalan sambil berkomat-kamit layaknya berbicara sesuatu, hingga ditutup dengan pukulan ke arah tunnel ketika memasuki ruang ganti.
Siapa pun yang pernah bermain sebagai penjaga gawang pasti merasakan betul apa yang dirasakan De Gea. Ia dikawal oleh empat bek yang betul-betul lemah dari segi kolektif hingga individu. Tidak satu sampai dua pertandingan melainkan sudah beberapa pertandingan dia melihat rekan setimnya bermain seperti itu.
Bagaimana tidak, semalam kita mendapat fakta kalau ancaman United ke gawang De Gea justru lebih banyak ketimbang ke gawang Ederson. Singkatnya, De Gea tidak hanya berjuang dari serangan Bernardo Silva saja tapi juga serangan dari pemain belakangnya sendiri. Ia pun takluk oleh kesalahan Eric Bailly.
Eric Steele, mantan pelatih De Gea pernah berkata kalau tanggung jawab menjaga gawang adalah pekerjaan kolektif alias bersama-sama. Meski kiper punya tanggung jawab yang lebih, namun segalanya menjadi sia-sia jika pemain lain (pemain belakang) tidak memberi perlindungan yang baik sehebat apa pun kiper yang dimiliki.
Wajar jika De Gea kesal. Musim 2021/2022 ia jadikan sebagai batu loncatan untuk kembali ke performa terbaiknya yang sempat hilang musim lalu. Dianggap overrated oleh Roy Keane, lalu menjadi satu-satunya penendang penalti yang gagal pada final Liga Europa, serta kehadiran Dean Henderson yang sempat membuatnya menjadi nomor dua.
Sejauh ini, ia membayarnya dengan baik. Sayangnya, gawang yang ia jaga masih suka kebobolan karena kolektivitas pertahanan yang justru tidak kunjung membaik meski sudah ada upgrade dari komposisi pemain belakang baik dari zaman Moyes, Van Gaal, Mourinho, hingga Ole.
Memang, De Gea masih suka beberapa kali salah mengambil keputusan. Namun, jika melihat dia sudah pontang-panting ketika melawan City kemarin, sah rasanya kalau ini semua karena dosa pemain belakang United sendiri yang membuatnya begitu frustrasi.
De Gea kini sudah memasuki musim ke-11 di kota Manchester. Ia sudah melampaui banyak catatan yang dimiliki kiper legendaris United lainnya macam Schmeichel dan Van Der Sar. Sayangnya, ia tidak mendapat proteksi bagus layaknya dua legenda United tersebut. Singkatnya, De Gea kembali harus bekerja sendiri untuk menanggung beban menyelamatkan tim ini dari satu pertandingan ke pertandingan lainnya.
Catatan empat kali raihan pemain terbaik klub membuat De Gea menjadi pemegang titel terbanyak sepanjang sejarah klub. Namun, alih-alih menunjukkan kalau United memiliki kiper yang berasal dari galaksi lain, catatan ini juga menjelaskan kalau mereka punya lini belakang yang bermasalah. Bukankah ada sebuah kutipan legendaris yang berbunyi “Ketika pemain terbaik Anda adalah seorang penjaga gawang, maka sebetulnya Anda mendapat masalah”.
United punya utang yang begitu besar kepada De Gea. Enam tahun lalu, ia seharusnya sudah pindah ke Real Madrid. Alih-alih hengkang, ia memutuskan bertahan bersama klub yang masih saja terjebak dalam kesulitan untuk memilih apakah mau percaya proses atau mengikuti arus sepakbola instan.
Jika saja kepindahan itu terealisasi maka sudah berapa kali feed instagram De Gea akan dipenuhi foto dia sedang mengangkat piala dengan raut wajah yang ceria dan bukan foto ketika dia sedang berjalan termenung memandang tanah menahan sakit seperti yang ia rasakan kemarin. Momen menyedihkan yang harus ia terima jelang hari ulang tahunnya yang ke-31 pada hari ini.