Inggris gagal menjuarai Euro 2020 karena tiga eksekutor penalti mereka gagal melakukan tugasnya. Kritik diarahkan pada Gareth Southgate yang berperan penting dalam penunjukkan eksekutor penalti tersebut.

Ketiga pemain tersebut adalah Bukayo Saka, Marcus Rashford, dan Jadon Sancho. Dua nama terakhir bahkan sengaja dimasukkan di akhir pertandingan, hanya untuk mengambil tendangan penalti.

Sialnya, keadaan berkata lain. Ketiganya gagal dan berdampak pada pelecehan rasial. Southgate pun disorot karena mempercayakan eksekutor penalti di pertandingan sepenting Euro 2020 kepada pemain yang masih bau kencur: Saka 19 tahun, Sancho 21 tahun, dan Rashford 23 tahun.

Hal ini pun mendapatkan perhatian dari Rio Ferdinand. Dalam acara Youtube-nya, Ferdinand membandingkan Southgate dengan Sir Alex Ferguson. Ia membandingkannya dengan satu momen terbaik dalam hidupnya: final Liga Champions 2008.

“Aku belum pernah ada di momen tendangan penalti pada final Piala Eropa, tapi aku pernah merasakan ada di final Liga Champions, dan aku pernah merasakan perasaan gugup, betapa hebatnya saat mengambil penalti ketika itu,” kenang Rio.

Ketika itu, United melaju ke final Liga Champions dengan menghadapi Chelsea. Pertandingan bertahan 1-1 di waktu normal dan tak berubah di babak perpanjangan waktu. Laga yang dipimpin Lubos Michel ini akhirnya dilanjutkan ke babak adu penalti.

Rio Ferdinand tidak ada dalam daftar lima pemain penendang penalti United yang diisi oleh Carlos Tevez, Michael Carrick, Cristiano Ronaldo, Owen Hargreaves, dan Nani. Dari kelima penendang ini, Ronaldo menjadi satu-satunya eksekutor yang gagal. Chelsea sebenarnya bisa saja juara andai tendangan John Terry tak meleset ke sisi kiri gawang Edwin van der Sar.

“Aku melihat daftar penendang penalti Man United di malam itu di Moskow, dan penendang kelima kami adalah Nani. Dia masih 21 tahun saat itu, penendang penalti keenam kami adalah Anderson yang masih 19 atau 20 tahun juga ketika itu. Siapa setelah Anderson? Ryan Giggs,” cerita Rio.

Yang dibilang Rio memang benar. Nani masih 21 tahun sementara Anderson baru menginjak 20 tahun.

“Sir Alex Ferguson tak pernah diragukan saat menempatkan Giggs dibelakang dua pemain muda, dua bayi dalam hal pengalaman, dua pemain yang ia masukkan untuk menendang penalti.”

Satu hal yang menarik, Nani dimasukkan pada menit ke-101 sementara Anderson pada menit ke-120+5. Artinya, Fergie memang sengaja memasukkan Anderson khusus untuk menendang penalti, meski ia ada di urutan keenam setelah Nani.

“Jadi itu tak apa-apa kalau Anda menang. Kalau Anda kalah, Anda akan dikritik,” jelas Rio.

Menurut Rio, publik dan fans Inggris tak bisa hanya menyalahkan Southgate, karena dalam adu penalti, pengalaman saja tak bisa menjadi tolak ukur untuk menjadi eksekutor. Agaknya, Rio mengandaikan dirinya sendiri dalam kondisi ini, yang meski berpengalaman, tapi tak menendang penalti.

“Satu, Anda membutuhkan pemain berpengalaman yang ingin menendang penalti. Grealish bilang kalau dia ingin mengambil penalti, tapi kita tak tahu dengan Henderson, Walker, Sterling, atau pemain lain yang tak mau mengambil penalti.”

“Aku tahu fakta kalau mereka berlatih penalti setiap hari usai latihan dan manajer akan memilih siapa saja yang ia lihat punya teknik dan eksekusi terbaik. Kita semua tahu bagaimana suasana adu penalti di sebuah final di hadapan dunia, amatlah berbeda dalam hal tekanan,” kata Rio.

Intinya, perbedaan ada dari kritik yang didapatkan. Fergie menurunkan Nani yang masih 21 tahun untuk menjadi penendang kelima atau biasanya penentu dalam sebuah tendangan penalti. Fergie juga menempatkan Anderson sebagai penendang keenam, sementara Giggs ketujuh. Padahal, Anderson masih 20 tahun.

Ini mirip dengan yang dilakukan Southgate di final Euro 2020 dengan menurunkan para pemain muda untuk menendang penalti. Bedanya, Inggris kalah dan Southgate mendapatkan hujatan, sementara United menang dan Fergie mendapatkan sanjungan.