Foto: Manchester Evening News

Kalau kepercayaan sudah terlampau kuat, bila ikatan telah menyatu dengan darah dan daging mereka, sang pemain bahkan bersedia untuk mati di lapangan demi pelatihnya.

Itu adalah kutipan dari salah satu jurnalis ternama Indonesia, Ainur Rohman. Editor olahraga di harian Jawa Pos tersebut bercerita tentang bagaimana relasi seorang pelatih dan juga atlet bisa begitu kuat apabila mereka memiliki kepercayaan satu sama lain.

Jika kepercayaan sudah terbentuk, maka si atlet bisa mengeluarkan potensi terbaiknya ketika bertarung di arena yang sesungguhnya. Ini juga yang ditekankan mas Ainur dalam salah satu Tweet-nya kalau tidak ada istilah bermain untuk lambang di dada, bermain untuk suporter, atau bermain untuk yang lain. Mereka yang bermain bagus, itu karena mereka bermain untuk pelatihnya.

Inilah yang dipaparkan oleh Javier Hernandez dalam sebuah Podcast bersama Manchester United. Chicharito berkisah salah satu resepnya mengapa ia bisa tampil baik ketika bermain bersama Setan Merah. Salah satunya adalah kepercayaan Sir Alex kepadanya yang begitu besar.

“Luar biasa, luar bisa, dan suatu ketika dia mengajak saya dan keluarga saya makan malam bersama. Cara dia menampilkan dirinya dan cara dia memperlakukanmu seperti manusia. Lalu memperlakukan keluarga saya, membuat saya berpikir kalau saya siap mati di lapangan demi dirinya,” ujar Chicharito.

“Jika dia memperlakukan keluarga saya seperti itu, saya ikhlas kalau saya sampai muntah setelah pertandingan jika itu membantunya untuk meraih sesuatu dalam permainan dan kejuaraan. Dia adalah pria yang luar biasa.”

Kepercayaan Fergie memang menjadi kunci mengingat tidak banyak yang mengetahui Hernandez saat itu. Ia datang hanya dengan modal bermain untuk klub lokal Meksiko, Chivas Guadalajara. Tubuhnya pun begitu kecil untuk ukuran pemain yang siap bermain di kompetisi keras macam Premier League.

Namun, keraguan tersebut sirna secara perlahan. Diawali dari penampilan apik selama Piala Dunia 2010 yang disusul dengan gol aneh ke gawang Chelsea pada Community Shield membuat Hernandez pelan-pelan bisa mengambil hati suporter Setan Merah. Musim debut berjalan luar biasa dengan dirinya yang mencetak 20 gol (terbaik setelah Dimitar Berbatov) dan membantu United meraih gelar Liga ke-19 serta ke final Liga Champions berkat beberapa gol krusialnya.

Padahal, pengoleksi 52 gol bersama tim nasional Meksiko ini mengaku gentar ketika pertama kali bertemu Sir Alex. Hal ini tidak lepas dari ucapan Fergie dengan aksen Skotlandia-nya yang membuat Hernandez bingung. “Ngomong apa sih ini orang!” mungkin begitu yang ada di benak Hernandez.

“Sir Alex datang dan itu panggilan yang rumit. Aksen Skotlandianya tidak membuat saya paham sehingga saya bingung. Bayangkan juga kalau pada situasi saat itu saya tidak pernah fokus dengan panggilan telepon,” tuturnya.

Hernandez sendiri tidak sering menikmati musim yang bagus bersama United. Setelah musim pertama, performanya lebih cenderung naik turun. Gol masih bisa ia buat, namun ia seringkali absen dalam beberapa laga karena kondisi neurologis yang ia derita. Seandainya ia tidak mengalami performa yang inkonsisten, bukan tidak mungkin golnya bisa melebihi angka 59.

Jika kepercayaan penuh sukses didapatkan Hernandez dari Ferguson, serta David Moyes, maka hal itu tidak bisa ia dapatkan ketika United sudah dilatih Van Gaal. Dari 100 persen yang ia punya, Van Gaal membuang 99 persen diantaranya yang membuat dia memutuskan hengkang kala itu meski ia tidak punya niat untuk pergi.

“Saya memang mulai mendapat kesempatan bermain tapi suatu hari saya bicara dengan Van Gaal dan dia bilang kalau kesempatan main saya hanya satu persen,” ujarnya.