Foto: Football365.com

Dalam ranah yang sempit, membahas Class of ’92 tidak akan jauh dari nama-nama seperti David Beckham, Paul Scholes, Neville Bersaudara, Nicky Butt, dan Ryan Giggs. Akan tetapi khazanah secara luas mengenai Class of 92 tidak selalu tentang enam pemain itu saja. Ada beberapa pemain jebolan Class of 92 yang menjadi legenda meski tidak bersama United. Sebut saja Robby Savage yang bersinar di Blackburn Rovers. Atau Keith Gillespie yang menjadi legenda di dua United yaitu Newcastle dan Sheffield.

Membahas Class of ’92 juga tidak selalu soal kesuksesan. Ada beberapa pemain yang tidak bisa mewujudkan mimpinya meski tergabung bersama generasi emas tersebut. Salah satu yang merasakan kegagalan tersebut adalah Ben Thornley.

Thornley sebenarnya tidak sendirian. Ada beberapa nama yang juga tidak bisa menggapai impiannya untuk masuk tim utama seperti John O’Kane, George Switzer, dan Colin McKee. Namun yang membuat Thornley patut kecewa adalah karena dirinya sudah dipersiapkan sebagai pemain utana klub oleh Sir Alex Ferguson.

Legenda United sekaligus staf pelatih kesebelasan Junior United, Nobby Stiles, menyebut kalau Thornley adalah pemain terbaik di tim junior mereka saat itu. Thornley dinilai memiliki kemampuan yang setara dengan George Best dan setingkat lebih baik ketimbang Ryan Giggs. Segala penilaian ini menandakan betapa hebatnya Thornley saat itu.

Tidak hanya Stiles, beberapa rekannya saat itu merasa kalau Thornley jauh lebih baik dibanding mereka. Kata Beckham, Ben adalah salah satu yang terbaik di Inggris. Sedangkan Scholes berucap kalau Thornley adalah pemain paling menonjol dalam skuad United saat itu.

Semasa di tim junior, Thornley bersama-sama dengan Ryan Giggs bahu membahu memperkuat serangan dari sisi sayap. Thornley menyisir di sisi kanan, sementara Giggs di sisi kiri. Giggs lebih dahulu mencicipi tim utama, sementara Thornley baru dijadikan pelapis dari Lee Sharpe yang saat itu sering konflik dengan Ferguson karena kegemarannya berpesta.

Thornley menjalani debut pertamanya bersama United di laga Premier League melawan West Ham pada Februari 1994. Penampilannya cukup lumayan menurut pandangan mata Ferguson. Puas dengan penampilan Thornley, Fergie berniat untuk menjadikannya starter di laga semifinal Piala FA melawan Oldham Athletic. Namun sebelum menghadapi laga krusial tersebut, Fergie meminta Thornley untuk bermain di laga Reserves menghadapi Blackburn Rovers beberapa hari sebelumnya.

Foto: Football365.com

Akan tetapi, laga ini menjadi awal dari kehancuran karier United seorang Thornley. Lutut Thornley diterjang oleh Nicky Marker yang saat itu adalah pemain senior Rovers. Tekel keras dari Marker mengakibatkan ligamen kolateral serta ligamen cruciatum yang ada di lutut Thornley pecah. Tidak hanya itu, hamstringnya pun sobek di beberapa tempat.

Ferguson yang kebetulan hadir di laga tersebut marah besar. Marker menghancurkan mimpi salah satu pemain terbaiknya. Di sisi lain, Rob Swire selaku fisioterapis United saat itu menyebut kalau cedera Thornley adalah yang terburuk yang pernah ia lihat sepanjang kariernya.

Pihak United kemudian melayangkan gugatan kepada Marker. Karena Marker, Thornley tidak bisa melanjutkan masa depannya di Setan Merah. Gugatan tersebut diterima sehingga Marker harus membayar jutaan paun kepada Thornley

Setelah menjalani beberapa operasi, Thornley hanya sanggup bermain dalam 13 pertandingan pada rentang 1995 hingga 1998. Penampilannya sudah jauh berubah jika dibandingkan saat ia membawa tim junior United memenangi FA Youth Cup 1990. “Kecepatannya sudah hilang,” tutur Gary Neville.

Pada 1998, United resmi melepas Thornley ke Huddersfield Town. Tiga tahun berselang, ia memperkuat Aberdeen. Di kedua kesebelasan tersebut, Thornley mengumpulkan lebih dari 100 pertandingan. Akan tetapi selama bermain di kedua klub tersebut, Thornley masih merasa kecewa karena gagal memperkuat United.

Rasa depresi tersebut membuat Thornley terjebak dalam kehidupan malam. Ia rutin mengunjungi beberapa bar hanya untuk menenggak minuman keras sebagai bentuk penyucian diri dari rasa frustrasi. Stres semakin mengekang Thornley ketika mengetahui kalau istrinya memilih untuk meninggalkannya.

“Saya sangat frustrasi. Jika Anda berada dalam situasi yang saya rasakan maka Anda pasti akan mencari katup untuk melepas frustrasi itu. Saya pergi dari satu bar ke bar lain, saya pacaran dengan satu wanita ke wanita lain, tidak tidur, tidak makan, hanya minum, minum, dan minum.”

Butuh waktu sembilan bulan bagi Thornley agar bisa berdamai dengan takdir ilahi. Salah satu temannya berkata kalau Thornley terus menerus seperti ini maka dia kemungkinan besar akan bunuh diri. Mendengar perkataan itu, Thornley akhirnya berhenti dari rutinitas yang tidak sehat tersebut.

Pulih dari rasa depresi, Thornley kemudian mencicipi beberapa pekerjaan seperti sopir hingga menjadi manajer restoran. Dan di saat ia menjalani pekerjaan tersebut, Giggs, Scholes, dan Neville memberikan beberapa gelar bagi United. Thornley pun bangga dengan apa yang diraih oleh teman-temannya tersebut.

“Saya tidak cemburu dengan mereka. Saya justru bangga dengan apa yang mereka capai. Saya tidak tahu apakah saya bisa melakukan seperti yang mereka lakukan tapi saya pasti bisa seandainya ada kesempatan.”

Manchester United juga tidak kehilangan perhatian kepada Thornley. Dalam beberapa kesempatan, MUTV kerap mengundangnya sebagai tamu untuk berbincang-bincang mengenai Setan Merah. Ia juga mendapat jabatan di salah satu hotel yang berada di sekitar Old Trafford.

Thornley mungkin gagal bersinar bersama United. Namun setidaknya ada sekelumit cerita yang bisa dibanggakan kepada anak dan cucunya kelak. Thornley akan selalu masuk dalam buku sejarah sebagai anggota Class of ’92 yang memenangi FA Youth Cup 1990 meski kenyataannya dia tidak bisa sesukses rekannya yang lain.

Sumber: Guardian, Sky Sports