Di Indonesia, terkadang kita dapat menemukan politikus yang berasal dari dunia selain politik, dunia hiburan misalnya. Nama-nama seperti Eko Patrio atau Dedi Mizwar adalah contohnya. Bagi Sir Alex Ferguson, politik juga menjadi salah satu hal yang ia dalami. Namun hal tersebut tak membuatnya meninggalkan sepakbola. Sikap politik yang ia tunjukan juga memiliki latar belakang yang kuat.

Ferguson tumbuh sebagai buruh. Ia pernah bekerja di sebuah galangan yang berada di Govan, daerah kecil di Skotlandia. Sehingga tidak aneh jika kita melihat sikap politiknya adalah mendukung Partai Buruh di Inggris. Karena menurutnya Partai Buruh benar-benar mengayomi masyarakat kalangan pekerja sepertinya. Setelah menjadi manajer United, Ferguson tetap mendukung Partai Buruh, bahkan menjadi donator. Ia juga bersahabat dengan beberapa tokoh besar di Partai Buruh.

Jika dalam sepakbola kita bisa melihat kepintarannya dalam memenangi pertandingan, dalam dunia politik juga Ferguson bukan orang sembarangan. Ia dipandang sebagai orang yang memiliki pemikiran bagus. Bahkan istrinya, Cathy, mengatakan bahwa jika Ferguson masuk dunia politik, maka orang-orang politik akan selalu menginginkan kehadirannya. Tapi Ferguson memang membatasi hal tersebut. Ia tak lebih hanya sebagai pencoblos kertas suara dan memberi dukungan secara visual.

Salah satu bukti pemikiran politiknya tak dapat dianggap remeh adalah kala ia beberapa kali memberi saran kepada perdana menteri Inggris pada masa itu, Tony Blair. Awalnya Ferguson mengenal Jim Rodger, mantan pesepakbola Skotlandia yang kenal beberapa perdana menteri dari Partai Buruh. Dari Rodger, Ferguson kemudian mengenal Alastair Campbell, seorang jurnalis yang kerap terlibat dalam dunia politik.

Alasatair kemudian diangkat menjadi sekertaris Tony dan mereka sempat makan malam bersama di Manchester, seminggu sebelum pemilu 1997. Mereka kemudian saling kenal dan memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Tony juga pernah menanyakan Ferguson terkait keputusannya untuk memecat Gordon Brown yang menjadi chancellor di Inggris saat itu.

Selain politik Inggris, Ferguson juga tertarik dengan politik Amerka. Pembunuhan presiden John F. Kennedy yang menghebohkan dunia itu membuat Ferguson tertarik untuk membicarakannya. Bahkan, pada hari pembunhan Kennedy, Ferguson seharusnya pergi untuk berdansa bersama teman-temannya. Namun setelah mendengar berita tersebut, Ferguson dan teman-temannya justru membicarakan pembunuhan itu.

Kennedy memang menjadi sosok yang ia idolai. Menurutnya, Kennedy adalah sosok yang menyala-nyala, segar, dan dinamis. Ferguson tahu betul tiga tahun masa kepresidenan Kennedy, mulai dari invasi Teluk Babi, diskriminasi ras, Perang Dingin, Vietnam, dan krisis Kuba. Sehingga wajar jika Ferguson sangat tertarik untuk mengikuti perkembangan berita pembunuhannya. Ferguson bahkan sampai mengumpulkan buku-buku tentang pembunuhan Kennedy.

Pada suatu ketika, Ferguson sempat diundang oleh seorang pria bernama Brian Cartmel menjadi pembicara dalam acara makan malam di Stoke. Setelah mengobrol dengan Brian, Ferguson mendapati bahwa Brian pernah menjadi wartawan dan berada di mobil ke-15 pada rombongan Kennedy saat itu.

Brian kemudian mengirimi laporan otopsi Kennedy. Selain mendapatkannya dari Brian, Ferguson juga berusaha mencari bukti-bukti untuk terus memperdalam kasus tersebut. Ia bahkan sampai membeli foto di tempat pelelangan. Foto-foto tersebut sempat ia simpan di tempat latihan United.

Selain kasus Kennedy, Ferguson juga tertarik dengan Perang Saudara Amerika. Semua bermula ketika ia membeli buku tentang para jenderal yang terlibat dalam konflik tersebut. Ia kemudian mendapat rekaman dari berbagai kenalannya untuk terus menambah pengetahuannya tentang perang saudara. Bahkan, Ferguson pernah makan siang bersama James M.McPherson, seorang ahli sejarah perang saudara Amerika.

Semua yang ia lakukan itu hanya sekedar hobi. Ferguson juga manusia biasa. Ia bisa bosan atau jenuh dengan hal yang tiap hari ia pikirkan. Namun Ferguson masih memiliki batasan tentunya dan tidak benar-benar terjun ke dunia politik. Lagipula, tidak terbayang pasti bagaimana Ferguson duduk di kursi besar dalam rapat pleno pemerintah.

Editor: Frasetya Vady Aditya