foto: theguardian.com

Sejak berusia tujuh tahun, Jack Harrison sudah bergabung dengan akademi Manchester United. Pada 2010, Jack memutuskan untuk pindah ke Amerika Serikat, tepatnya ke Manhattan, untuk melanjutkan pendidikan.

Nama Jack Harrison lantas melesat lima tahun kemudian. Ia menjadi pemuda yang begitu dicari di kompetisi sepakbola Amerika Serikat, Major League Soccer. Kini, ia berkostum biru langit, membesut saudara muda Manchester City: New York City FC.

Jurnalis The Guardian, Jack Williams, menggambarkan dengan baik sosok pemuda kelahiran 20 November 1996 tersebut dalam tulisannya, Jack Harrison: from Manchester United to No1 draft pick and Yankee Stadium. Berikut kami ceritakan ulang untuk Anda.

Pindah ke Amerika Serikat

Sudah menjadi hal yang umum kalau pesepakbola di Inggris mengorbankan pendidikan mereka demi karier sepakbola. Banyak dari pesepakbola yang sehabis lulus dari sekolah menengah, langsung fokus bermain bola dan tak melanjutkan pendidikan.

Namun, hal berbeda dilakukan oleh Harrison. Uniknya, ia tetap memegang teguh falsafah “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”. Harrison pindah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi, sekaligus memperbaiki karier sepakbolanya dengan berlaga di MLS.

Ini tentu berbeda dengan sejumlah pemain seperti Frank Lampard, David Villa, Andrea Pirlo, Steven Gerrard, sampai Ashley Cole, yang menjadikan MLS sebagai kompetisi mereka di hari tua. Mereka pun menggunakan alasan “membantu meningkatkan popularitas sepakbola di Amerika Serikat”. Sementara itu, kepindahan Harrison ke MLS lebih ke persoalan untuk pengembangan diri.

Harrison sudah berada di Manchester selama enam tahun saat usianya menginjak 13 tahun. Ibunya, Debbie, berusaha mencari cara untuk meningkatkan pendidikan anaknya, meski risikonya adalah memupus harapan Harrison di sepakbola.

“Aku ingin menemukan keseimbangan padanya,” ungkap Debbie. “Aku pikir ini adalah ‘perangkap orangtua’ saat anak Anda ke akademi dan memusatkan pikiran serta tenaganya hanya untuk sepakbola, sepakbola, dan sepakbola. Aku pikir, itu bukan hal yang baik.”

Sebagai orang tua tunggal, dengan Harrison sebagai anak tunggal pula, Debbie memutuskan untuk memindahkan Harrison ke Amerika Serikat. Tentu, ini bukannya tanpa alasan. Debbie merasa kalau di Amerika Serikat terdapat sekolah yang bagus dengan pendidikan atlet yang bagus pula.

Harrison tentu menolak gagasan ini. Namun, Debby mulai meyakinkannya dengan menunjukkan foto tim akademi United dan menunjuk sedikit pemain yang berhasil tembus ke tim utama. Debby menjabarkan kalau prospek di sepakbola, khususnya lulusan tim akademi, tidaklah besar.

“Aku katakan padanya: ‘Kamu mengenal dia?’ ‘Kamu mengenal yang ini?’ ‘Kamu tahu orang ini?” jelas Debbie sembari menunjuk satu persatu wajah pemain akademi. “Dia lalu berkata, ‘tidak’. Dan aku katakan, ‘Apa yang bisa kita lakukan adalah: kamu mendapatkan tempat terbaik di sini [di AS], dankalau Anda menjadi pemain profesional, itu bonuskan?”

Harrison pun setuju. Ia mulai belajar agar bisa diterima sekolah di Amerika Serikat. Setelah melalui ujian di London, Harrison akhirnya diterima di Berkshire School, sekolah swasta yang merupkan bagian dari sekolah asrama di Sheffield, Massachusetts.

Harrison masih belum yakin penuh atas jalan yang ia pilih. Debbie pun membuat perjanjian dengannya bahwa kalau Harrison tidak menyukai apa kondisi di AS, keduanya bisa memcari jalan lain.

“Soccer lebih baik dari apa yang aku pikirkan,” kata Harrison. “Di waktu yang sama, aku pun dikelilingi oleh orang-orang hebat; masyarakatnya hebat, fasilitasnya pun terbaik.”

Soal sekolah, Harrison pun begitu menikmatinya. Ia bersekolah dengan murid hanya 12 orang satu kelas. Sementara itu, ia tetap bermain bola beberapa hari dalam sepekan.

Harrison pun memuji sistem pendidikan di Amerika Serikat. Harrison bergurau kalau di Inggris, ia masih bisa berkelit saat tak mengerjakan pekerjaan rumah karena capek berlatih di United. Namun, di AS, tidak ada alasan untuk tidak mengerjakan PR hanya karena berlatih sepakbola dan les tambahan.

Berlatih di Berkshire

foto: theguardian.com
foto: theguardian.com

Selama bersekolah di AS, Harrison sudah mendapatkan perhatian dari para pelatih di Berkshire. Bakat sepakbolanya mulai terlihat meski awalnya sang pelatih agak kurang yakin karena tubuhnya yang tak begitu tinggi.

Di Berkshire, Harrison mencatatkan 24 gol dan 33 asis. Capaian ini membawanya menyabet penghargaan “2015 Gatorade National Boys’ Soccer Player of the Year” dan “Gatorade Massachusetts Soccer Player of the Year”.

Ray Selvadurai, Kepala Pelatih di Manhattan Soccer Club, mengingat bahwa saat masih berusia 15 tahun, Harrison sudah bermain untuk tim U-20 dan mencetak empat gol. Di turnamen lain, Harrison pun didapuk menjadi pemain terbaik.

“Hal terbaik dari dirinya adalah kerendahhatiannya,” ucap Selvadurai. “Aku menyebutnya sebagai si ‘yes guy’. ‘Jack, bisakah kamu membawa cone?’ ‘Jack, bisakah kau membawakan bola?”

Setelah lulus SMA, Harrison diterima di Wake Forest University di North Carolina. Di sana ia tetap bermain bola dan mendapatkan banyak perhatian, terutama dari pemandu bakat.

“Pemandu bakat profesional telah memerhatikannya selama setahun. Aku harap dia tidak pergi,” kata pelatih Harrison di WFU, Bobby Muuss.

Muuss tidak bermaksud untuk menghalangi karier Harrison, tetapi ia merasa kalau dengan pindah ke tim profesional, hal itu bisa menahan perkembangannya sebagai pemain. “Aku pikir, Jack adalah pemain muda yang amat bagus, dia lebih dewasa dari umurnya karena dia punya pengalaman,” ucap Muuss.

Menjadi Profesional dan Pilihan Inggris atau Amerika

Pada Januari 2016, Harrison dipilih Chicago Fire sebagai pilihan no1 di MLS draft. Tak lama, ia ditukar ke New York City FC, yang memang sudah memantau Harrison sejak lama.

“Aku senang pergi ke mana saja. Namun, aku amat bahagia karena New York mendapatkanku. Amat menyenangkan bisa kembali ke sini,” tutur Harrison.

Di NYCFC, banyak hal yang menurut Harrison amat membantunya. Misalnya saja Frank Lampard yang membantunya saat rehabilitasi usai cedera. Lalu ada Patrick Vieira, sang manajer, yang selalu berusaha melindungi Harrison dari sorotan media.

Harrison diplot sebagai winger kanan. Ia biasa memotong ke dalam (cutting inside) dengan kaki kirinya. Hingga Agustus, Harrison telah bermain sebanyak 13 kali untuk NYCFC dengan mencetak tiga gol, tiga asis, dan masuk ke dalam MLS Team of the Week sebanyak dua kali, serta Player of the Week sekali.

“Saat dia memiliki bola di kakinya, Anda akan mendapatkan sensasi kalau sesuatu tengah terjadi. Sejumlah pemain memberikan Anda perasaan seperti itu, dan dia pun memilikinya. Dia masih 19 tahun, dan belum terlalu lama sebagai pemain profesional,” ungkap David Villa.

Sejumlah capaian serta potensi Harrison membuatnya mungkin saja mendapatkan tawaran dari timnas Inggris ataupun Amerika Serikat. Soal ini, Harrison jelas memilih Inggris sebagai pilihan utama.

“Aku tak ingin memikirkan terlalu keras. Jelas, akan sangat hebat kalau aku bisa mewakili negaraku, Inggris. Namun, kalau tidak di sana, aku pun akan bahagia untuk mewakili Amerika dan aku terbuka untuk itu. Seperti yang aku bilang sebelumnya: Aku akan fokus pada momen dan melakukan apa yang aku bisa selama aku di sini,” jelas Harrison.

***

Semua orang Inggris mungkin merasa kalau Stadion Wembley merupakan lambang supremasi kejayaan sepakbola Inggris. Namun, Stadion Old Trafford tak kalah mengesankannya. Di sana, mimpi indah dan mimpi buruk bagi lawan United berkecamuk menjadi satu. Harrison, adalah pesepakbola yang pernah menjamah Old Trafford meski bukan sebagai pemain tim utama.

Kini, lebih dari 10 tahun kemudian, Harrison bermain di stadion lambang supremasi bisbol Amerika Serikat, Stadion Yankee, meski Harrison sendiri belum tahu apa signifikansinya main di sana.

“Ini gila,” ucap Harrison, “Aku masih belum mengerti signifikansinya seperti yang orang Amerika pikirkan dengan berada di Stadion Yankee. Namun, ini adalah tempat yang hebat untuk bermain. Lihatlah, stadion ini fantastis.”

Barangkali yang ada di pikiran Harrison bukan soal Stadion Yankee, melainkan ibunya yang enggan duduk di boks khusus keluarga. Debby pindah pada pertengahan pertandingan ke belakang gawang. Di sana, Debby berdiri, berfoto dengan penggemar, mengobrol, dan menggunakan badge suporter NYCFC, the Third Rail.

“Dia memainkan drum dan segalanya,” kata Harrison sembari tertawa. “Dia senang menjadi bagian dari itu. Anda tak akan mendapatkan banyak orang tua seperti itu, tapi dia melakukannya. Aku sangat senang dengan kehadiran dia dengan segala kesempatan yang telah ia berikan untukku. Aku sungguh berseyukur.”

Harrison, lantas, kapan Anda kembali ke Teater Impian? Setelah wisuda?