Foto: Telegraph.co.uk

Pertandingan leg kedua 16 besar Liga Champions Eropa musim 2003/2004 antara Manchester United melawan FC Porto sudah memasuki menit ke-90. Porto bersiap melakukan tendangan bebas. Skor saat itu 1-0 untuk Setan Merah dan akan lolos ke babak 8 besar karena United unggul gol tandang setelah sebelumnya mereka kalah 1-2 di Portugal.

Tendangan Benny McCarthy selaku eksekutor bisa ditepis oleh Tim Howard. Akan tetapi, bola rebound dengan cepat disambar oleh Costinha. Porto mencetak gol penyama kedudukan dan mengubah agregat menjadi 3-2. United tersingkir, namun tersingkirnya Setan Merah saat itu tidak bisa mengalihkan perhatian banyak orang dari aksi yang dilakukan pelatih Dragoes.

Saat Costinha merayakan golnya, seorang pria dengan jas hitam yang ditambah dengan kemeja putih dan berdasi biru  mengikuti perayaan gol tersebut. Layaknya orang yang sedang kesurupan, si pria berlari, meninju tangannya ke udara, lalu membentangkan kedua tangannya sebagai tanda kalau ia berhasil mengalahkan juara Premier League. Itulah salam perkenalan seorang Jose Mourinho kalau ia siap menaklukkan sepakbola Eropa.

Perayaan tersebut tentu saja membuat para penggemar United marah. Kemarahan mereka semakin memuncak ketika Mourinho bertingkah layaknya orang gila sesaat setelah wasit meniup peluit tanda pertandingan telah usai. Sembari mengangkat telunjuknya, Mourinho ngeloyor ke ruang ganti sambil berteriak yang kemudian diikuti dengan cemoohan dan hinaan dari para penggemar United.

“Saya punya pandangan luas terkait aksi Mourinho tersebut. Saya ingat Peter Schmeichel, yang menjadi komentator di depan saya menatap saya penuh kekesalan. Ia tidak suka dengan komentar saya yang penuh dengan reaksi kegembiraan melihat aksi tersebut,” ujar Carlos Cardoso, salah satu wartawan yang bekerja untuk Porto.

Yang menarik, meski para penonton United kesal dengan aksi dari Mourinho, namun hal itu ternyata tidak mengganggu Sir Alex Ferguson yang timnya dipecundangi olehnya. Dalam buku autobiografinya, Sir Alex Ferguson menyebut kalau Mourinho hanya beruntung bisa menyingkirkan dia, tapi justru menyukai perayaan tersebut.

“Saya memberi selamat kepada Jose Mourinho dan mengatakan kalau dia hanya beruntung bisa mengalahkan saya. Namun saya tidak terganggu dengan perayaannya. Saya dulu juga sering seperti itu. Saya ingat perayaan saat tim mengalahkan Sheffield Wednesday. Saya dan Brian Kidd berlutut di lapangan. Saya tidak terganggu dan saya mengagumi orang-orang yang bisa menunjukkan emosinya. Itu menunjukkan kalau dia peduli,” kata Fergie.

Ferguson justru kecewa karena absennya kapten mereka, Roy Keane. Pada leg kedua, Keane tidak bermain karena menjalani akumulasi kartu merah yang ia terima pada pertemuan pertama. Selain itu, ia juga menyalahkan wasit yang dianggap memihak Porto.

“Saya lebih marah kepada Keane karena kartu merah yang ia terima dan bukan kepada Jose. Kesan saya pada pertandingan pertama adalah Keane menjadi korban dari wasit. Pada pertandingan kedua, wasit justru bertingkah makin aneh,” tuturnya.

Meski tidak kesal kepada perayaan Mourinho, namun Fergie tetap mengkritisi kinerja The Special One. Ia menyebut kalau si pelatih sengaja meminta para pemainnya untuk bermain curang. Fergie terpengaruh dari ucapan Martin O’Neill yang tidak bisa menerima kekalahan timnya saat menghadapi Porto asuhan Mourinho pada final Piala Uefa semusim sebelumnya.

Ferguson saat itu mulai mengagumi Mourinho, namun oleh Fergie prestasinya dianggap biasa-biasa saja. Sampai pada akhirnya, kedua manajer ini kembali bertemu di Inggris dengan Mourinho yang menukangi Chelsea. Sejak saat itu, Ferguson yang sebelumnya menganggap Mourinho hanyalah anak baru yang tidak bisa apa-apa, justru menyadari kalau The Special One adalah ancaman nyata bagi eksistensi Manchester United (dan Arsenal) pada saat itu. Dua kali United tidak sanggup menghentikan laju Chelsea untuk menjadi penguasa Inggris.

Akan tetapi, kejadian tersebut justru menjadi awal dari relasi romantis antara Jose Mourinho dan Sir Alex Ferguson. Fergie mengagumi emosi seorang Mourinho Sementara Mourinho menjadikan Fergie sebagai sosok yang membuatnya terus maju dan meraih banyak pencapaian di beberapa klub elit Eropa. Keduanya kerap makan malam bersama hingga bertukar wine yang merupakan kegemaran Fergie.  Itu semua diawali dari kejadian di Old Trafford pada 9 Maret 2004.