Jika saja karier Ravel Morrison berjalan dengan baik, bukan tidak mungkin kalau saat ini ia sedang merayakan pesta ulang tahunnya ke-25 yang jatuh pada 2 Februari kemarin dalam status sebagai pemain utama Manchester United. Ravel akan bahu membahu di lini tengah bersama Paul Pogba, melakukan tarian-tarian eksentrik dengan Jesse Lingard, sekaligus membiarkan Nemanja Matic tetap bermain untuk Chelsea.

Akan tetapi, itu semua akan terjadi apabila dirinya benar-benar serius ingin mengembangkan karier di sepakbola. Saat ini Ravel memang masih aktif bermain sepakbola, hanya saja statusnya kini sudah berubah. Jika sebelumnya ia digadang-gadang sebagai lulusan terbaik akademi Setan Merah, saat ini ia bermain sepakbola dengan status sebagai pemain buangan.

Tujuh tahun lalu, tim akademi United meraih gelar FA Youth Cup setelah mengalahkan Sheffield United dengan agregat 6-3. Skuat saat itu diprediksi akan menjadi tulang punggung tim utama untuk masa yang akan datang. Salah satu yang diprediksi saat itu menjadi pemain besar adalah Ravel Morrison. Dia adalah bintang United dalam final tersebut.

Permainannya di lini tengah bahkan membuat nama Paul Pogba saat itu tidak diprediksi akan menjadi pemain besar. Jika Pogba hanya bisa mencetak gol melalui kaki kanan, Ravel bisa melakukannya dengan kedua kaki yang sama baiknya. Ia juga dibekali visi bermain yang luar biasa, kecepatan, serta akurasi umpan yang bagus.

Namun, semua kelebihannya tersebut tidak dimanfaatkan Ravel untuk menjadikan dirinya sebagai pemain hebat. Semuanya tertutupi karena perangainya yang lebih cocok seperti seorang preman alih-alih pesepakbola.

Ia sempat ketahuan mencuri barang-barang rekan setimnya di akademi hanya untuk diberikan kepada teman-temannya. Tidak hanya itu, ia sempat menjadi tertuduh saat Rio Ferdinand kehilangan jam tangannya. Ia bahkan pernah mengancam seorang saksi mata dengan pisau yang menyebutnya terlibat dalam sebuah kasus perampokan.

Masalah-masalah ini yang akhirnya memupus harapan Ravel menjadi pemain Manchester United. Dalam autobiografinya yang berjudul Leading, Fergie menyebut Ravel sebagai pemain yang memiliki bakat alami tapi tidak diimbangi dengan emosional dan mental secara kuat.

“Ravel Morrison adalah kasus pemain yang paling menyedihkan. Dia punya bakat alami tapi dia terus-terusan terkena masalah. Menyakitkan sekali rasanya ketika kami harus menjualnya ke West Ham United pada 2012 karena dirinya bisa menjadi pemain fantastis. Selang beberapa tahun dia tidak mengalami perubahan dalam hal kedewasaan,” ujarnya.

Setelah dilepas ke West Ham, Ravel sebenarnya mendapatkan gaji yang cukup tinggi untuk pemain seusianya yaitu 20 ribu paun per pekan. Akan tetapi, ia jarang mendapat kesempatan main sehingga dipinjamkan ke Birmingham City. Bersama rival Aston Villa tersebut, ia sebenarnya bermain baik dalam 30 pertandingan dan mencetak tiga gol. Namun sikap buruknya membuat manajernya saat itu, Lee Clark lebih memilih mengembalikan Ravel ke West Ham.

Pada termin keduanya bersama The Hammers, ia sebenarnya sanggup mencetak tiga gol dalam 16 pertandingan. Salah satunya bahkan dicetak dengan solo run saat berhadapan dengan Tottenham Hotspur. Sayangnya, permainan Ravel tercoreng ketika dirinya ketahuan sedang merokok dan mabuk-mabukkan sehingga mebuat Sam Allardyce meminjamkannya ke QPR.

Sikap Ravel tetap tidak berubah meski sudah berganti kostum biru putih milik QPR. Ia kembali bermasalah setelah dirinya memposting sebuah foto sambil memegang botol minuman keras. Ia bahkan terlibat kembali dalam kasus hukum setelah terbukti melakukan kekerasan kepada kekasih dan ibu kekasihnya.

Pada 2015, Ravel akhirnya direkrut oleh kesebelasan Italia, Lazio. Sayangnya karir Ravel hanya jalan di tempat. Ia jarang dimainkan dan sempat kembali dipinjamkan ke QPR pada musim 2016/2017. Hingga akhirnya pada awal musim 2017/2018 lalu, Ravel memilih menerima pinangan dari klub peserta liga Meksiko, Club Atlas. Sebuah pilihan yang membuat seorang Paddy Crerand kaget mengingat sebelumnya ia pernah melabeli Ravel sebagai pemain yang talentanya mirip dengan George Best.

“Anak ini seharusnya menjadi bintang. Ia masih muda dan punya cukup banyak waktu, tapi ia juga sudah membuang-buang waktu. Jika seorang Sir Alex Ferguson saja tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya, maka siapa lagi yang bisa?”