Pada 1968, George Best menyalakan Manchester United atas celah sempit yang diterima tim asuhan Matt Busby itu di Piala Eropa. Karena, secara ironis lawan mereka sekali lagi adalah Benfica.

Namun, malam itu, George membuat impian Matt Busby menjadi kenyataan. Dengan berjalannya waktu, ia mengendalikan permainan, menerima bola dengan baik, melayang melewati lawannya lewat kecepatan yang ia miliki, berjalan melewati kiper dan dengan santai ‘menggulingkan’ bola ke gawang yang kosong.

George akhirnya terpilih sebagai Pemain Terbaik Eropa. Sayangnya, George telah mencapai puncaknya bersama tim berjuluk The Red Devils itu. Ia mulai merasa tinggi jumawa, dan setelah Matt Busby pensiun, setiap manajer baru yan datang pasti gagal mengendalikan pemain terbaik asal Belfast itu.

Karakter spesial dan akhir masa George Best bersama Manchester United

Melihat Manchester United dipukuli tim yang pernah mereka hancurkan beberapa tahun sebelumnya, adalah hal menyakitkan yang dirasakan George Best. Kecintaannya pada sepakbola pun perlahan berkurang. Ia mulai meminum minuman beralkohol lebih banyak dari sebelumnya.

Ia merasakan banyak dampak buruk dari kebiasaan barunya itu. Setiap hari, sesi pelatihan dan penampilannya menjadi berkurang. Tapi, United di sisi lain masih merasakan hal ajaib dari George. Pasalnya, setelah kembali dari skorsing pada 1970, untuk pertama kalinya ia mencetak 6 gol dari 8 gol milik United kala melawan Northampton.

Namun, penampilan impresifnya itu justru adalah yang terakhir untuk United. Pada akhir musim 1974, hari-harinya bersama pasukan Old Trafford harus berakhir. Meskipun ia saat itu masih berusia 26 tahun. Karakter spesialnya tetap melekat dalam permainan sepakbolanya.

Hal tersebut sama seperti apa yang dulu telah dikatakan Sir Matt Busby tentang George, “Biarkanlah dia melakukannya sendiri. Jangan mencoba untuk melatihnya, anak laki-laki itu spesial.”

Bahkan, rekan senegara George Best, Pat Jennings, pernah mengatakan hal tentangnya di tahun-tahun pasca kepergiannya dari Old Trafford. Ia mengatakan, “Dia adalah pemain terbaik yang pernah bermain dengan saya, ataupun yang pernah menjadi lawan saya. Saya menghargai kenangan saya kepadanya meskipun pada saat-saat dia membuat saya terlihat agak bodoh.”

Di sisi lain, dalam 13 tahun karirnya, George Best hanya bermain sebanyak 37 kali untuk negaranya sendiri, dan hanya berhasil mencetak 9 gol. Tapi, setiap kali mengenakan jersey hijau kebanggan, ia menyalakan kerumunan penggemar dengan penampilannya. Tidak pernah ada penampilan internasional yang lebih baik untuknya sejak mengalahkan Skotlandia pada 21 Oktober 1967 di Windsor Park.

Sebagai salah satu yang terpesona pada pertandingan tersebut, jurnalis olahraga pemenang penghargaan Malcolm Brodie, bahkan dengan bangganya menulis, “Tanpa diragukan lagi, ini adalah penampilan individu terbaik dari pemain manapun yang menyukai bermain di Windsor Park.”

Kembali bermain di Inggris

George adalah pemain jenius. Tujuannya yang hanya untuk bermain sepakbola, menjadi kesenian yang tak ada bandingannya dibanding pemain lain. George pernah berkata tentang dirinya sendiri, “Saya terlahir dengan hadiah yang bagus, dan terkadang hal itu datang dengan coretan yang sedikit merusak.”

Hal merusak yang ia maksudkan tertuju sejak awal karir George Best. Namun, hal tersebut makin terasa merusak menjelang akhir karirnya. Alkohol dan dunia malam yang dihabiskannya untuk berpesta, mempersingkat karirnya, dan menyebabkan masalah kesehatan yang makin parah di kemudian hari. Setelah meninggalkan Manchester United pada 1974, ia tampil di sejumlah klub dan menikmati masa produktif barunya di Amerika Serikat.

Meski tidak fit seperti saat ia berada di puncak karirnya yang luar biasa, pada akhir 1976 ia kembali ke Inggris. Bersama Bobby Moore, ia kembali bermain di Inggris untuk memperkuat Fulham. George bermain 42 pertandingan dalam dua musim, dan hanya berhasil mencetak delapan gol. Pada tahun 1979, ia membuat debut kala mencetak gol untuk Hibernian. Pada hari saat George melakukan debutnya, lebih dari 20.000 penggemar muncul di stadion hanya untuk melihatnya setelah bertahun-tahun namanya sempat hilang dari Inggris.

Akhir karir dan penyakit yang mulai menyerang

Pada, 1983 George Best memutuskan untuk mengakhiri karir sepakbolanya saat ia berseragam Bournemouth, meskipun ia terus bermain dalam berbagai pertandingan amal dan persahabatan. Lalu, pada 1990-an ia berlaih menjadi komentator olahraga yang sukses bersama Sky Sports. Pada Desember 2001, ia menerima gelar doktor dari Universitas Queens, dan satu tahun setelahnya, tepat pada April 2002, Freedom of Borough of Castlereagh juga memberikan penghargaan spesial untuk George.

Selama masa-masa pensiunnya tersebut, kesehatan George mengalami penurunan drastis karena konsumsi berat minuman beralkohol, yang akhirnya mengakibatkan kerusakan pada organ hatinya. Transplantasi hati dilakukannya pada 2002, dan sekaligus memberi harapan baru untuk tetap bertahan hidup di kemudian hari. Namun, harapan keberhasilannya berujung pada umur yang terus memendek. Sekali lagi, masalah pribadi membuat George harus kembali pada kebiasaan buruknya dalam mengkonsumsi botol minuman beralkohol. Kali ini, ia tidak mampu berharap untuk kembali bisa melawan penyakitnya yang kembali datang itu.

Selamat jalan, George Best!

Pada 1 Oktober 2005, George Best memasuki rumah sakit Cromwell di London. Selama minggu-minggu berikutnya, kondisinya memburuk dan pada 25 November, saat ia dikelilingi oleh keluarga dan teman dekatnya, akhirnya George pun tak bisa bertahan hidup lagi, dan seketika ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Sesuai dengan keinginannya jauh sebelum hari itu, George pulang ke Belfast untuk terakhir kalinya dan dikuburkan di samping makam ibunya di pemakaman Roselawn. Seratus ribu orang berjajar di jalanan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mantan pahlawan publik Old Trafford itu. Dan jutaan orang lainnya di seluruh dunia, menyaksikan kepergian George untuk beristirahat selamanya dengan perasaan duka.

Beberpa bulan sebelum kematiannya, George sangat antusias mengumpulkan dana untuk para penderita penyakit organ hati. Meski, kecanduan alkohol adalah sesuatu yang tidak dapat ia taklukkan saat itu. Tapi di sisi lain, ia bertekad untuk melakukan semua yang ia bisa untuk mencegah orang lain mengikuti jalan yang sama seperti yang ia lakukan.

“Ini adalah salah satu cara untuk mengucapkan terima kasih kepada semua orang,” ungkap George kala berniat mendirikan badan amal untuk mengobati para penderita penyakit organ hati.

Namun, melalui yayasan yang didirikan atas namanya, akhirnya keinginan amalnya tersebut sekarang sudah bisa terpenuhi. Greg Dyke, mantan direktur BBC, pernah berkata tentang George pasca kematiannya.

Ia berkata, “Lupakan sisa hidupnya. Dia adalah pemain yang menampilkan permainan paling indah. Dia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Dia adalah pemain dengan bakat yang datang sekali dalam satu abad.”