Foto: The Sun

Ucapan Solskjaer ini justru bisa membuatnya kehilangan dukungan alih-alih mendapatkan simpati dari banyak pihak.

Kita semua barangkali sering menemukan pernyataan klise dari orang-orang yang terlibat dalam dunia sepakbola. Yang paling sering kita temui adalah ucapan seperti: “Saya sudah lama ingin bermain di klub ini. Ini mimpi saya sejak kecil.” Biasanya ucapan ini dikeluarkan oleh pemain yang baru saja pindah klub. Atau ucapan seperti: “Yang paling penting adalah tim terus meraih kemenangan. Gol saya hanya bonus,” yang biasanya diucapkan oleh para striker di suatu klub.

Nyaris semua orang-orang di sepakbola melakukan ini. Sifatnya lebih kepada merendah. Mereka ingin berada di tengah-tengah dan tidak mau memihak ke satu arah tertentu. Termasuk juga para manajer yang memegang sebuah kesebelasan. Tak ayal kebanyakan dari mereka kerap mengeluarkan komentar yang cenderung berputar-putar bahkan tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan sama sekali.

Namun, tidak semua orang mau melakukan itu. Banyak dari mereka yang memilih bersikap jujur dan apa adanya di depan media. Mereka tidak mau menjadi orang yang berbelit-belit dalam mengeluarkan komentar, meski risikonya mereka akan menjadi sosok yang dibenci karena ucapannya tersebut.

Ole Gunnar Solskjaer kini berada dalam situasi tersebut. Sadar kalau kondisi Manchester United sedang tidak baik, dengan adanya konflik manajemen klub melawan suporter, ia harus menjadi sosok yang bisa menengahkan kedua kubu tersebut. Apes bagi dirinya, ucapannya justru terlalu frontal justru membuatnya diserang banyak pihak.

“Ada baiknya kita melihat diri sendiri di depan cermin lalu berkaca alih-alih terus menyalahkan orang lain ketika situasi tidak berjalan dengan baik. Beberapa dari kita berpikir jika kita tahu segalanya.”

“Saya percaya kalau sumber daya yang kami miliki saat ini baik dari segi pemantau bakat, rekrutmen, dan riset, sudah memadai. Perlu dipahami jika petinggi klub tidak akan menggaet pemain tanpa adanya persetujuan dari manajer. Pada akhirnya, sebagai manajer, Anda adalah sosok yang akan mengatakan ya atau tidak pada setiap transfer ini,” tuturnya seperti dikutip dari Manchester Evening News.

Ole sadar kalau situasi Manchester United sekarang sedang suram-suramnya terkait permasalahan suporter dengan manajemen klub. Ia mencoba ingin meredam situasi dengan komentar yang menyejukkan. Akan tetapi, alih-alih menjadi air, ucapannya justru seperti bensin yang membuat api perseteruan ini semakin panas.

Ucapannya ini seperti sebuah kesalahan. Hal ini sudah pasti membuatnya dianggap sebagai seorang “penjilat” yang berlindung di balik ketiak Ed Woodward dan keluarga Glazer. Hal ini yang kemudian membuat manajemen klub masih percaya kepada Ole meski performa tim sebenarnya tidak terlalu bagus karena sikapnya yang nurut-nurut saja kepada manajemen. Betapa luar biasanya ketika manajer yang penuh pengalaman dan pernah menjadi raja Eropa macam Van Gaal dan Mourinho diminta diam lalu berkaca oleh manajer yang pengalamannya hanya juara di Norwegia dan terdegradasi di Premier League.

Ole sebenarnya bisa untuk tidak ikut campur masalah ini karena dia sudah pasti banyak mendapat dukungan dari suporter Setan Merah. Ketika mendapat pertanyaan terkait manajemen timnya, ada baiknya dia berujar dengan kalimat-kalimat klise atau kalimat-kalimat retoris yang tujuannya untuk cari aman dan tidak membela pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, ia memilih untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat yang menonjolkan dirinya kalau ia membela manajemen klub yang sudah menjadi musuh nomor satu suporter.

Hal ini juga mempertegas ucapan Paul Scholes beberapa waktu lalu yang menyebut kalau Ole bukan sosok manajer yang “yes man” tapi “Manchester United man”. Begitu juga dengan ucapan Mourinho yang pernah menyebut kalau menjadi orang baik hanya akan menjadi boneka. Sayangnya, Ole membawa atribut yang lengkap untuk menjadi sosok yang ‘yes man’ dan boneka keluarga Glazer.

Memang belum jelas apa yang membuat Ole berani berbicara seperti itu. Dia bisa saja ingin membela manajemen klub. Namun, bukan tidak mungkin ia sedang dalam kondisi stres yang begitu besar. Selain dorongan dari suporter yang merasa United begitu suram dibawah kepemimpinannya, ia juga terancam kehilangan dukungan suporternya pada laga kandang yang membuat segalanya menjadi sulit.

Ketidakmampuannya melakukan manajemen stress ini bisa jadi karena pengalamannya yang masih sedikit menangani klub-klub elite Eropa. Hal ini membuatnya merasa kesulitan ketika berada dalam kesebelasan besar dengan kondisi pelik seperti ini. Gagal di Cardiff, sukses di level Molde, namun langsung melatih kesebelasan macam Manchester United yang bahkan seorang Van Gaal dan Mourinho saja menemui banyak masalah. Ini juga yang memunculkan asumsi kalau pengangkatannya pada Desember 2018 lalu bukan karena filosofi atau taktik permainannya melainkan karena dia orang dalam klub dan didikan langsung Sir Alex Ferguson.

Secara tidak langsung, ucapan Ole ini justru membuka kuburannya senndiri. Ia kini sudah sah dilabeli sebagai seorang penjilat atau boneka dari keluarga Glazer oleh beberapa orang. Mereka yang sebelumnya hanya fokus ingin mengubah struktur manajemen klub, bukan tidak mungkin akan fokus juga untuk mengganti Solskjaer dari kursi kepelatihan karena keberata akibat perkataannya.

Semoga saja, Ole tidak menyesal jika suatu saat nanti, ia mendapat vonis pemecatan dari orang yang terus ia lindungi tersebut.