Lupakan soal jumlah gelar yang diraih dalam empat musim terakhir. Lupakan juga soal puasa gelar Premier League yang belum bisa dipecahkan selama 29 tahun. Liverpool membayar itu semua dengan pencapaian apik pada 2018/2019 yaitu dengan memberikan trofi Liga Champions sekaligus memberikan kegetiran pada pendukung Manchester United.

***

Bagi penggemar Manchester United, tidak ada yang paling menyebalkan dibanding musim 2018/2019. Bahkan era David Moyes saja dianggap jauh lebih baik dibanding musim lalu. Jika enam musim lalu para penggemar United yang bertandang ke St. Mary Stadium masih bisa menari-nari gembira merayakan kegagalan rival mereka, maka rasa geram dan jengkel yang justru muncul di benak mereka saat ini.

Diawali dengan keberhasilan Manchester City mempertahankan gelar Premier League. Kesuksesan mereka menandakan kalau klub hebat Manchester kini pelan-pelan mulai coba dialihkan ke sisi biru. Setelah City, giliran Chelsea yang sukses dengan trofi Liga Europa setelah menaklukkan Arsenal.

Perjalanan kelam MU ditutup dengan Jordan Henderson mengangkat trofi Si Kuping Besar. Trofi Liga Champions. Ajang yang tidak bisa ditaklukkan pemain hebat seperti Buffon dan Ronaldo Luiz Nazario. Trofi keenam untuk mengolok-ngolok tim peringkat keenam. Mereka menjadi juara pada ajang yang kenangannya oleh United justru diabadikan dalam jersey yang akan mereka pakai pada Liga Europa musim depan.

Melihat Liverpool mengangkat piala adalah aib. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada satu pun yang mau berada di bawah rivalnya tersebut. Hal ini sudah terjadi sejak lama. Dari era Busby melawan Paisley, Ferguson dengan Houllier, hingga Ferguson dengan Rafael Benitez.

Namun saat ini, United seolah membiarkan pesaingnya tersebut untuk melangkahi mereka lebih jauh. Hal ini sudah diawali dengan keberhasilan pada ajang Liga Champions. Jika United masih sadar kalau mereka adalah klub sepakbola, maka prestasi Liverpool seharusnya menjadi cambuk bagi mereka untuk bangkit. Kalau tidak, maka siap-siap saja para pendukungnya akan selalu menelan pahitnya kegagalan demi kegagalan di masa yang akan datang.

Untuk menjadi pemenang dibutuhkan proses dan kesabaran serta rasa saling percaya antara satu sama lain. Hal ini yang dilakukan Liverpool hingga akhirnya bisa membawa pulang Liga Champions ke Inggris setelah terus berdiam diri di Spanyol selama lima tahun. Mereka percaya proses yang disertai dengan sinergi di semua lini yang terjalin dengan sangat rapi.

Rezim George Gillet dan Tom Hicks bubar oleh ganasnya suporter yang selalu mencaci mereka di setiap pertandingan. Tidak kuat dicaci, mereka akhirnya menyerah dan menjual Liverpool kepada Fenway Sports Group yang diwakili John W Henry. Ditangan Henry, Liverpool pelan-pelan menunjukkan identitasnya kembali. Dari perekrutan yang sesuai kebutuhan pelatih hingga yang terakhir memilih pelatih berkualitas mereka lakukan hingga membuahkan hasil seperti saat ini.

Yang paling utama tentu kesabaran dan rasa saling percaya. Dua faktor itu yang kemudian membawa Liverpool perlahan meningkat dan meninggalkan United. Selepas mengakuisisi Liverpool, Henry mengganti Roy Hodgson dengan Kenny Dalglish sang legenda yang begitu dihormati The Kop. Sayangnya, Dalglish gagal membawa mereka ke zona Liga Champions dan digantikan oleh Brendan Rodgers.

Bersama Brendan, Liverpool nyaris memutus puasa gelar liga pada 2013/14 jika kapten mereka tidak terpeleset. Dua musim kemudian, ia dipecat karena hasil buruk pada musim 2014/15 dan sepertiga awal musim 2015/16. Chairman mereka, Tom Werner, dengan jeli merekrut Jurgen Klopp yang ketika itu menganggur.

Klopp pun tidak langsung sukses. Meski membawa mereka ke final Piala Liga dan Europa League, mereka selalu pulang dengan predikat nomor dua. Begitu juga di Liga Champions 2017/18, saat mereka kalah karena kecerobohan kipernya. Mereka sebenarnya bisa memecat Klopp saat itu, namun manajemen memilih untuk mendukungnya secara penuh.

Rekrutmen mereka juga tidak asal-asalan. Keberadaan sosok Michael Edwards yang bekerja layaknya Director of Football membuat mereka bisa mendatangkan pemain berkelas dari kesebelasan-kesebelasan non juara macam Sadio Mane, Mohamed Salah, hingga Gini Wijnaldum.

Perombakan yang dilakukan juga tidak pandang bulu. Siapa yang tidak layak dalam skuad, patut ditendang. Bahkan bintang sekaliber Philipe Coutinho pun tidak segan mereka lepas. Dalam empat musim karier Klopp di Anfield, hanya sembilan pemain saja yang bukan rekrutan Klopp. Bandingkan dengan musim terakhir Mourinho ketika ia masih memiliki 13 pemain yang direkrut dari tiga era yang berbeda. Ketika ingin menjual pemain, manajemen kesulitan mencari klub peminat.

United hanya butuh enam tahun setelah Fergie pensiun untuk empat kali berganti pelatih. Menandakan betapa kata percaya dan sabar perlahan-lahan mulai luntur. Moyes diberikan kontrak enam tahun, namun jabatannya berakhir hanya dalam tempo 10 bulan. Louis Van Gaal dan Jose Mourinho datang dan punya niat untuk berbenah, namun nasib mereka ternyata sama saja dengan Moyes.

Hal itu juga yang kini mulai menimpa Ole dalam 12 pertandingan terakhirnya musim lalu. Tidak ada jaminan dari keluarga Glazer dan Woodward kalau mereka mendukung Solskjaer secara penuh meski mereka berjanji akan menuruti kemauan sang manajer di depan media.

Manajemen juga menjadi sasaran. Kegembiraan mereka karena berhasil menjual 50 ribu lebih tiket terusan dan menjadi aplikasi dengan nilai tinggi di playstore dan appstore, menandakan kalau mereka nampaknya lebih senang dengan finansial klub alih-alih membantu manajer mencari pemain yang tepat.

Suporter United juga sulit untuk percaya kepada para pemainnya. Namun hal ini tidak bisa lepas dari para pemain tersebut yang tidak bisa memanfaatkan dukungan para suporternya agar dianggap layak membela klub ini. Permainan inkonsisten, dicap mata duitan, cedera berkepanjangan, ketika dikritik justru menentang, menjadi pemandangan yang kini melekat dalam diri pemain-pemain United. Dibeli mahal hingga memecahkan rekor pembelian, namun tidak menunjukkan kualitas yang bagus di atas lapangan. Ketika dikritik, mereka justru balik menentang.

Dengan keberhasilan Liverpool menjadi juara Liga Champions, sudah pasti musim depan mereka akan menyasar target yang sebelumnya selalu luput dari genggaman. Yaitu menjadi juara Premier League. Mereka sudah punya modal. Sebaliknya, Untuk kesekian kalinya United baru berniat membangun tim ini dari awal.

“Dalam lima tahun kebelakang, Anda melihat Manchester United yang kehilangan visi dan filosofi. Ketika Anda melihat Manchester City, Liverpool, dan Spurs, mereka punya pondasi yang sungguh kuat, sementara United tak punya stabilitas meski finansial mereka kuat. Tiga klub tersebut, mereka sudah punya sistem dan gaya bermain yang sudah teruji, sesuatu yang masih dicari United dari sekian pelatih yang dikontrak,” kata Phil Neville.

Jangan sampai beberapa tahun ke depan, para penggemar United lebih senang ketika melihat David Beckham kembali bermain dalam partai amal ketimbang menyaksikan Jesse Lingard menyisir sisi sayap. Kita juga tidak mau terus-terusan mengenang sejarah masa lalu. Karena mengenang sejarah tidak membuat koleksi piala bertambah, bukan?