Foto: Manchester Evening News

Sekarang, tim ini banyak diisi oleh sosok yang arogan. Ya, hanya sebatas arogansi tanpa adanya hasrat untuk berprestasi.

Selain Glory Glory Manchester United yang selalu bergema setiap pekan, Manchester United punya slogan yang juga lekat dengan mereka yaitu Not Arrogant Just Better. Dua slogan ini bahkan dibuat sebuah banner yang kerap terpasang di Old Trafford tiap pekannya.

Pada awalnya, kalimat ini muncul karena dominasi mereka yang dipandang sinis oleh para klub pesaing sekaligus dipandang sebagai arogansi. Hal ini tentu saja menyenangkan bagi para suporternya karena tim mereka memang jauh lebih baik. Di sisi lain, suporter tim lawan hanya bisa nyerocos layaknya tetangga yang menjadikan kita bahan gosip bersama ibu-ibu yang lain, plus tukang sayur, hanya karena kita pulang malam atau habis membeli kendaraan baru.

Tapi, itu dulu. Setidaknya sampai gelar liga ke-20 hadir dalam lemari trofi mereka. Setelahnya, slogan itu saya pikir sudah tidak perlu lagi untuk berkumandang. Prestasi minim lalu konsisten untuk inkonsisten. Tapi lagaknya masih luar biasa. Dari “Gini doang nih grup neraka?” hingga “Senggol nih bos!” semuanya berakhir dengan United menjadi bahan tertawaan.

Atau mungkin diubah saja slogan tersebut menjadi “Just Arrogant, Not Better” karena sekarang sosok arogan itu semakin banyak dan menjadi benalu.

***

Dulu, United banyak pemain dengan ego dan arogansi tinggi. Roy Keane, Bryan Robson, dan Eric Cantona adalah contohnya. Mereka songong bukan main. Tapi sifat songong mereka dibuktikan di atas lapangan. Hasilnya mereka tidak hanya sekadar mengandalkan mulut besar dan kepongahan tapi juga kemampuan sepakbolanya diakui banyak orang.

Sekarang, bandingkan dengan keadaan skuad saat ini. Hanya berisi orang-orang arogan tapi tidak memiliki kemampuan sepakbola yang mumpuni. Lha gimana mau dipuji kalau dalam satu laga mereka tidak bisa memegang bola 3-5 menit.

Yang menyebalkan mereka justru merasa besar diri. Muncul berita dari akamsi Manchester kalau ada 11 pemain yang tidak menyukai metode latihan ala Rangnick. Mereka juga tidak suka ketika Rangnick terlambat menyelesaikan sesi latihan. Muke gile itu pemain.

Sekarang, bertambah lagi jumlahnya menjadi 17 nama yang mengaku tidak bahagia bermain untuk Rangnick. Tanpa menghitung pemain yang dipinjamkan dan pemain akademi, maka 17 ini menandakan setengah skuad lebih tidak bahagia. Bayangkan, setengah skuad tidak suka dengan Rangnick. Makin sah saja kalau klub ini sebaiknya dibubarkan saja ketimbang membuat pendukungnya terus menderita.

Arogansi mereka tidak membuatnya layak disebut sebagai pria sejati tapi lebih mengarah seperti anak kecil yang kenakalannya sudah membuat kesal orang tuanya. Dikasih guru les dengan metode pengajaran kooperatif, si anak bertindak semaunya. Giliran dikasih guru killer, si anak ngambek.

Saya belum lupa dengan berita yang katanya berasal dari orang dalam kalau para pemain United ini frustrasi dengan cara melatih Ole Gunnar Solskjaer dan para stafnya. Mereka dianggap tidak cukup baik karena metode latihannya yang terlalu biasa dan kuno. Dua kali hal ini terjadi yaitu pada 2019 dan 2021.

Oke, saya merasa kalau para pemain United ini sepertinya ingin bermain dengan sebuah sistem yang utuh. Hal ini tentu menjadi kabar baik mengingat di era Ole katanya tim ini bermain lebih menekankan kepada skill individu dan counter attack.

Maka dari itu datanglah Rangnick yang sedari awal menginginkan United memiliki kontrol dalam permainan. Gegenpressing menjadi impian yang ditawarkan. Tapi apa daya, kekalahan melawan Wolves membuka borok kalau katanya 17 pemain ini tidak suka metode latihan Rangnick yang terlalu serius dan membuat mereka tidak sanggup mengikuti ritmenya.

Lantas, apa yang mereka mau kalau dua manajer terakhir plus manajer sebelumnya semuanya dianggap tidak bisa menyenangkan si pemain meski datang dengan filosofi yang berbeda?

Entah ini pikiran liar saya atau yang lain juga demikian, namun Rangnick sepertinya sudah kehilangan kontrol. Bisa jadi alasan kenapa gegenpressing tidak lagi terlihat dari beberapa laga terakhir dikarenakan karena pemainnya yang tidak sanggup.

Pada era Ole, para pemain ini diminta untuk bermain cair khususnya 4 pemain depan. Akan tetapi, mereka tidak bisa mengontrol laga dengan baik. Pembantaian Liverpool dan Watford sudah menjadi contoh. Lalu Rangnick datang dengan meminta para pemain ini bermain pressing kolektif yang sayangnya tidak berjalan dengan baik.

Kalau berbicara soal eksekusi maka ini sudah menjadi salah pemain dan bukan lagi sang juru racik. Menyebalkan bukan melihat pemain bergaji ratusan M tiap pekan tapi dicekokin taktik sepakbola modern susahnya minta ampun dan terus mengeluh dari waktu ke waktu.

Bruno Fernandes meminta suporter untuk menyalahkan mereka alih-alih Ole ketika kalah 4-1 dari Watford. Namun, setelah banyak yang mulai membuka mata kalau ini semua bukan salah Ole, para pemain justru memilih ngambek layaknya anak kecil.

Para pemain ini seharusnya malu kepada tim lain yang berusaha untuk beradaptasi alih-alih ngambek kepada situasi. Tidak perlu jauh-jauh, semalam Chelsea-nya Tuchel bermain dengan skema 4-2-2-2 milik Rangnick. Hasilnya, pemain ini bisa mengeksekusinya dengan baik meski persiapannya mungkin sedikit.

Menarik untuk melihat reaksi Rangnick terhadap berita ini. Semoga saja dia tidak terkecoh dengan pertanyaan wartawan Inggris yang dikenal pandai membuat pertanyaan. Semoga saja Rangnick bisa terus sabar menjalani periode singkatnya ini.

Dan untuk 17 pemain yang katanya tidak bahagia dengan kehadiran Rangnick, maka Anda memang layak disebut sebagai bajingan seperti yang pernah dikatakan Gary Neville.