Foto: Off The Pitch

Beberapa waktu lalu Group Managing Director Manchester United, Richard Arnold bersenda gurau di hadapan segelintir orang berpakaian Thawb khas Arab Saudi. Mereka duduk melingkar sembari menikmati lantunan musik-musik khas Timur Tengah. Keakraban yang menimbulkan spekulasi kalau Richard sedang membahas soal akuisisi Setan Merah oleh keluarga Salman.

Kabar yang kemudian diiyakan oleh sumber bernama Moaid Mahjoub. Entah siapa orang ini, namun ia berkata kalau pembelian Manchester United sudah disetujui dua belah pihak. Ucapannya saat itu dianggap sebagai sumber terpercaya oleh beberapa penggemar Manchester United, termasuk di Indonesia. Lucunya, ucapan Moaid tidak banyak dijadikan sumber oleh media-media mainstream di dunia sepakbola.

Jurnalis Manchester Evening News (MEN), Samuel Luckhurst dan Liam Corless kemudian menenangkan suasana. Ia menyebut kalau kedatangan Richard ke Arab Saudi tidak ada hubungannya dengan perpindahan pemilik dari Amerika Serikat. Mereka mendapatkan kabar tersebut dari sumber dalam Carrington yang merasa tidak yakin kalau kehadiran Richard ke sana membahas soal jual beli klub.

Ucapan kedua jurnalis tersebut kemudian ditegaskan lagi oleh Laurie Whitwell. Jurnalis The Athletic tersebut mengungkapkan kalau benar-benar tidak ada penjualan Manchester United. Richard Arnold mengunjungi Arab Saudi hanya untuk berbicara dalam acara Future Investment Initiative (FII) dan menerima kunjungan makan malam dari Faisal Abu Saq, seseorang yang memiliki kaitan dengan sponsor klub. Soal video yang beredar pun dikabarkan sudah mendapat izin dari Arnold untuk direkam dan disebar luaskan.

Persoalan keluarga Glazer dengan penggemar Manchester United memang begitu pelik. Apalagi ketika Ed Woodward baru-baru ini mengungkapkan kalau utang United kembali meningkat 55,5% atau sebesar 2,5 triliun rupiah yang membuat utang klub kembali meningkat menjadi 384,5 juta paun. Sebuah kabar yang kurang sedap didengar mengingat di sektor komersial United mencatat beberapa peningkatan.

Hal ini yang membuat isu masuknya investor Arab Saudi beberapa waktu lalu disambut dengan suka cita. Tanda pagar #SaudiIsIn hingga #WelcomeBinSalman menghiasi jagad dunia maya. Revolusi nampak dibutuhkan meski kemudian bertentangan dengan realita yang ada kalau Ed Woodward beberapa kali membantah kalau klub akan dijual.

Permasalahan Hak Asasi di Arab Saudi

Langkah investor Arab Saudi untuk masuk mengakuisisi Manchester United memang cukup terjal. Selain tantangan dalam wujud keteguhan hati keluarga Glazer yang tegas menolak berapapun uang yang diberikan mereka, tantangan lain juga muncul dari buruknya citra negara ini dalam hal hak asasi manusia.

Inggris dikenal sebagai negara pertama di dunia yang memperjuangkan hak asasi manusia. Bahkan mereka mengklaim kalau tonggak kemenangan hak asasi muncul di sana. Kehadiran Magna Charta pada 1215 di Inggris menjadi tonggak dari kelahiran hak asasi manusia dengan salah satu isi terpenting ada pada klausul 39 yang berbunyi, “manusia bebas tidak boleh ditahan atau dipenjara atau dihilangkan nyawanya, atau dicabut perlindungannya, dikucilkan, atau dikorbankan, kecuali oleh keputusan hukum dari sesamanya dan hukum di wilayahnya.”

Hal ini dianggap bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Arab Saudi ketika masih banyak para aktivis politik yang ditahan dan dihukum secara semena-mena oleh kerajaan Arab Saudi. Bahkan beberapa aktivis perempuan yang menuntut kebebasan berkendara juga ditahan meski tuntutan mereka kemudian dipenuhi pada 2018 lalu.

Bahkan hotel yang menjadi tempat kunjungan Arnold, beberapa kamarnya disebut-sebut berisi beberapa tahanan yang ditahan oleh kerajaan Arab. Menurut laporan New York Times, mereka kerap mengalami kekerasan secara fisik di tempat yang kemudian disebut-sebut sebagai penjara berlapis emas.

Masih menurut The Athletic, pada 2018 lalu Human Rights Watch mendapat laporan kalau ada empat aktivis wanita Arab Saudi ditahan dan mendapat hukuman berupa setrum, cambukan di paha, serta beberapa pelecehan seksual.

Puncak dari permasalahan hak asasi di Arab Saudi terjadi dalam pembunuhan Jamal Khassogi pada Oktober 2018 lalu. Pembunuhan yang mengejutkan itu disebut-sebut didalangi oleh Pangeran Mohammed bin Salman yang beberapa bulan kemudian dirumorkan akan membeli MU melalui kekayaannya. Pada Mei 2019 lalu, Arab Saudi kembali mendapat kecaman dunia karena memenggal 37 warga Arab Saudi, dengan 34 diantaranya pemeluk Muslim beralirah Syiah, karena dituduh melakukan kejahatan terorisme. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengontrol pemeluk Islam Sunni agar terus berkuasa melawan Syiah.

Para pakar menyebut kejahatan hak asasi manusia ini sebenarnya sudah sering terjadi di Arab Saudi. Akan tetapi, jumlahnya justru meningkat ketika tampuk kekuasaan dipegang oleh Mohammed bin Salman, orang yang akan membeli Manchester United.

“Arab Saudi telah meningkatkan tindakan kekerasan terhadap semua bentuk perbedaan pendapat dalam beberapa tahun terakhir ini. Eksekusi massal seperti ini sebenarnya telah berlangsung lama, tapi nampaknya semakin meningkat di masa kepemimpinan Mohammed bin Salman,” kata Direktur Amnesti Internasional untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, Philippe Nassif.

Rasa Iri Terhadap Manchester City

Hal ini yang menurut Laurie tidak akan dilakukan oleh Manchester United yaitu menjual kesebelasan kepada orang yang melanggar hak asasi manusia. Orang yang gemar melakukan serangkaian hukuman hingga eksekusi mati kepada orang-orang yang tidak bersalah. Gary Neville pun sempat membahas masalah ini kepada The Times beberapa waktu lalu.

“Siapa pemilik klub terbaik di dunia? Sheikh Mansour? Ada banyak masalah kemanusiaan di Abu Dhabi terlepas apa yang dia lakukan di Manchester City. Lalu, apa yang harus dilakukan United? Menjual ke Rusia, Cina, Arab? Mereka-mereka ini juga punya masalah masing-masing di negaranya,” tutur mantan kapten United ini.

Sejauh ini, patokan kesuksesan pemilik Timur Tengah memang mengarah ke Manchester City di era Sheikh Mansour. Mereka membangun klub sepakbola yang mulai berani menantang dunia berkat rekrutan pemain-pemain bintang dan pembangunan fasilitas mahal. Hal ini yang menurut penggemar United akan terjadi jika mereka dikuasai oleh keluarga Salman.

“Pendukung United mungkin iri dengan keberhasilan City bersama Sheikh Mansour. Tetapi di tengah citra bagus Pep Guardiola, Human Rights Watch menggambarkan Abu Dhabi melakukan beberapa penyiksaan dan penindasan, serta menggunakan sepakbola sebagai alat pembersih citra Abu Dhabi,” tuturnya.

Sebuah ucapan yang berkorelasi dengan apa yang diucapkan Gary Neville beberapa hari kemudian yang menyebut kalau suara-suara kegusaran terhadap Glazer dikarenakan United yang kering akan prestasi. Jika suatu saat prestasi kembali diraih, maka suara-suara sumbang itu perlahan mulai menghilang.

Keluarga Glazer mungkin membuat United bermasalah dengan utang. Namun Glazer setidaknya tidak pernah memberi sanksi apa pun kepada perampok atau membungkam orang-orang yang tidak sejalan dengannya seperti yang dilakukan Mohammed bin Salman. Hal ini yang membuat keluarga kerajaan Arab Saudi dianggap bukan sosok yang tepat untuk mengambil alih United.