foto: imgsva.com

Menjadi setia dalam sebuah hubungan, bukanlah hal yang sulit; kuncinya adalah komitmen. Mempertahankan hubungan percintaan agaknya menjadi lebih mudah ketimbang mempertahankan ikatan dengan sebuah kesebelasan. Pasalnya, kedua belah pihak, baik pemain maupun klub, sama-sama memprioritaskan keuntungan.

Menjadi lazim bagi seorang pemain untuk pindah kesebelasan. Pun sebaliknya, bukan hal yang tabu sebuah kesebelasan menerima pemutusan kontrak pemain dan melepasnya ke kesebelasan lain. Bahkan, “perceraian” ini disemarakkan lewat periode tertentu yang bernama “bursa transfer”.

Manchester United adalah salah satu kesebelasan yang memberikan dampak besar buat para pemainnya. United tak ubahnya seperti rumah di mana orang-orang yang bergumul di dalamnya, merasa berat untuk sekadar pindah.

Ryan Giggs adalah pemain “one-club men” terakhir yang pensiun di Old Trafford. Ia telah bergabung dengan United sejak 1990. Total, ia bermain sebanyak 963 pertandingan dengan durasi 24 tahun. Capaian ini menjadikannya sebagai “One-club men” kedua terlama di dunia.

United adalah kesebelasan besar. Sulit bagi setiap pemain untuk bertahan di kesebelasan besar dari awal debut hingga pensiun. Salah satu alasannya adalah soal kualitas. Pemain mungkin saja ingin bertahan lebih lama, tapi kalau klub sudah tak membutuhkannya, peluang untuk dijual amatlah besar.

Di era sepakbola modern seperti sekarang ini, pemain-pemain seperti Giggs sulit untuk ditemukan. Pasalnya, kesebelasan besar umumnya tidak menggunakan pemain dari akademi sendiri, melainkan memilih pemain yang sudah jadi. Akibatnya, para pemain akademi menjadi tersisih dan membesarkan diri di kesebelasan lain.

Giggs hadir pada era yang tepat, yakni saat Sir Alex Ferguson mengorbitkan “Class of ‘92”. Alumnus “Class of ‘92” menjadi identik dengan United. Menjadi tidak mengagetkan kalau nama-nama seperti Paul Scholes dan Gary Neville, pun menjadi “One-club men”.

Ketiga nama yang disebutkan di atas, pada akhirnya hidup sebagai panutan. Nama Scholes akan dikenang sebagai salah satu gelandang terhebat United. Gary? Yang jelas ia menjadi lebih populer dari sang kakak yang memilih hijrah ke Everton? Giggs? Bahkan Sir Alex, dalam sebuah wawancara, pun tak yakin apakah ia manusia atau alien.

Tergantung Kemampuan

Ketiganya punya karier yang lama di United. Sudah jelas, mereka bergelimang gelar di mana semua gelar utama sudah pernah mereka rasakan.

Salah satu syarat seorang pemain bisa menjadi “One-club men” adalah punya kemampuan di atas rata-rata pemain lainnya. Ini menjadi indikator penting karena pelatih akan selalu memasukkan mereka ke dalam rencana jangka panjang.

Scholes selalu mengisi pos sebagai gelandang, meski banyak gelandang yang lebih populer bergabung dengan United. Ini tak lain karena kemampuan Scholes yang dibutuhkan oleh pelatih. Ia bermain dengan sederhana: hanya mengumpan! Namun, kesederhanaan inilah yang membuatnya menjadi penting dalam skuat dan selalu masuk ke dalam rencana pelatih.

Bagaimana dengan Giggs? Seorang pemain sayap, ia dituntut punya kecepatan. Usia seringkali memangkas kemampuan. Pun halnya dengan Giggs yang tidak secepat 20 tahun silam. Hebatnya, Giggs bisa menyesuaikan. Pelatih pun sadar dengan tidak meminta Giggs menyisir sayap sepanjang 90 menit. Ia bermain lebih taktis, lebih menjadi seorang pemilih: mengirim umpan terobosan ke sayap atau langsung ke kotak penalti.

Kemampuan menjadi syarat utama agar seorang pesepakbola bisa bertahan di satu klub. Bila tak mampu menyesuaikan dengan perubahan, adalah wajar kalau ia bukan yang diprioritaskan untuk bertahan.

Masuk Skema Pelatih

Hal paling krusial kedua adalah selera pelatih yang sifatnya mutlak. Giggs, Gary, dan Scholes, –lagi-lagi—beruntung karena hampir seluruh masa baktinya di United dilatih oleh Sir Alex Ferguson. Ini adalah salah satu faktor yang membuat ketiganya masih berada di United.

Ferguson tentu merasa kalau dibanding membeli pemain baru yang tidak ia pahami kualitasnya, memercayakan kepada pemain yang telah lama membaktikan dirinya adalah pilihan logis. Seperti disebutkan dalam alasan di atas, Giggs masih dipercaya karena mampu menyesuaikan dengan gaya bermain –atau sebaliknya di mana Fergie yang menyesuaikan dengan kemampuan Giggs. Sementara itu, Scholes diberikan perpanjangan satu tahun karena tak ada gelandang yang mampu menyamai kesederhanaannya. Scholes barangkali memenuhi ekspektasi Sir Alex yang tak ingin ada pemain yang merasa lebih besar dari klub.

Kemampuan menjadi faktor utama, tapi selera pelatih adalah faktor krusial. Misalnya saja Rio Ferdinand yang meskipun sehat dan fit untuk bermain, tapi tak masuk dalam skema United untuk musim 2014/2015. Ia pun memilih untuk tidak meneruskan kariernya di United. Meskipun tidak mengawali debut di United, tapi Rio kadung menjadi ikon di lini pertahanan The Red Devils.

Selera pelatih pula yang membuat banyak pemain pilihan Fergie dilepas di era Louis van Gaal. Sang Meneer mungkin merasa tak sesuai dengan para pemain pilihan Fergie yang tak sesuai dengan keinginannya. Tercata Van Gaal melepas total 36 pemain, termasuk pemain reserves. Nama-nama seperti Rio, Nemanja Vidic, Patrice Evra, Shinji Kagawa, Danny Welbeck, Darren Fletcher, Wilfried Zaha, Anderson, Tom Cleverly, Nani, Robin van Persie, Rafael, Javier Hernandez, dan Anders Lingard dilepas di era Van Gaal.

Memiliki Persona

Dua syarat di atas tidak ada apa-apanya dengan syarat ketiga ini. Selain mesti memiliki daya pikat (pesona), seorang pemain pun mesti memiliki ciri khas yang identik dengan dirinya (persona).

Sehebat apa memangnya Francesco Totti sehingga dirinya masih ada di AS Roma yang telah dibelanya sejak 1992? Apakah Totti pernah meraih Ballon d’Or? Apakah sepanjang 24 tahun capaiannya di klub mampu melewati yang diraih Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi? Tentu jawabannya tidak.

Namun, nomor punggung 10 di AS Roma hingga saat ini masih dikenakan oleh Totti. Tercatat hampir 20 pelatih yang hilir mudik di AS Roma, tapi Totti tetap pada tempatnya, tak tergantikan.  Di lini serang, ia pernah bekerja sama dengan Abel Balbo, Daniel Fonseca, Marco Delvecchio, Vincenzo Montella, Gabriel Batistuta, Erik Lamela, sampai kini Edin Dzeko.

Alasan Totti tetap di Roma tak lain karena ia memiliki persona yang hanya dimiliki olehnya. Totti adalah pria setia. Ia tidak bermain di kesebelasan yang menawarkan banyak gelar, tapi ia tetap setia, dan itu adalah personanya.

Pemain yang seperti ini biasanya memiliki kesan mendalam buat siapapun yang mengenalnya, baik itu suporter maupun kesebelasan lawan. Sosoknya di kesebelasan hampir sulit untuk digantikan.

***

Musim ini adalah musim yang bersejarah buat penggemar sepakbola dunia karena mungkin akan menjadi musim terakhir “One-club man” terlama yang masih aktif bermain: Francesco Totti.

Menjadi “One-club man” jauh lebih sulit dari pada “One-heart man”, karena komitmen saja tidak cukup. Kalau salah satu pihak merasa tidak diuntungkan, maka secara otomatis ia akan terpisah. Sudah semestinya bagi kita, penggemar sepakbola, untuk memberikan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada “One-club man” sebagai pesepakbola yang setia, yang memilih untuk bahagia dan menderita bersama satu kesebelasan di sepanjang kariernya.