Jose Mourinho, pelatih yang sangat dicintai/dibenci (silahkan coret salah satu) ini merayakan ulang tahun ke-54-nya hari ini (26 Januari). Ia adalah salah satu pelatih terbaik sepanjang sejarah sepakbola. Namanya sudah tak asing didengar meskipun oleh orang yang tidak terlalu menyukai sepakbola.

Berbagai kesebelasan telah ia tangani dan berbagai trofi telah ia raih pula. Kemahirannya dalam menangani klub tidak bisa diragukan lagi. Berikut adalah beberapa cerita kehebatan seorang Jose Mourinho.

Trofi, Trofi, dan Trofi

Indikator seorang pelatih dapat dikatakan hebat tentu saja sesimpel dari jumlah trofi yang ia raih. Trofi diraih karena mampu memenangkan kompetisi dengan cara memetik kemenangan. Pelatih yang sering menang tentu dapat dikategorikan sebagai pelatih berkualitas. Dan itulah Jose Mourinho.

Dalam 16 tahun karir kepelatihannya, Mourinho telah mengumpulkan 23 trofi di berbagai kompetisi top Eropa. Mulai dari trofi Liga Portugal bersama Porto pada musim 2002/2003 hingga trofi FA Community Shield bersama Manchester United pada Agustrus kemarin. Mourinho seakan tak pernah bisa berhenti meraih trofi di manapun ia melatih.

Hebatnya lagi, ia sukses meraih gelar liga di empat liga top Eropa. Ia memenangi Liga Inggris bersama Chelsea, Liga Spanyol bersama Real Madrid, Liga Italia bersama Inter Milan, dan Liga Portugal bersama Porto. Tak hanya juara, ia juga kerap memecahkan rekor ketika keluar sebagai kampiun.

Bersama The Blues, 95 poin yang dikumpulkan dan 15 gol kemasukan memecahkan rekor Liga Inggris. Kala menukangi Los Galacticos juga ia menorehkan rekor serupa, Madrid sukses ia bawa menjadi tim pertama yang berhasil mengumpulkan lebih dari 100 poin. Ditambah dengan 121 gol yang dicetak dan selisih gol sebanyak 89 membuat catatan prestasinya semakin mentereng. Jika flashback lebih jauh, ia juga pernah memecahkan rekor poin bersama Porto dengan mengumpulkan 86 poin, meski sekarang berhasil dipecahkan oleh Benfica pada musim 2015/2016.

Ia juga menjadi satu dari empat pelatih yang berhasil menjadi kampiun Liga Champions dengan dua tim berbeda. Pelatih lainnya adalah Ottmar Hitzfield, Ernsst Happel, dan Jupp Heynckes. Pria kelahiran Setubal itu sukses membawa Porto dan Inter Milan menjadi jawara Eropa. Ia bahkan mengantarkan kedua tim itu meraih Treble Winners.

Menjadi Akademisi yang Baik

Banyak yang mengatakan bahwa untuk menjadi pelatih kelas dunia, diperlukan pengalaman sebagai pemain terlebih dahulu. Jalur sutera itu memang sudah umum dalam sepakbola. Menjadi pemain kelas dunia, memenangkan berbagai kompetisi, pensiun di sekitar usia 35, kembali ke sepakbola sebagai pelatih saat menginjak kepala empat, sukses menjadi pelatih di umur 50 ke atas. Namun Mourinho tidak demikian, ia justru menjadi akademisi di bidang olahraga, baru menjadi pelatih.

Mourinho sudah mengenal sepakbola sejak kecil. Ayahnya, Felix Mourinho, adalah pemain sepakbola profesional untuk Os Belenenses dan Vitoria. Ketika remaja, Mourinho kerap menonton pertandingan ayahnya. Beberapa tahun kemudian, saat ayahnya menjadi pelatih, Mourinho mulai mengobservasi sesi latihan dan scouting tim lawan. Ia sempat bermain sepakbola untuk Rio Ave, dimana ayahnya menjadi pelatih disana, namun karena fisik yang kurang memadai akhirnya ia pensiun dini pada umur 23.

Melihat anaknya gagal menjadi pemain sepakbola, Ibu Mourinho, Maria Julia, menginginkan anaknya menjadi seorang pebisnis. Ia memasukan Mourinho ke kampus bisnis. Namun Mourinho tetap ingin menggeluti bidang sepakbola, ia keluar dari sekolah bisnis itu di hari pertamanya sekolah.

Mourinho akhirnya mengambil jurusan Sport Sciene di Technical University of Lisbon. Lima tahun menimba ilmu di sana, ia lulus dengan nilai yang konsisten bagus. Ia menjadi guru olahraga di berbagai sekolah di Lisbon sejak itu. Kharisma dan cara mengajar yang baik membuat ia menjadi tenar di kalangan murid, khususnya murid perempuan.

“Hingga dia datang, tidak ada perempuan yang suka pelajaran olahraga, tapi tiba-tiba semua berubah ketika tidak ada lagi yang meminta surat sakit dari dokter,” ujar salah satu murid Mou.

Jika pelatih lain yang pernah menjadi pemain masih bisa mengolah si kulit bundar, paling tidak juggling di sesi latihan, Mourinho tidak seperti itu. Kemampuan sepakbola Mourinho memang benar-benar ada pada otaknya. Lulus dari Sport Science membuat ia lebih mengerti sepakbola dari aspek sains. Jika diminta menendang bola, ia tidak handal, tapi jangan coba tanya tentang otot-otot yang menunjang performa di atas lapangan. Mourinho benar-benar mengerti sains-nya sepakbola.

Memecahkan Berbagai Rekor

Tak hanya meraih trofi, ia juga berhasil memecahkan berbagai rekor fenomenal. Salah satu yang paling hebat adalah sembilan tahun tanpa kekalaha ketika bermain di kandang. Mourinho tak pernah takluk dihadapan fans sendiri dari 23 Februari 2002 hingga 2 April 2011 ketika Real Madrid mengalami kekalahan 0-1 melawan Sporting Gijon.

Nama Mourinho bahkan masuk ke buku rekor dunia Guinnes. Ia menerima lima penghargaan yaitu tak terkalahkan terlama di kandang oleh seorang manajer, gelar Liga Champions terbanyak bersama klub yang berbeda (dua klub), pelatih termuda yang mencatatkan 100 pertandingan Liga Champions (49 tahun 12 hari), poin terbanyak di Liga Inggris (95 poin) dan tidak terkalahkan terbanyak di kandang pada kompetisi Liga Inggris (77 pertandingan).

Menguasai Enam Bahasa

Menjadi pelatih di berbagai negara membuat ia harus mempelajari bahasa-bahasa dimana ia melatih. Mourinho akhirnya mampu fasih berbicara dalam enam bahasa yaitu Portugal (latin), Inggris, Spanyol, Katalan, Italia, dan Perancis.

Mourinho memulai mempelajari bahasa lain karena ia merasa membutuhkan bahasa lain untuk mempelajari berbagai ilmu. Karena banyak ilmu yang tersedia bukan dari bahasa aslinya, Portugal. Mourinho memang dikenal memiliki kemampuan linguistik yang luar biasa. Awal karirnya di sepakbola pun dimulai ketika ia menjadi penerjemah untuk Bobby Robson di Sporting CP.

Ia memang selalu mempelajari bahasa baru dimana ia tinggal. Ketika menjadi staff di Barcelona, ia mempelajari bahasa Katalan. Ketika ditunjuk sebagai manajer Inter, ia juga langsung mempelajari bahasa Italia. Hebatnya, Mourinho mengungkapkan kepada media bahwa ia hanya butuh waktu tiga minggu untuk mempelajari bahasa Italia.

Kemampuan bahasanya yang luar biasa itu juga membuat ia bisa berkomunikasi di berbagai bahasa dengan pemainnya. Perlakuan itu dapat memberi rasa senang tentunya bagi pemain. Contohnya, Juan Mata mungkin akan lebih senang berbicara dengan bahasa Spanyol dibanding dengan bahasa Inggris meskipun mereka ada di Inggris saat ini.

Mourinho juga kerap menggunakannya untuk memberi instruksi kepada pemain. Ia pernah mengungkapkan bahwa pada pertandingan melawan Aston Villa ketika menukangi Chelsea, ia menggunakan bahasa latin untuk memberi instruksi kepada Oscar, bahasa Spanyol untuk Cesar Azpilicueta, serta bahasa Katalan untuk Cesc Fabregas. Kelakuan unik itu membuat Paul Lambert, manajer Aston Villa, tidak mengerti apa yang dikatakan Mourinho.