Foto: Wales Online

Meski telah kembali ke Wales, ternyata pengalaman di Manchester United masih sedikit menempel pada jejak kehidupan Rhodri Jones. Ya, Setan Merah ternyata masih menjadi bayangan dalam benaknya. Hanya saja masalahnya, hal ini justru tetap memberikan output yang sama, yaitu penderitaan. Secara singkat, United muncul di kehidupan Jones hanya dalam situasi yang tragis.

Jones mengungkapkan bahwa ada seseorang rekan di United bernama Jimmy Davis, yang dianggapnya sebagai striker yang sangat berbakat. Ia menceritakan kalau Davis adalah seorang yang sangat dekat dengannya, dan ia bercita-cita bisa menjadi sedikit sepertinya dalam konteks mendapatkan nasib baik.

“Ada seorang pria yang sekaligus rekan saya di United bernama Jimmy Davis. Dia merupakan striker yang sangat berbakat. Kami berhasil melakukan sesuatu yang sangat baik. Ya, dia sangat dekat dengan saya, dan dia sama bodohnya dengan saya. Dia tidak terlalu banyak berpikir, dan saya pikir dia mungkin ingin menjadi sedikit lebih seperti saya. Dan di satu sisi saya berharap saya bisa menjadi sedikit lebih seperti dia dalam meraih nasib baik,” ujar Rhodri Jones dilansir dari Wales Online.

Namun, pada malam 9 Agustus 2003, Davis wafat dalam sebuah kecelakaan mobil setelah kendaraannya bertabrakan dengan sebuah truk di jalan Fold atau kawasan M40 di kota Manchester. Kemudian, muncul kabar bahwa Davis kecelakaan karena telah dua kali melampaui batas dalam meminum alkohol sambil berkendara. Sangat disayangkan sekali, karena saat itu Davis baru berusia 21 tahun.

“Saya terkejut dia wafat. Pada pemakamannya, semua pemain United ada di sana. David Beckham, yang pindah ke Real Madrid pada saat itu, bahkan telah terbang kembali dan menghadiri pemakamannya. Ketika saya mengalami saat-saat sulit, saya selalu berusaha mengingat-ingat Jimmy,” kenang Jones.

Manchester United sendiri memberikan penghormatan kepada Jimmy Davis dengan mengenakan kemeja yang bertuliskan namanya ketika mereka mengangkat Piala FA pada tahun 2004. Selain itu, tampaknya insiden tragis ini membawa banyak hal ke dalam perspektif Rhodri Jones, yang juga terpaksa harus pensiun dari sepakbola pada 2004 untuk suatu kebaikan yang ia raih dalam dua tahun setelahnya.

Sejak saat itu, ia bekerja di media, dan bekerja sebagai produser untuk acara di stasiun televisi S4C. Setelah sebelumnya, ia pernah bekerja di ITV, dan menjadi peneliti untuk BBC. Namun kendari demikian, ia mengakui bahwa menggantung sepatu untuk selamanya menjadikan kehidupannya berubah menjadi sebuah tantangan yang sulit.

“Sayangnya bagi saya, lutut saya masih sering kambuh. Secara mental saya tidak lagi berada di tempat yang buruk itu, tetapi lutut saya terus memburuk. Hal ini memuncak ketika saya pergi menemui konsultan, yang pada dasarnya mengatakan kepada saya bahwa saya memiliki lutut yang berusia 50 tahun. Saya telah membungkus begitu banyak identitas saya di sepakbola sehingga saya pikir saya tidak berguna. Saya lebih memilih keluar dan pensiun,” tandas Jones.

“Saya pernah bermain penuh waktu pada usia 16 tahun, tapi 24 jam setelahnya, saya diberitahu bahwa saya tidak akan dimainkan lagi sama sekali. Saya tidak pernah membayangkan itu. Sejak itu saya menjalani kehidupan yang fungsional. Saya masih memiliki dorongan untuk sukses dan itu membantu saya mengembangkan karier di media sebagai direktur televise.”

“Tapi, justru itu masalahnya. Saya selalu menderita depresi dengan intensitas yang tinggi. Jadi, ini agak sulit. Tidak ada yang benar-benar memperhatikan dan mengatakan saya perlu melakukan sesuatu tentang hal itu. Saya menarik diri dari tempat tidur. Tapi saya tidak pernah terlambat untuk melakukan apa pun. Saya menutup diri. Jadi saya seperti memakai topeng setiap hari. Lalu ketika saya sendirian, topeng itu hancur.”

Foto: Wales Online

Pada kenyataannya, tidak semua orang yang menderita masalah kesehatan mental akan memiliki pengalaman yang sama. Namun, Jones –yang memiliki pengalaman pedih soal kesehatan mental karena sepakbola– tetap merasa berkewajiban untuk membantu mengubah perjuangannya menjadi sesuatu yang positif.

Saat ini, ia menjadi juara untuk kampanye Time to Change Wales, sebuah kampanye yang bertujuan untuk mengakhiri stigma seputar masalah kesehatan mental. Selain itu, ia juga masih mencintai sepakbola dan ingin memulai bisnis di sana. Ya walaupun memberi dampak pelik yang signifikan dalam kehidupannya, tapi jelas sekali bahwa sampai sekarang sepakbola masih dianggap Jones sebagai suatu solusi bagi aktivitasnya.

“Hal termudah yang bisa Anda lakukan adalah tidak melakukan apa-apa. Tapi saya hanya berpikir, ‘Saya menderita dan semua orang harus berbaring di tempat tidur mereka sendiri, dan hidup dengan kesalahan yang sama seperti yang saya lakukan’. Saya pikir kadang-kadang kita memiliki kesalahpahaman bahwa Anda sakit atau tidak sakit. Tapi itu sebenarnya sebuah spektrum yang harus dibenahi,” tegas pria berusia 38 tahun itu.

“Jadi, bagi saya, pertanyaannya selalu adalah, ‘apa yang dilakukan seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya?’ Kita semua hidup dalam budaya di mana kita senang menjaga sisi eksternal dari distorsi kehidupan. Kita semua akan melakukan diet terbaru atau berolahraga di gym. Hal-hal seperti tidur yang cukup, bermeditasi, atau bekerja teratur, itu semua tidak diajarkan di sekolah. Banyak hal yang justru saya pelajari sendiri melalui kursus dan online.”

“Ketika saya berjuang melawan depresi, sumber daya di lapangan sangat tipis. Tapi sekarang semua orang bisa memiliki podcast, termasuk saya. Bahkan saya memiliki situs web untuk mereka yang sakit mental atau depresi. Ini keputusan yang terlihat bodoh ketika saya meninggalkan sepakbola. Tapi saya yakin kebodohan saya ini bisa membuat orang lain bisa hidup tenang. Saya berpendapat bahwa hadiah terbesar yang bisa Anda berikan untuk Anda dan anak-anak Anda adalah menjadi orang terbaik dari diri Anda sendiri.”

 

Catatan redaksi: kutipan dilansir dari Wales Online