Bagi Memphis Depay, pemain yang merayakan ulang tahun ke-23 hari ini (13 Februari), melihat dirinya di depan cermin bukan sekadar ingin merapikan penampilan. Ketika ia melepaskan bajunya, bukan hanya badan ideal seorang atlet yang lihat. Lebih dari itu, ia dapat melihat mantra pribadi yang di ukir dalam bentuk tato bertuliskan “dream chaser”.

“Ketika saya melihat ke cermin, saya termotivasi karena saya tahu saya belum berada pada tempat yang saya inginkan,” ujar Memphis Depay.

Sejak kecil, Memphis memang memiliki keinginan tinggi untuk menjadi sukses meskipun ia tidak tumbuh di lingkungan yang baik. Berbagai masalah besar hadir dalam hidupnya. Memphis lahir dari ibu asal Belanda dan ayah asal Ghana. Memphis tumbuh di sebuah kota kecil bernama Moordrecht yang terletak di pinggiran Rotterdam.

Lingkungan di kota tersebut bukanlah lingkungan yang baik. Kriminal dan huru-hara sering terjadi. Salah satu teman dekatnya kala itu, Gigi, mengungkapkan bahwa Moordrecht adalah kota kecil dimana tidak banyak hal yang bsia dilakukan. Bagi Memphis, kekosongan tersebut di isi dengan bermain sepakbola bersama teman-temannya di dekat rumah.

Memphis mengenal sepakboal dari kakeknya, Kees. Pada suatu hari, usai bermain sepakbola, Memphis meghempaskan dirinya ke sofa di mana Kees sedang menonton sepakbola. Memphis muda memalingkan kepalanya ke arah kakeknya dan berjanji, “Suatu hari nanti kakek akan melihat saya bermain sepakbola di TV juga!”

Ayahnya, Dennis Depay meninggalkan ibu Memphis, Cora, ketika Memphis masih berusia empat tahun. Cora harus membesarkan Memphis sendirian. Dennis benar-benar meninggalkan Memphis dan Cora begitu saja. Ia tidak memiliki peran dalam pertumbuhan Memphis. Inilah alasan kenapa nama di balik jersey yang ia kenakan adalah Memphis, bukan Depay.

“Cukup membingungkan bagi saya, karena Anda cenderung bermain dengan nama belakang di jersey Anda, seperti semua orang. Tapi keretakan hubungan dengan ayah saya tidak dapat diperbaiki. Saya tidak pernah berbicara dengannya. Saya tidak memiliki kontak dengan keluarga ayah saya. Dan saya tidak akan pernah,” ujar Memphis setelah menjadi pemain professional.

Tidak lama setelah itu, Cora mendapat pasangan baru tapi tidak membuat hidup Memphis lebih baik. Ayah barunya memiliki 15 anak, Memphis menjadi anak ke-16. Ayah barunya itu kerap bersikap kasar dan melakukan kekerasan fisik kepada Memphis. Bahkan, Cora kembali ditinggalkan setelah pasangan barunya itu memenangkan undian ketika Memphis tumbuh menjadi remaja.

Hidup keras di awal hidupnya membuat Memphis menjadikan sepakbola sebagai pelarian. Ia dapat melupakan sejenak pahitnya kehidupan yang ia alami ketika bermain sepakbola. Ditambah dengan sosok Kees yang terus mendukung Memphis untuk menjadi pesepakbola.  Kakeknya itulah yang mendaftarkan Depay ke klub local, VV Moordrecht, ketika Memphis berusia tujuh tahun.

Bakatnya sudah tercium saat itu. “Dia cepat, lincah, dan kuat. Pada sebuah pertandingan ketika kami mencetak tujuh gol, dia mencetak lima diantaranya dan mengkreasikan dua sisanya. Itulah yag membuat saya berpikir dia tidak akan lama disini,” ujar Ton Redegeld, Chairman VV Moordrecht.

Baca juga: Buy Back Option dalam Klausul Penjualan Memphis

Pada tahun 2003, Memphis ditawari bermain untuk Rotterdam. Karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dengan Moordrecht, Cora dan Kees menyetujui Memphis pindah ke Rotterdam. Ia kembali memukau pelatih di sana. Tapi, permasalahan muncul dengan sikap Memphis yang kurang baik. Ia sulit diatur.

“Dia memiliki masalah dalam bersikap. Biasanya saya bisa mengatasi anak seperti itu tapi dia sangat sulit dibantu, seperti ada tembok yang menghalanginya disekitarnya,” ungkap Kein Valkenburg, pelatih tim muda Rotterdam.

Tiga tahu berselang, Memphis kembali ditawari untuk pindah ke klub yang lebih besar. Tidak tanggung-tanggung, tiga tim besar Belanda, Ajax, PSV, dan Feyenoord menginginkan Memphis bergabung. Kees akhirnya menyarankan Memphis untuk bergabung dengan PSV meskipun ia adalah fans Ajax.

Bersama PSV, Memphis kembali dapat menunjukan bakat luar biasanya. Tapi perilakunya tidak berubah. Ia keras kepala dan pemarah. Tentu Memphis tidak bisa disalahkan, tumbuh di keluarga yang berantakan membuatnya tidak terdidik dengan baik soal bersikap. PSV bahkan sempat beberapa kali hampir mengeluarkan Memphis dari akademinya. Tapi talenta yang ada pada diri Memphis menyelamatkannya. Memphis digadang-gadang dapat menjadi winger kelas dunia seperti Arjen Robben.

Tapi Memphis kembali harus menghadapi musibah. Kees yang selama ini mendukunganya, memperkenalkannya ke sepakbola yang menjadi pelarian dari masalah hidupnya, meninggal dunia ketiak Memphis berusia 15 tahun.

Kejadian tersebut sangat memukul Memphis. Tapi di sisi lain, Jans Schensema, mengungkapkan bahwa Memphis jadi lebih termotivasi untuk sukses setelah kejadian itu. “Ketika kakeknya meninggal, Memphis sangat terpukul. Kakeknya memberi kestabilan untuk hidupnya. Mereka sangat dekat,” tutur nenek Memphis, Jans Schensema.

Pada Piala Dunia 2014 lalu, Memphis mencetak gol pertamanya untuk timnas Belanda ketika berhadapan dengan Australia. Ia mencium pergelangan tangannya dimana terdapat tato untuk mengenang kakeknya, lalu menunjuk jarinya kearah langit sambil mengenang Kees.