“Phil saya mau kamu lari ke atas gunung, lalu balik lagi dan tebang pohon itu.”

“Siap bos, mana gergajinya?”

Begitulah analogi Sir Alex Ferguson untuk Phil Neville. Dalam buku otobiografinya, Ferguson menceritakan bahwa Phil adalah sosok yang disiplin dan mau berbuat apapun demi tim. Dia hanya berpikir mengenai tim. Jika Phil harus berperan sedikit bagi kesuksesan tim, maka ia akan mencari cara untuk tetap bahagia.

Phil mengawali karir seabgai pemain senior Manchester United pada musim 1994/1995. Namun Phil baru tampil dalam jumlah pertandingan yang banyak semusim setelahnya. Meski begitu, ia hanya dipercaya sebagai bek kiri pelapis Denis Irwin. Hingga musim 2004/2005 berakhir, Phil hanya dua kali mencatatkan 30 atau lebih penampilan semusim dalam ajang Premier League.

Phil Neville sendiri bukan orang yang blakblakan seperti kakanya, Gary. Bahkan ketika Phil mulai tidak betah di Old Trafford pun Gary yang memulai pembicaraan dengan Ferguson. Gary datang ke Ferguson dan menanyakan tentang berkurangnya peran Phil.

“Saya tidak tahu harus berbuat apa, dia anak yang hebat,” jawab Ferguson.

“Itu masalahnya. Dia tidak mau bicara langsung dengan Anda,” kata Gary.

Ferguson pun mengundang Phil kerumahnya untuk membicarakan masa depannya. Kala itu, Phil datang dengan istrinya yang bernama Julie. Namun Julie tidak ingin masuk rumah Ferguson, bahkan Ferguson semula tidak mengetahui kedatangan Julie. Akhirnya Ferguson menyuruh istrinya, Cathy untuk mengajak Julie masuk ke rumah.

Julie menangis. “Kami tidak mau pergi dari Manchester United. Kami suka klub ini,” ujar Julie.

Cathy kemudian berusaha menenangkannya dengan menyuguhkan secangkir teh. Ferugson sendiri merasa Julie khawatir tidak bisa menahan dirinya dan membuat suaminya malu.

Ferguson akhirnya berbicara dengan Phil. Pria asal Skotlandia itu merasa ia telah merugikan Phil dengan cara ia memainkan Phil. Phil Neville setuju dan memutuskan untuk pindah dari klub yang membesarkan namanya itu. Soal Julie, Ferguson tidak ikut campur. Ferguson membiarkan Phil untuk mencari jalan bagaimana cara menyampaikan itu ke Julie.

Setelah Phil dan Julie pulang, Cathy bertanya kepada Ferguson tentang keputusan itu. “Ini demi kebaikan dia sendiri. Apa kamu tidak mengerti? Buat saya ini lebih sakit dibanding yang dia rasakan,” jawab Ferguson.

Sama seperti Nicky Butt, Phil memang tidak memiliki menit bermain yang banyak. Meski sebeneranya keduanya umum diketahui sebagai pemain yang loyal kepada klub. Namun tetap saja kurangnya menit bermain bukanlah hal yang mudah untuk dihadapi. Terlebih mereka masih berusia muda saat itu.

Meski begitu, pengaruh para pemain Class of 92 tak dapat disepelekan. Mereka adalah alasan mengapa Ferguson terpuruk di awal karirnya di Manchester. Ia memfokuskan diri pada pengembangan pemain muda yang kemudian banyak dikritik. Ketika pemain-pemain itu sudah masuk tim senior pun Ferguson masih dikritik. Seorang komentator bernama Alan Hansen pernah mengatakan ‘Anda tak akan memangangkan apa pun dengan anak-anak’.

Tapi jika melihat kejayaan klub selama masa bakti Fergsuon, semua keterpurukan itu jelas terbayar lunas. Peran pemain-pemain yang diorbitkan Ferguson tak dapat dipungkiri, yang paling berpengaruh tentu saja Class of 92.

“Bagi kebanyakan mereka, bisa berkumpul dan sukses di level tertinggi merupakan penghargaan besar untuk talenta mereka dan juga kepercayaan klub ini pada kekuatan akademi. Saya yakin jika tak ada kumpulan pemain yang akan membuat pengaruh begitu besar dalam sepak bola Inggris sebagaimana telah dilakukan oleh mereka, dan itu masih terus berlanjut,” tuturnya.