foto: huffpost.com

Jaap Stam menyatakan bahwa tidak semua orang yang pandai bicara, pandai memotivasi, mampu menjadi manajer sebuah kesebelasan. Tidak serta merta seseorang yang dihormati di ruang ganti akan membawa kesuksesan.

Sir Alex adalah tipe orang yang memiliki semua hal yang diucapkan Jaap Stam. Ia adalah jenis pelatih yang punya kekuatan pada rongga mulutnya. Ia bisa memberikan motivasi, tekanan, meneriaki pemain, sampai “menambah” waktu injury time.

Dengan apa yang telah dicapai Sir Alex hingga saat ini, membuatnya menjadi seseorang yang absolut: pandai bicara dan berprestasi. Namun, klaim ini dibantah oleh Mike Phelan. Benar, kalau Sir Alex adalah seseorang yang jago berbahasa, tapi soal prestasi, media dan para penggemar agaknya salah mengartikan.

Orang Kepercayaan Fergie

foto: zimbio.com
foto: zimbio.com

Mike tahu benar bagaimana sosok seorang Alex Ferguson. Saat ia pindah ke Manchester United pada 1989, Sir Alex sudah melatih di sana. Pada musim tersebut, bersama dengan Steve Bruce, Mike memberikan kontribusi besar dengan meraih trofi pertama buat Sir Alex di Manchester. United kala itu meraih trofi Piala FA 1989/1990.

Namun, karier sepakbola Mike di United tidak bertahan lama karena para pemain muda mulai bersinar seperti Andrei Kanchelskis, Paul Ince, Ryan Giggs, dan Lee Sharpe. Pada musim 1994/1995, ia pun pindah ke West Bromwich Albion , dan gantung sepatu di sana.

Setelah pensiun, ia langsung kembali ke Norwich City, kesebelasan yang ia bela sebelum hijrah ke United, sebagai asisten manajer. Setahun berselang, ia pindah ke Blackpool, mengikuti sang manajer yang dipecat, Gary Megson. Ia pun kembali mengikuti Megson saat dipecat Blackpool dan hijrah ke Stockport County.

Pada 1999, Megson kembali dipecat. Namun, ia tak mengikuti jejak Megson yang melatih Stoke City, melainkan mempertimbangkan pekerjaan sebagai pelatih tim akademi Manchester United. Kariernya kian menanjak setelah Steve McClaren, yang menjabat sebagai pelatih tim utama, pindah ke Middlesbrough pada 2001. Mike pun dipromosikan. Sejak 2008, wajah Mike selalu tampil di televisi dengan duduk di sebelah Fergie.

Sang Pembisik

foto: metro.co.uk
foto: metro.co.uk

Sejak musim 2008 hingga 2013, United memiliki capaian yang luar biasa: tiga gelar Premier League, dua gelar Piala Liga, serta tiga gelar Community Shield. United sempat dua kali ke final Liga Champions pada 2008/2009 dan 2010/2011, tapi akhirnya kandas.

Mike mengklaim capaian tersebut terjadi karena kehadiran orang-orang di balik layar yang sebenarnya tak tersorot lampu media. Ia pun menyesalkan David Moyes yang dianggapnya kolot karena lebih memilih membawa staf kepercayaannya, ketimbang mempertahankan yang sudah ada. Padahal, staf kepelatihan di United hampir jarang berubah dalam waktu yang lama.

“[Ferguson] adalah kepala pendiri, tidak ada keraguan tentang itu. Dia tidak akan mencapai titik ini tanpa pembuat keputusan. Namun, dia akan mengakui kalau ada banyak orang yang ambil bagian dalam hal itu,” kata Mike pada 2013 silam.

Mike pun menganggap kalau dirinya adalah bagian dari “orang-orang yang tertutupi”. Namun, ia tetap menaruh rasa hormat. “Kami bukan wajah dari atas apa yang terjadi, tapi itulah tugas kami,” ungkap Mike.

Mike pun menjabarkan kalau salah satu tugasnya adalah untuk menahan Fergie dari sejumlah keputusan aneh. Soalnya, kepada Daily Mirror, Mike mengungkapkan kalau Fergie kadang membuat keputusan penting dengan hanya melemparkan koin. Mike pun menuturkan kalau beberapa keputusan Fergie kerap terasa aneh.

“Aku mesti memandu beliau melewatinya dan aku bisa melakukan itu. Itu adalah hal tersulit bagi seorang manajer untuk mengatakan kepada seorang pemain bahwa mereka tak akan bermain, (padahal) ia sudah berlatih dengan keras.

Bos akan melemparkan koin dalam situasi seperti itu. Manajer yang hebat mesti membuat keputusan yang besar dan selama lebih dari 20 tahun ia lebih banyak membuat keputusan yang benar ketimbang yang salah,” kata Mike.

Punya Kualitas Seperti United

foto: huffpost.com
foto: huffpost.com

Selepas melatih United, sejatinya Mike ingin peran baru sebagai manajer. Hal tersebut sempat ia rasakan di Norwich dan kini di Hull meski sebagai caretaker. Soal ini, Mike bukannya terlalu percaya diri, tapi ia memang sudah punya bukti dan pengalaman.

“[Aku pernah menjadi pembuat keputusan] sehingga saya mampu untuk mengatasi itu. Kini, kalau ada kesempatan menjadi bos, aku akan mencoba mempelajarinya.

Dalam kasusku, aku sudah bekerja dalam waktu yang lama di satu tempat. Aku tak bilang kalau aku terinstitusionalisasi di Manchester United. Namun, kualitasku memang ada di Manchester United,” kata Mike.

Menurut Mike, banyak orang yang mengenalnya sebagai asisten United. Namun, tidak banyak yang mengenal atas apa yang ia lakukan dan ia berikan.

Soal pekerjaan, Mike tidak peduli apakah ia akan bekerja di luar negeri, atau di bawah Divisi Championship sekalipun. “Aku sudah ada di sepakbolasejak lama jadiaku tahu bagaimana membuat diriku nyaman di manapun,” ujar Mike.

Alasan untuk Menang dari United

Sabtu (27/8) malam nanti, Mike akan bertemu dengan kesebelasan yang pernah ia bela dan pernah ia latih. Namun, segalanya memang telah berubah banyak meski ke arah yang lebih negatif utamanya dalam tiga musim terakhir.

Mike saat ini berstatus sebagai caretaker setelah Steve Bruce memutuskan untuk pergi. Sejatinya, Mike dan Steve punya hubungan yang kuat di mana Mike pindah ke United pada 1989 tak lain karena kepindahan Steve pada 1986.

Namun, saat ini, Mike tak akan pergi. Ia akan memaksimalkan kepergian Steve dengan menunjukkan kemampuannya sebagai manajer. Padahal, ia selalu pergi saat manajer juga pergi.

Mike punya kualitas seperti United dan itu ia tunjukkan dalam dua pertandingan terakhirnya di Premier League yang kesemuanya meraih kemenangan; termasuk menang 2-1 dari Leicester City di partai pembuka.

“Pernah begitu sukses di Old Trafford dan dengan enak melaluinya sebagai pemain, pelatih, dan asisten manajer di United adalah hal buruk saat tahu Anda harus bertanding melawan mereka. Meskipun status saya sebagai caretaker, tapi ini adalah sesuatu yang spesial,” kata Mike dikutip dari Manchester Evening News.

Meskipun demikian, Mike merasa tidak ada hal yang mesti dibuktikan kepada United. Pasalnya, semua bagian dalam hidupnya adalah bagiandari sejarah klub itu juga.

“Aku tak akan melakukannya hanya untuk mendapatkan kredibilitas. Aku telah melakukan tugasku di United dan melakukannya dengan baik. Namun, aku mungkin mampu mengalahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan di Hull! Itu adalah satu-satunya alasanku untuk menang,” kata Mike.

United di Tangan Mou

Mike sempat merasa tak baik soal masadepan United utamanya setelah melihat tiga musim terakhir. Tapi, ia melihat masih ada secercah harapan.

“Ada sedikit arah saat ini dan ada atmosfer yang lebih tenteram. Mereka berinvestasi begitu masif selama periode tiga tahun terakhir dan pada satu titik, Anda akan berpikir mereka akan berada di jalur yang benar,” ucap Mike.

Pelatih yang berposisi sebagai bek kanan ini merasa kalau selalu ada tekanan yang menaungi United. Anehnya, hal ini yang jadi alasan banyak orang mengapa ingin bekerja di United.

“Ini memang masih terlalu awal, tapi United mulai kelihatan lebih baik.”

Mike sebenarnya sudah mengungkapkan kalau kunci kesuksesan United di masa Sir Alex ada pada orang-orang di belakangnya. David Moyes membuat keputusan yang amat salah dengan membawa orang baru dan menyingkirkan orang-orang yang sudah lama.

Hal ini juga sebenarnya dilakukan oleh Mourinho pada musim ini. Ia bahkan tidak lagi membuat Ryan Giggs tersorot kamera televisi. Mou pun membawa staf kepelatihannya sendiri.

Tenang, karena Mou jelas bukan David Moyes, pun dengan para orang kepercayannya. Anda tak mesti khawatir karena Mou membawa Rui Faria, asisten yang selalu mengiringi Mourinho. Ia bahkan selalu memenangi trofi sepanjang tahun! Semua gelar juara pun pernah ia raih.

Jangan lupa pula ada nama Silvino Louro, pelatih kiper yang kini penjadi pelatih utama. Pengalaman bertandingnya sebagai pesepakbola pun tak perlu diragukan. Ada pula Ricardo Formoshino yang karier kepelatihannya malang melintang dari Eropa sampai Asia Tenggara.

Mou dan Fergie sama-sama jago bicara. Di balik itu semua ada orang-orang yang membuat keduanya yakin dalam mengambil keputusan.