Istilah Toxic relationship tidak hanya berlaku dalam hubungan dengan pasangan. Hubungan suporter dengan tim favoritnya juga bisa menjadi racun. Tidak percaya? Tanyakan saja pada suporter Manchester United.
Sebagai suporter Manchester United di belahan Asia, kita selalu dihadapkan dengan dua pilihan. Pertama, bangun tengah malam bahkan begadang untuk menonton tim kesayangan, atau memilih tidur dan tidak menonton sama sekali. Mereka sadar, kalau ditonton United pasti akan ngelawak. Akan tetapi, kalau tidak ditonton maka tidur akan jadi susah karena penasaran.
Pilihan yang sulit tapi kebanyakan pasti akan memilih opsi pertama. Namun ketika sudah bela-belain bangun lalu ternyata United benar-benar tampil ngelawak, sulit rasanya untuk tidak sakit hati.
Saya yakin banyak yang kecewa berat terhadap penampilan United semalam. Termasuk saya sendiri. Bagaimana tidak, Setan Merah hanya mendapat hasil imbang 1-1 ketika melawan juru kunci Burnley. Unggul terlebih dahulu melalui Paul Pogba, gawang De Gea tidak bisa terhindar dari kemasukan akibat Jay Rodriguez.
Yang menyebalkan, permainan United masih tidak berubah seperti dua laga sebelumnya melawan West Ham United dan Middlesbrough. Mereka menguasai pertandingan, namun tidak diimbangi dengan kolektivitas di antar lini. Lini belakang ceroboh, lini tengah kurang solid, lalu lini depan yang tidak memiliki insting pembunuh ketika berada di kotak penalti. Penyakit United kembali kambuh.
Inilah yang membuat penguasaan bola United seperti tidak ada hasil. Hanya umpan-umpan sirkulasi, pindah bola dari kanan ke kiri. Sampai di kotak penalti, peluang yang didapat juga tidak benar-benar bikin ngeri. Jumlahnya hanya bisa dihitung jari.
Total percobaan tendangan United dalam tiga laga terakhir mencapai angka 70. Mirisnya, yang mengarah ke target hanya 17 atau tidak sampai sepertiganya. Yang menjadi gol juga Cuma tiga. Jumlah yang sangat buruk untuk kesebelasan yang punya banyak pemain bertipikal killer seperti Ronaldo, Cavani, Bruno, Rashford, hingga Sancho.
Ini hanya satu masalah dari banyaknya masalah lain. Lini depan boleh mandul, tapi itu juga karena tidak adanya suplai yang bagus dari lini kedua. Akurasi dua winger dan full back dalam memberi umpan silang juga sangat buruk.
Belum lagi soal pergerakan tanpa bola. Pemain United kadang minta bola untuk diumpan tapi tidak ada yang melakukan pergerakan tanpa bola. Jadinya ya seperti yang saya bilang sebelumnya, bola hanya pindah dari kanan ke kiri saja. Atau mereka lagi-lagi mengandalkan skill individu yang beberapa kali ditunjukkan Rashford dan Sancho semalam.
Ralf Rangnick sendiri tidak banyak berkomentar tentang hasil ini. Ia hanya berkata kalau United tidak boleh lagi bermain setengah-setengah. Ia minta pemainnya untuk bisa tampil bagus selama 90 menit penuh dan tidak hanya sekadar main bagus pada 45 atau 70 menit saja.
Menurut Rossi Finza, United seperti berada dalam situasi yang maju kena mundur kena. Mereka punya banyak persoalan yang harus dibenahi dari sisi teknik dan taktik. Sayangnya, waktu yang mereka punya hanya sedikit. Dan ketika persoalan itu belum terselesaikan, maka United akan memberi kita banyak sekali momen-momen mengecewakan pada musim ini termasuk laga kemarin.
United di bawah Rangnick memang telah berubah menjadi kesebelasan yang bisa menguasai bola. Tapi masih sebatas menguasai dan tidak mengontrol pertandingan. Ketika bola berhasil mereka pegang, United langsung bingung bagaimana cara menyerang setelahnya. Inilah yang membuat United selalu berada dalam ketidakpastian.
Dengan sisa hanya tiga bulan sampai musim 2021/22 selesai, masalah United tampaknya belum bisa terselesaikan dengan cepat. Bukan tidak mungkin ke depannya hasil-hasil seperti ini akan terus muncul dan United bisa saja mengakhiri musim ini dengan finis di luar zona Eropa.