Perjalanan ke Burkina Faso memang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Eric. Ia tidak mau mengecewakan keluarganya yang kini menggantungkan harapan akan kehidupan yang lebih baik kepadanya. Lagipula, ia juga paham kalau mimpinya ada di sepakbola. Pahit manis sudah dirasakan untuk bisa sampai ke Burkina Faso menggunakan pesawat.
Ia pernah menjual handphone bekas dan rokok untuk bisa menyambung hidup. Jika ia jengah dengan kehidupan jalanan, maka sepakbola menjadi jalan keluar untuk melepas kepenatan. Namun, saat itu orang tua Eric belum mendukung sepenuhnya keinginan sang anak. Ayahnya lebih suka nonton Didier Drogba ketimbang anaknya sendiri bermain. Baru pada usia 14 tahun, ayah Eric mulai sering melihatnya bertanding.
“Ayah tidak akan pernah mengatakan kalau saya bermain bagus meskipun saya tahu kalau saya bisa. Namun, setelah hari dimana ayah saya menyaksikan saya bertanding, dia mulai lebih sering memperhatikan saya.”
Pesawat yang ditumpangi Eric sudah tiba di Burkina Faso. Homesick langsung menyerangnya. Setelah tiba, yang dipikirkan hanyalah bagaimana caranya ia pulang. Pikiran itu berubah seketika karena ia tahu ada mimpi yang pintunya sedang terbuka lebar untuk dirinya.
“Turnamen itu diisi pemain-pemain dari negara seperti Pantai Gading, Burkina Faso, Mali, Nigeria, Kamerun. Selain itu, ada pemandu bakat dari beberapa klub seperti Villareal, Torino, Espanyol, dan beberapa kesebelasan asal Prancis.”
Eric harus menunggu beberapa minggu terkait hasil dari turnamen dia di Burkina Faso. Jika ada kesebelasan Eropa yang berminat kepadanya, maka mereka akan menghubunginya. Turnamen empat hari di Burkina Faso tersebut berakhir memuaskan bagi Eric. Setidaknya itu menurut diri dia sendiri. Belum tentu para pemandu bakat yang menilai dia secara langsung juga merasakan kepuasan yang sama. Namun yang pasti, apa yang sudah dilakukan Eric di sana sedikit membuat namanya lebih dikenal oleh orang-orang di lingkungannya.
“Semua orang di lingkungan kami mendengar perjalanan saya ke Burkina Faso. Ketika ayah bertemu dengan teman-temannya, mereka juga membicarakan saya.”
Beberapa minggu menunggu, Eric akhirnya mendapat kabar. Setelah ia dan kakaknya pergi daari suatu tempat, ayahnya mengajaknya duduk di ruang keluarga bersama kakak dan ibunya. Eric hanya bisa menunjukkan wajah bingung karena dia khawatir apakah telah membuat kesalahan atau tidak. Beruntung, kabar yang dinanti oleh Eric adalah kabar gembira.
“Pelatihmu baru saja pergi dari sini dan makan bersama kami. Ada beberapa berita yang ia sampaikan. Sebuah klub memanggilmu. Klub ingin kamu pergi untuk trial selama tiga bulan. Klub itu adalah Espanyol.”
Espanyol memang bukan klub besar. Namun klub sekelas mereka adalah tempat yang tepat bagi pemain-pemain mentah yang ingin merajut mimpi di sepakbola Eropa. Eric adalah satu dari sekian banyak remaja yang beruntung mendapat kesempatan langka itu. Mendengar kabar itu, Eric tidak bisa tidur. Selain itu, orang tuanya juga merahasiakan kabar tersebut. Jika tersebar, maka orang-orang di sekitar lingkungan tempat tinggalnya akan merayakannya.
Sayangnya, mimpi tersebut harus kandas. Pantai Gading pecah karena perang saudara yang disebabkan karena perbedaan pandangan soal hasil pemilihan umum. KPU Pantai Gading menyatakan kalau Alassane Quattara, yang berasal dari oposisi, menang. Namun, Presiden Laurent Gbagbo yang merupakan pesaingnya, menolak menaruh jabatan.
Perang ini sampai memberikan pengaruh kepada mimpi Eric sebagai pemain sepakbola. Bandara di Abidjan diblokir yang membuat ia tidak bisa terbang ke Spanyol untuk trial bersama rival Barcelona tersebut.
“Saya tidak tahu apakah saya masih mendapat kesempatan lagi atau tidak dari Espanyol. Saya khawatir. Krisis membuat kami menderita. Sulit membeli makanan, saya harus membawa air minum ke rumah dengan ember. Kami semua menderita meski banyak yang jauh lebih menderita dari saya.”
Memang dasar sudah jodoh, ternyata Espanyol masih berminat kepada Eric. 10 bulan setelah apa yang ia lakukan di Burkina Faso. Meski tersanjung, Eric sadar kalau status dia hanyalah trial. Jadi tidak masalah kalau pihak mereka tetap menunggunya datang karena Espanyol juga tidak rugi sama sekali.
Perpisahan keluarga Eric Bailly begitu haru. Wajar, dikarenakan orang tuanya akan berpisah dengan Eric selama tiga bulan. Di Eropa, di Barcelona, di tempat yang jaraknya jauh dari Abidjan. “Tiga bulan itu seperti tiga tahun,” katanya.
“Penerbangan saya menakutkan. Pesawat yang saya naiki bukan pesawat maskapai Afrika melainkan Perancis dan itu kelas bisnis. Saya bingung. Saya duduk di kursi yang ada di TV di depannya, tetapi saya tidak mau menyentuhnya kalau saya takut perjalanan menjadi kacau kalau saya menekan tombol apa pun. Lebih baik saya tidur.”
Bandara di Barcelona menjadi langkah awal Eric menuju profesional. Kota yang berbeda dibanding Abidjan. Penuh lampu, suara mobil, dan kebisingan. Ia juga tiba pada musim dingin yang dinginnya sangat menusuk. Hanya butuh waktu satu bulan bagi Espanyol untuk berkata kepada Eric kalau mereka menginginkannya. Bulan berikutnya, Eric resmi menjadi pemain Espanyol sekaligus resmi menjadi pemain profesional.
Segalanya berjalan sangat cepat. Dari Espanyol, Villarreal, lalu pada 2016 ia menjadi rekrutan pertama Jose Mourinho. Sorotan jelas berubah. Klub yang perkuat adalah klub besar yang membuat dirinya tidak hanya dikenal oleh orang-orang Pantai Gading atau di wilayah Valencia, melainkan dikenal di seluruh dunia. Eric mengalami hal itu. Menjalani kehidupan yang ia anggap sebagai kehidupan yang fana.
“Semua berjalan sangat cepat. Bergabung dengan Espanyol pada 2011, tiga tahun kemudian saya sudah mendapat debut tim utama. Lalu saya bermain untuk Villarreal dan hanya butuh 18 bulan, saya sudah tiba menjadi pemain Manchester United. Lima tahun saya berubah dari bocah penjual rokok menjadi pemain di klub besar dunia.”
“Dunia saya berubah. Orang-orang kini melihat saya sebagai bintang dan selebriti. Ada dua juta orang pengikut di Instagram dan saya sangat terkenal.”
“Tapi tentu saja, itu semua fana. Itu semua palsu. Kehidupan palsu.”
***
Kini, Eric sedang berjuang untuk kembali mendapatkan kebahagiaan bermain sepakbola yang terenggut karena cedera. Melihat bagaimana ketangguhan Bailly dalam meraih mimpinya, maka cedera seharusnya tidak menjadikannya pribadi yang ciut. Semoga saja, masih ada kesempatan bagi dirinya untuk bersinar bersama tim ini.
Tulisan ini dibuat untuk merayakan ulang tahun Bailly yang ke-28 pada hari ini.