Foto: Standard.co.uk

Ada perbedaan yang terlihat jelas ketika membandingkan situasi Manchester United sebelum Sir Alex Ferguson pensiun dan setelah Sir Alex Ferguson pensiun. Pada era sebelum Fergie pensiun, United kerap dipandang sebagai salah satu kesebelasan yang ditakuti baik di Inggris maupun di Eropa.

Anda tidak bisa menghapus United dari daftar sebagai klub calon peraih gelar juara liga setiap musimnya. Bahkan menuliskan namanya sebagai penantang empat besar saja menjadi suatu penghinaan bagi klub yang berjuluk Setan Merah tersebut. Hal ini terlihat dari tren mereka yang tidak pernah keluar dari posisi tiga sejak 1992.

Namun keadaan berbeda terjadi ketika Ferguson turun dari singgasananya sebagai manajer. Prestasi Setan Merah langsung merosot drastis. Mereka memang masih mengumpulkan empat piala, namun performa mereka di liga tidak seperti MU yang dikenal banyak orang. Jangankan untuk menjadi juara, mencicipi tiga teratas saja United baru sekali melakukannya. Menuliskan mereka sebagai calon kuat peraih gelar juara, maka siap-siapa saja Anda akan ditertawakan.

Hal ini yang membuat seorang Patrice Evra berang. Ia nampak masih kesulitan untuk menerima fakta bahwa United memang sudah tidak sekuat ketika ia masih membela klub ini. Kepada situs resmi klub, ia bercerita betapa menyakitkannya mengetahui kalau orang-orang kini sudah kehilangan hormat kepada United.

“Kami bermain melawan Leicester City pekan lalu dan banyak orang mengatakan kalau laga itu akan menjadi laga sulit karena performa MU yang buruk. Saya berpikir, di mana rasa hormat mereka untuk Manchester United? Saya ingin orang-orang kembali takut kepada klub ini. Caranya adalah dengan bermain lebih baik dan terus memenangkan pertandingan,” tuturnya.

Awal mula Evra mengetahui kalau United mulai diremehkan terjadi ketika ia sedang berstatus tanpa klub setelah kontraknya tidak berlanjut bersama West Ham United. Saat mereka bersiap menghadapi United musim lalu, ia mendengar kalau beberapa mantan rekan setimnya di sana begitu percaya diri bisa mengalahkan United. Apes bagi, Evra, West Ham benar-benar menghancurkan mantan timnya yang lain dengan skor 3-1.

“Mereka seperti yakin akan mengalahkan United. Saya adalah mantan pemain West Ham, namun sakit hati ini rasanya ketika saya harus mengatakan: ‘Wow, klub saya yang lainnya benar-benar mengalami penurunan.’ Masalahnya adalah West Ham benar-benar menang 3-1. Saya senang sekaligus sedih melihatnya.”

Sejak 2013, performa klub ini memang bisa dibilang sangat labil alih-alih konsisten. Mereka bisa menang melawan tim besar. Namun dalam suatu waktu bisa kalah dari tim yang kualitasnya jauh di bawah mereka.

Sebelum West Ham, MK Dons pernah membuat gebrakan dengan menang 4-0 melawan United. Masih pada era Louis van Gaal, tim ini pernah menderita tiga kali kekalahan beruntun meski lawan yang dihadapi adalah Bournemouth, Norwich City, dan Stoke City.

Pada musim pertama sekaligus terakhir David Moyes, United tersingkir dari ajang Piala Liga oleh Sunderland yang pada kompetisi Premier League berkutat di papan bawah. Pada ajang yang sama di tahun 2017, United kalah dari kesebelasan Championship, Bristol City. Musim lalu mereka bahkan tidak bisa menang melawan Huddersfield dan Cardiff City, dua kesebelasan yang terdegradasi pada akhir musim. Hasil-hasil ‘ajaib’ seperti ini yang membuat nama besar mereka perlahan-lahan mulai memudar dan diremehkan oleh banyak kesebelasan/orang.

“Saya ingin arogansi United kembali. Bahkan jika itu tidak berjalan mudah, orang harus mengerti bahwa kita adalah Manchester United. Saya sedih ketika mendengar orang berbicara tentang United seolah-olah tim ini adalah tim yang remeh. Itu menyakitkan bagi saya,” tuturnya.

Evra saat ini sedang menghabiskan waktu di Carrington untuk menyelesaikan tugasnya demi mendapatkan lisensi Uefa untuk bisa memenuhi impiannya menjadi pelatih. Semoga saja keluh kesah Evra ini didengar oleh para pemain United dan menjadi bahan renungan untuk mereka agar bisa tampil lebih baik lagi kedepannya.