foto: eurosport

Ada satu hal yang membuat Sir Alex Ferguson merasa tenang saat tak memenuhi permintaan kenaikkan gaji Paul Pogba. Memang, sebagai konsekuensinya United mesti melepas Pogba karena tidak tercapainya kesepakatan kontrak. Namun, setidaknya, Sir Alex percaya kalau ada pemain yang jauh lebih baik dari Pogba dan nama pemuda itu adalah Ravel Morrison.

Ravel diberkahi kemampuan sepakbola yang begitu besar. Hal ini diakui pula oleh banyak orang termasuk Sir Alex Ferguson. Bahkan, menurut Rio Ferdinand, Pogba sekalipun mengakui kalau Ravel adalah idolanya.

“Anak ini adalah pemuda terhebat yang pernah aku temui dalam hidupku,” kata Rio dikutip dari Manchester Evening News. “Ia lebih baik dari Joe Cole saat masih muda.”

Ferdinand punya jutaan pujian untuk Ravel. Menurutnya, Rio tak pernah melihat pesepakbola yang begitu nyaman berada di atas lapangan. Namun, tentu Ravel tak bisa berdiri sendiri. Kehadiran para pemain United lain membuatnya begitu berpotensi.

“Aku senang saat ia diberi kesempatan untuk kembali dan memperlihatkan semua orang tentang bakatnya, karena anak ini amatlah berbeda. Pogba, [Adnan} Januzaj, [Andres] Lingard, mereka mengagumi anak ini,” ungkap Ferdinand.

Lantas, kalau memang sehebat itu mengapa saat ini tidak ada nama Ravel dalam susunan pemain utama United? Mengapa ia justru bergabung dengan Lazio? Apakah ia adalah “kesalahan kedua” Sir Alex yang dulu juga melepas Pogba?

Ravel yang Tempramental yang Membuatnya Terpental

Ravel adalah Manchunian. Ia lahir di Wythenshaw, atau hanya berjarak sekitar delapan kilometer menuju Stadion Old Trafford.

Berbeda dengan sejumlah pemain akademi lainnya, Ravel adalah seorang pemegang beasiswa. Statusnya pun bukan “mendaftar” ke akademi, melainkan direkrut langsung oleh pemandu bakat United, Phil Brogan. Baru setahun menimba ilmu, ia sudah diikat profesional oleh United pada 2 Februari 2010, seiring dengan usianya yang menginjak 17 tahun.

Ravel punya segala yang dibutuhkan oleh pesepakbola: keseimbangan, kecepatan, kontrol, visi, pengamatan, kedua kakinya kuat, ketepatan mengumpan, sampai kemampuan mencetak gol.

“Mari tidak menilai seseorang berdasarkan video di internet, tapi ini adalah momen yang akan membawa kemampuan Messi dan Cristiano Ronaldo ke kakinya,” tulis Daniel Taylor, jurnalis The Guardian, soal kemampuan Ravel mengolah bola, dalam artikelnya 2011 silam.

Atas segala kemampuannya, media pun punya prediksi yang amat baik kala itu. Times menulis, “Kapan kita terakhir kali melihat pesepakbola Inggris 15 tahun dengan kemampuan seperti itu?” Daily Telegraph menulis kalau Ravel adalah mutiara Inggris untuk Piala Dunia 2014. Sementara itu, Independent memasukkan Ravel ke dalam lima pesepakbola muda yang harus diperhatikan penampilannya.

Namun, sebelum membuktikan segala kehebatannya. Ravel justru didakwa melakukan kekerasan terhadap pacar dan ibu pacarnya. Lalu, media pun mulai berpikir kalau ada sesuatu yang salah pada Ravel. Mereka pun mulai menelusuri masa lalu pemain kelahiran 2 Februari 1993 ini.

Morrison tinggal bersama kakek neneknya di Denton, Manchester sebelah timur. Ibunya, Sharon Ryan, tinggal di tempat lain mengurus kedua adik Ravel, Rio dan Zeon. Sejak kecil, Ravel tak suka dengan kondisi ia berada di bawah pengawasan neneknya. Karena hal ini, Rio Ferdinand dan Gary Neville menawarkan untuk menjadi “pengasuhnya”.

Ravel dikenal sebagai pribadi yang tempramental. Ia tinggal dalam lingkungan yang keras. Namun, kedua kakinya merupakan tiket bagi dirinya agar bisa keluar dari kemiskinan.

“Sayangnya, otaknya tak punya gelombang yang sama [dengan kakinya]. Di United, dia selalu membuat masalah dengan pelatih yang putus asa karena perilakunya yang sesuka dirinya,  tak bisa membagi waktu, sampai keengganannya untuk bekerja keras,” tulis Jim White dari Euro Sport.

Jim membandingkan Ravel dengan perilaku Pogba yang sering dianggap serakah dan keras kepala. “Tidak ada yang bisa menyalahkan perilaku Pogba,” tutur Jim.

Menurut Jim, hal itu terjadi karena Pogba sejatinya ada pada titik terendah saat ia dilepas United. Ia mesti memulai dari awal di lingkungan yang baru ia kenal di Juventus. Perlahan, Pogba mampu menunjukkan kemampuannya dan menjadi bagian integral dari Juventus bahkan masuk tim nasional Prancis. Ia mampu untuk beradaptasi dan tak enggan untuk masuk ke dalam tim.

Ravel sulit untuk beradaptasi. Banyak orang yang menganggap perilakunya tak ubahnya sebagai seorang gengster. Bahkan, Sir Alex yang dianggap mampu untuk mencairkan suasana dengan humornya, tetap tak bisa menangani Ravel. Karena itu, Ravel pun dilepas ke West Ham dengan harapan agar ia bisa fokus untuk memaksimalkan kemampuannya dengan jauh dari lingkungan asalnya.

Tak Disukai di London

Tebak, siapa saja tiga pemain di atas?
Tebak, siapa saja tiga pemain di atas?

Ravel lantas hijrah ke London pada 2012 dengan bergabung bersama West Ham United. Ravel memang sering menunjukkan kemampuannya, tapi rasa kecewa justru lebih sering ia berikan.

Ia pun mulai dipinjamkan ke Birmingham City, Queens Park Rangers, sampai ke Cardiff City. Tujuannya agar ia mampu membuktikan diri kalau ia masih ada. Namun, yang terjadi justru ia lebih sering terlihat hadir di muka pengadilan.

“Ketidakdewasaannya menunjukkan kalau ia belum melewati fase dari sebuah karakter yang cacat secara permanen,” tulis Jim.

Kontraknya di West Ham telah berakhir tapi tak ada kesebelasan Inggris yang meminatinya, sampai akhirnya Lazio datang. Di awal musim, ia mampu menunjukkan kehebatannya yang membuat para penggemar Lazio membandingkannya dengan Paul Gascoigne.

Tak butuh waktu lama sampai pelatih Lazio, Stefano Pioli, secara terbuka mengkritisi perilakunya, kebugarannya, sampai keengganannya untuk belajar budaya lokal seperti bahasa Italia. Atas kritik tersebut, Ravel cuma mencuit “Januari”.

Mungkin, maksud cuitan tersebut adalah ia akan hijrah pada Januari, tapi tak ada satupun kesebelasan yang menawar. Pioli memang pergi, dan kini Lazio ditangani oleh Simeone Inzaghi. Meski mampu melepaskan panenka di awal musim, tapi belum ada tanda-tanda kalau Ravel telah berubah dan akan “mengguncang” dunia.

Sering Didenda

Jejak pertama Ravel di kepolisian adalah pada awal 2011 saat ia terbukti mengintimidasi saksi mata sebanyak dua kali. Ia pun didenda 1445 paun dan referral order selama 12 bulan.

Dua hari setelah memenangi FA Youth Cup, Ravel kembali didenda 600 paun saat melempar telepon genggam kekasihnya karena menolak untuk bersaksi. Pada Februari 2012, Ravel mencuit soal homophobic di akun twitternya. Ia pun didenda tujuh ribu paun oleh FA.

Pada Juli 2014 silam, ia didakwa setelah menyerang kekasihnya dan ibu kekasihnya. Ia dibebaskan secara bersyarat. Namun, pada Januari 2015 ia diputuskan tidak bersalah.

Menanti untuk Terlahir Kembali

Ravel punya segalanya untuk menjadi pesepakbola top. Namun, ia perlu terlahir kembali dengan segala hal baru agar bisa mewujudkannya.

“Aku pikir dia tidak membuatku terpana sebagai pesepakbola. Kami seua tahu soal bakatnya. Ini soal memainkan bakat dan lebih disiplin dalam hidup, adalah hal yang dibutuhkan Rav. Kalau ia melakukannya, kami amat membutuhkan ia di sini,” tutur manajer West Ham kala itu, Sam Allardyce, yang meminjamkannya ke QPR.

Allardyce menjelaskan bahwa ini adalah soal disiplin karena setiap kesebelasan punya kode etik yang mesti dihormati. Kedisiplinan sebagai seorang pesepakbola profesional adalah sesuatu yang amat penting. Namun, Ravel menunjukkan hal yang sebaliknya. Ia sulit berkonsentrasi dan tak disiplin.

Sir Alex dalam bukunya, Leading, menulis bahwa Ravel adalah seseorang yang sulit untuk mengatasi tekanan.

“Sayangnya, ada contoh pemain yang punya latar belakang mirip Giggs dan Cristiano Ronaldo, yang di luar kemampuannya yang hebat, tidak memiliki emosi dan mental yang cukup kuat untuk melawan rasa sakit pada masa lalu dan iblis di dalam diri mereka,” tulis Sir Alex.

“Ravel Morrison mungkin akan menjadi kasus terburuk. Dia memiliki bakat natural jauh lebih besar dari pemain muda yang pernah kami rekrut, tapi dia terus membuat masalah. Amat menyakitkan saat menjualnya ke West Ham pada 2012 karena dia mestinya bisa menjadi pemain yang fantastis.

Namun, selama beberapa tahun, masalah di atas lapangan meningkat dan pilihan kami adalah ‘memutus kabelnya’.”

Dengan perilakunya yang seperti saat ini, agaknya sulit bagi Ravel untuk bisa hidup kembali seperti halnya Paul Pogba. Namun, para penggemar United punya kekhawatiran yang lebih besar. Mereka takut “Virus Ravel” menular pada para calon pemain hebat lainnya; sebut saja, Marcus Rashford.