Manchester United kepayahan dalam laga tengah pekan Grup F Liga Champions pada Rabu (3/11) dini hari WIB. Lagi-lagi Cristiano Ronaldo tampil sebagai penyelamat Setan Merah dengan dua lesakannya ke gawang Atalanta sukses menghindarkan timnya dari kekalahan. Pada laga sebelumnya kontra Tottenham Hotspur di Premier League, anak asuh Ole Gunnar Solskjaer sukses meraup poin penuh usai menyudahi perlawanan tim tuan rumah dengan tiga gol tanpa balas.

Dua pertandingan tersebut bak injury time bagi Solskjaer sebagai arsitek The Red Devils. Kapasitasnya sebagai nahkoda MU dipertanyakan usai kekalahan memalukan dalam laga bertajuk The Northwest Derby kontra Liverpool dengan skor telak 5-0 untuk anak asuh Jurgen Klopp.

Musim ini, MU duduk di posisi kelima klasemen sementara dengan torehan 17 angka dari delapan laga, dan telah tersingkir dari ajang Carabao Cup usai dipecundangi West Ham di putaran ketiga. Pada ajang Liga Champions, Bruno Fernandes CS., masih belum aman untuk meloloskan diri ke fase knockout dengan torehan angka yang sama dengan Villareal.

Isu pemecatan Solskjaer sejatinya sudah menggema bahkan sejak penunjukkannya sebagai manajer permanen pada Maret 2019 silam. Sejak mengarsiteki The Red Devils, Solskjaer membawa timnya melaju ke empat semifinal dan satu partai puncak yang semuanya berakhir dengan pil pahit. Memasuki tahun ketiganya sebagai pelatih MU, ditambah dengan perombakan skuat mahalnya, nyatanya belum ada satupun trofi yang berhasil dirayakan oleh Harry Maguire sejak ia didapuk sebagai kapten tim.

Meski memang, perjalanan MU di Premier League menunjukkan perkembangan di bawah arahan Ole. Pada musim penuh pertamanya (2019/2020), United mengakhiri musim di posisi ketiga dengan mengantungi poin yang sama dengan Chelsea di posisi keempat.

Musim lalu The Red Devils secara mengejutkan menutup musim sebagai runner up di bawah “Si Tetangga Berisik” alias Manchester City yang menjadi kampiun. Bahkan Solskjaer menjadi satu-satunya pelatih MU yang berhasil melanggengkan The Red Devils ke Liga Champions dua musim beruntun sejak Sir Alex pensiun delapan tahun silam.

Pertanyaanya kemudian mengerucut, apakah ambisi Manchester United – tim dengan torehan gelar liga terbanyak di Inggris – hanya sebatas empat besar dan lolos Liga Champions? Rasanya tidak demikian jika Anda menanyakannya kepada jutaan pendukung MU yang tersebar di seluruh dunia.

Indikator kesuksesan sepakbola modern memang diukur berdasarkan raihan trofi, musababnya, mungkin hanya pendukung United saja yang ingin mengingat kemenangan dua gol tak berbalas MU kontra Man City di Etihad musim lalu ketika pendukung Manchester Biru merayakan gelar juara liga di penghujung musim.

Sejak kemenangan atas West Ham pada pekan kelima Premier League musim ini, United hanya mampu meraup satu angka dari empat laga kontra Aston Villa, Everton, Leicester City, dan Liverpool, sebelum akhirnya menang tadi malam. Bahkan The Red Devils kepayahan meraih kemenangan di Liga Champions kontra Villareal dan Atalanta yang masing-masing hanya selisih satu gol. Sebenarnya, ini salah siapa sih?

Ole Gunnar Solskjaer tentu saja menjadi sosok antagonis yang ditunjuk para pendukung sebagai biang keladi buruknya performa tim. Ole dituduh tak memiliki taktik yang jelas serta hanya mengandalkan kemampuan individu para pemain. Selain itu para pemain juga akan menjadi sasaran empuk bagi para pendukung melampiaskan kekecewaannya. Selanjutnya tim pelatih dan manajemen takkan luput dari umpatan para pendukung baik secara langsung maupun melalui media sosial.

Setelah kekalahan memalukan pekan lalu, jurnalis Italia, Fabrizio Romano mengklaim bahwa Antonio Conte akan dengan senang hati menerima pinangan MU jika Solskjaer didepak. Tak berhenti di sana, berbagai laporan mengindikasikan adanya pertengkaran di ruang ganti MU. Sejumlah pemain dikabarkan tak puas dengan taktik dan pilihan tim Solskjaer. Beberapa nama lain seperti Erik Ten Hag, Zinedine Zidane, hingga Brendan Rodgers, juga dikaitkan dengan kursi manajerial United.

Hal ini menyangkut perlakuan Solskjaer terhadap sejumlah pemain seperti Donny van de Beek, Eric Bailly, Alex Telles, hingga Jesse Lingard, yang tak kunjung mendapat kesempatan bermain. Van de beek bahkan baru memainkan satu laga Premier League sebagai pemain pengganti musim ini. Padahal eks Ajax Amsterdam tersebut diboyong dengan mahar 40 juta poundsterling musim lalu. Bahkan Lingard yang berhasil mengemas dua gol di Premier League dalam lima penampilannya sebagai pemain pengganti, nyatanya tak cukup bagus untuk menjadi starter.

Kekalahan kontra Liverpool pada musim ketiganya, ditambah situasi ruang ganti yang kabarnya tak kondusif, rasanya mirip seperti detik-detik terakhir jelang pemecatan Mourinho pada Desember 2018 silam. Kala itu MU dihajar Liverpool 1-3 dan isu keretakan hubungan antara Mou dan para pemain merebak di media massa maupun media sosial. Benar saja, keesokan harinya publik mengetahui bahwa Mourinho telah didepak dari kursi manajerial United.

Berdasarkan laporan Fabrizio Romano melalui kanal Youtube-nya, sebagian besar manajemen MU memilih untuk memberi kesempatan pada Solskjaer untuk mengubah situasi. Setelah kemenangan kontra Spurs, pertandingan menghadapi Atalanta dan Manchester City akan menjadi penentu masa depan Solskjaer bersama MU.

Sebagai pemain, Ole menorehkan 126 gol dan 50 asis bersama United dalam 365 pertandingan, serta mempersembahkan berbagai trofi. Salah satu golnya bahkan membawa The Red Devils mengunci gelar Liga Champions 1999. Gol tersebut sekaligus mengunci perayaan treble winner MU. Statusnya sebagai legenda klub tentu tak perlu dipertanyakan. Catatan empat golnya dalam kurun waktu 10 menit kontra Nottingham Forest 22 tahun silam terekam jelas di ingatan sebagian besar pendukung The Red Devils.

Tetapi, apakah titel legenda akan menyelamatkan karirnya sebagai pelatih? Nasib Andrea Pirlo dapat menjadi contoh bagaimana klub berani memecatnya meski berhasil memenangkan trofi Coppa Italia musim lalu atau Ronald Koeman yang mempersembahkan gelar Copa Del Rey musim lalu, baru-baru ini diberhentikan lantaran performa buruk Barcelona termasuk kekalahan di El Classico pekan lalu.

Keberanian memecat pelatih yang berstatus sebagai legenda klub mungkin saja dapat menyelamatkan musim. Setidaknya itulah jawaban yang anda peroleh jika melihat keberanian Roman Abramovic memecat Frank Lampard pertengahan musim lalu. Eks pelatih Derby County tersebut digantikan oleh Thomas Tuchel yang kala itu menganggur pasca dipecat PSG. Hasilnya, The Blues berhasil menembus empat besar dan mengakhiri musim sebagai kampiun Liga Champions.

Pergantian pelatih di tengah musim belum tentu berakhir manis. Pada tahun 2019, Spurs memecat Pochettino usai rentetan hasil negatif dan menggantinya dengan Jose Mourinho. Namun juru taktik yang pernah memenangkan dua trofi Liga Champions tersebut hanya bertahan selama 17 bulan bersama The Lilywhites tanpa berhasil menjuarai kompetisi apapun.

Bila Solskjaer diberhentikan dari pekerjaannya saat ini, proses yang dibangunnya selama tiga tahun terakhir terpaksa dilanjutkan oleh manajer lain yang mungkin memiliki taktik dan konsep yang berbeda. Para pemain mesti menyesuaikan diri dengan strategi dan rencana yang diusung pelatih baru sehingga pemecatan pelatih tak selalu jadi solusi instan untuk meraih gelar.

Jika demikian, apakah mempertahankan Solskjaer berarti pilihan tepat untuk meraih trofi?

Apabila situasi di lapangan tak membaik dan laporan mengenai isu keretakan ruang ganti United benar adanya, maka manajemen seharusnya mempertimbangkan lagi keputusan mempertahankan The Baby Faced Assassin yang telah menghabiskan tiga tahun dan biaya transfer mencapai 400 juta poundsterling tanpa gelar juara seharusnya tak boleh dianggap baik-baik saja bagi sebuah tim yang berambisi.

Selanjutnya, armada Solskjaer akan menjamu rival sekota mereka, Manchester City dalam lanjutan Premier League musim ini di Old Trafford. Kemana takdir akan membawa Solskjaer, apakah berakhir seperti manis seperti sepakannya kala melawan Bayern Munchen 22 tahun silam ataukah Ole akan mengikuti jejak Lampard, Pirlo, dan Koeman?