Tidak ada yang beres di Manchester United. Semua kepusingan, bahkan mungkin orang yang sedang bahagia bisa langsung stres jika diperlihatkan kondisi United di musim ini. Semua masalah menumpuk jadi satu seolah seperti benang kusut yang tidak ketemu ujung pangkalnya.
Para pemain Setan Merah saat ini pun mungkin kebingungan dengan kondisi klubnya sendiri. Tak terkecuali Victor Lindelof. Meskipun, menurut bek asal Swedia ini, ada satu masalah terbesar bagi United di musim ini. Masalah tersebut adalah konsistensi.
Di tengah perjuangan meraih posisi Liga Champions –yang tampaknya tak mungkin–, United saat ini hanya memiliki sisa empat pertandingan lagi. Sebuah ironi bahwa musim ini akan segera berakhir. Padahal di awal musim, mereka sempat dielu-elukan jadi salah satu calon penantang gelar Premier League.
Namun pada faktanya Mancheser United hanya mampu bertarung untuk posisi empat besar, dan saat ini berada di urutan keenam klasemen dengan 54 poin. Enam poin di belakang Arsenal (60) di urutan keempat, dan empat poin di belakang Tottenham Hotspur (58) di urutan kelima.
Sebetulnya United sempat punya harapan untuk memenangkan trofi dari kompetisi yang lain. Tapi mereka malah bernasib sama buruknya. Di mana mereka tersingkir lebih awal dari Piala Carabao oleh West Ham, Piala FA oleh Middlesbrough dan Liga Champions oleh Atletico Madrid.
Itu berarti, prestasi yang setidaknya bisa (secara realistis) dibanggakan United hanyalah bermain di pertandingan terakhir mereka musim ini. Karena biasanya pertandingan terakhir menjadi momen ikonik bagi setiap tim. Namun bagi Victor Lindelof, ia mengakui bahwa para suporter sebetulnya lebih pantas mendapatkan yang lebih baik dari momen semacam itu.
“Saya pikir kami perlu menemukan lebih banyak stabilitas dalam cara kami bermain, dan kami perlu memenangkan lebih banyak pertandingan. Kami telah memenangkan satu pertandingan, lalu seri satu pertandingan, dam lalu kami kalah satu pertandingan. Setelah itu kami memenangkan dua pertandingan. Seharusnya kami lebih konsisten,” ujar Lindelof kepada United Review.
“Itulah (konsistensi) hal utama yang kami butuhkan untuk menjadi lebih baik. Kami memiliki masalah terbesar dari aspek ini. Karena terkadang saya merasa bermain buruk sehingga mudah bagi lawan untuk mencetak gol. Atau setidaknya mereka bisa menciptakan peluang yang banyak ketika melawan kami. Tentu saja, ketika sulit, Anda harus selalu bersatu dan bekerja lebih keras.”
“Kami sebenarnya terus mencoba lebih baik. Meskipun ini musim yang sangat sulit bagi kami, dan kami masih berjuang untuk posisi empat besar. Kami tentu saja ingin menjadi lebih baik dan bersaing untuk gelar. Akan tetapi kami membutuhkan lebih banyak konsistensi. Kami selalu harus tetap bersama sebagai sebuah tim, dan kami harus percaya pada diri kami sendiri.”
Jika disebut masalah konsistensi, sebenarnya itu juga sudah terjadi di beberapa musim ke belakang. Atau kalau boleh dikatakan, mungkin sudah terjadi sejak era Sir Alex Ferguson berakhir. Dan sampai sekarang masalah “klise” ini belum terselesaikan sama sekali.
Namun kalau ingin melihat lebih ke dalam lagi, masalah konsistensi ini cuma hasil dari masalah United yang jauh lebih utama. Karena secara realitas masalah konsistensi ini terbentuk dari berbagai faktor, misalnya para pemain, permainan tim atau bahkan manajer.
Masalah seperti ini hanya bisa sejalan atau selesai dengan narasi “perombakkan besar-besaran” yang muncul ketika Manchester United meresmikan Erik ten Hag. Dan jika kemudian narasi ini benar-benar terjadi, maka tidak menuntut kemungkinan masalah utama Setan Merah akan selesai –termasuk soal konsistensi.