Manchester United kerap memiliki para pemain yang unik, salah satunya adalah Eric Cantona. Bahkan sebelum pensiun, ucapan pemain berkebangsaan Prancis ini kerap menjadi pembahasan berbagai kalangan. Setelah pensiun, cara berpikir Cantona membuat perkataannya semakin seru untuk dikaji.

Cantona bukanlah orang suci. Setidaknya terdapat lima perbuatan “kotor” yang diingat publik, mulai dari tekel brutal ke Michel De Zakarian, melempar bola ke arah wasit, menginjak pemain, sampai menendang suporter lawan.

Meskipun demikian, Cantona disebut oleh Sir Alex Ferguson sebagai salah satu di antara empat world class player bersama Ryan Giggs, Paul Scholes, dan Cristiano Ronaldo. Hal tersebut tentu merupakan kehormatan buat siapapun karena yang bicara adalah salah satu pelatih terbaik di dunia. Ketimbang Giggs, Scholes, dan Ronaldo, Cantona terbilang lebih vokal. Ia mengucapkan apa yang ada di pikirannya.

Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-50, The Guardian secara eksklusif mewawancarai penyerang yang membela MU pada periode 1992-1997 ini. Tentu, dalam wawancara tersebut terselip ungkapan Cantona yang terdengar polos, tak bersalah, tapi itu adalah kenyataan yang sebenarnya.

“Mereka merindukanku,” kata Cantona membuka pembicaraan dengan Owen Gibson, jurnalis The Guardian. “Aku pikir mereka kehilangan sesuatu. Anda bisa merasakannya. Namun, sulit bagiku untuk melampaui seseorang yang sudah ada di klub selama 25 tahun. Meskipun Anda adalah manajer hebat, tapi para penggemar tetap masih diterpa folosofinya Ferguson.”

Cantona jelas merasa bahwa United yang saat ini tengah mencari bentuk terbaik sebagai fondasi tim kelak. Meskipun Louis van Gaal punya filosofinya tersendiri, tapi penggemar dan manajemen tidak sabar untuk melihat United yang kuat, yang seperti Ferguson.

Mulai musim ini, kursi kepelatihan pun berpindah ke tangan Jose Mourinho. Cantona pun memuji Mou atas kepribadian, gairahnya terhadap sepakbola, serta humornya. “Dia sangat cerdas, dia menginginkan pemainnya tampil 100%, dan tentu saja dia memenangi banyak hal,” ungkap Cantona.

Meskipun demikian, Cantona merasa kalau Mourinho tidak mencerminkan United, “Aku menyukai Jose Mourinho, tapi dalam hal gaya sepakbola yang dia mainkan aku pikir dia bukan Manchester United.”

Cantona menyoroti bahwa permainan yang akan dibawa Mou agaknya tidak sesuai dengan keinginan dan harapan penggemar United. “Dia bisa menang bersama Manchester United. Namun, apakah mereka mengharapkan gaya bermain sepakbola yang seperti itu, meskipun mereka menang? Aku pikir tidak,” ucap Cantona.

Secara mengejutkan, Cantona justru menyodorkan nama Pep Guardiola, “Dia adalah anak spiritual Johan Cruyff. Aku akan suka melihat Guardiola di Manchester [United]. Dia adalah satu-satunya yang bisa mengubah Manchester. Dia kini ada di Manchester tapi di sisi yang salah.”

Cantona dan Sepakbola

Selepas pensiun, Cantona mulai merambah berbagai bidang, seperti menjadi aktor misalnya. Namun, Cantona pun tak bisa lepas dari sepakbola dengan menjadi pelatih tim sepakbola pantai, sampai menjadi Director of Football New York Cosmos.

“Saat Anda berhenti bermain bola, rasanya amat sulit. Sepakbola tak ubahnya narkoba. Olahraga juga. Secara psikologis, ini seperti obat Anda, yang Anda butuhkan,” kata Cantona.

Ini yang membuatnya menjadi bersungguh-sungguh soal rumor kalau ia akan membesut United. Terlebih, Guardiola kini ada di sisi Manchester yang salah. “Ya, (soal menjadi manajer) aku serius,” tegas Cantona. “Kalau mereka menginginkanku, aku tentu saja akan bekerja keras.”

Karier Cantona di sepakbola terbilang singkat. Ia pensiun pada usia 31 tahun di Manchester United. Apa alasannya pensiun begitu cepat? “Saat aku merasa kehilangan gairah, aku pensiun. Aku tak menyesalinya.”

Cantona agaknya merasakan apa yang dirasakan oleh banyak pesepakbola yang pensiun. Ia seperti sakau karena tak mendapatkan “narkoba” dalam jumlah yang cukup. Ada hal yang hilang dalam hidupnya setelah pensiun.

Sepakbola Modern dan Kelas Pekerja

Atmosfer di stadion pada masa kini jelas berbeda dibandingkan dengan saat Cantona tampil. Saat ini, para penggemar agaknya menjadi lebih pemalas dengan lebih sering duduk dan menguap. Gairah menonton sepakbola mereka tak seperti penonton di masa dulu yang begitu meluap-luap.

Salah satu alasannya barangkali karena harga tiket yang begitu mahal. Hal ini membuat para penggemar kelas menengah mesti berpikir ulang untuk hadir ke stadion. Di sisi lain, akan jarang penggemar kelas atas yang mau untuk bersorak memeriahkan stadion.

Atas hal ini, Cantona menyarankan 25% dari tiket dijual dengan harga terjangkau apalagi nilai hak siar tiap kesebelasan naik secara drastis. Dengan harga tiket yang lebih terjangkau, sepakbola pun diharapkan mencapai sasarannya: kelas pekerja.

“Sepakbola adalah olahraga yang populer. Jadi, penting untuk kelas pekerja dapat ke stadion. Pemain, pemain muda, 95% di antara mereka datang dari latar belakang kelas pekerja, di manapun di dunia ini.

“Mereka perlu ke stadion dan menyaksikan pertandingan secara langsung, bukan lewat televisi. Televisi memang bagus. Di pub, Anda bisa melihat banyak orang menonton bersama. Tapi itu tidaklah sama. Anda melihatbanyak hal berbeda di stadion daripada di TV.”

Cantona menganggap bahwa setiap federasi maupun operator kompetisi mesti memiliki skema khusus dalam menjual hak siar. Pasalnya, sebuah hal yang berbahaya dengan menyingkirkan kelas pekerja yang dianggap Cantona sebagai “jiwa dari olahraga”. Apabila anak-anak dari kelas pekerja tidak pernah menonton sepakbola secara langsung, ini akan mengancam dari kemajuan sepakbola itu sendiri.

Hal ini sendiri tak lepas dari kehadiran mereka yang murni ingin berbisnis. Sejumlah investor luar negeriseperti dari Amerika, Tiongkok, atau Malaysia, datang silih berganti. Mereka menjadi warna lain dari investor Inggris yang mulai tersisih. Namun, Cantona menganggap investor Inggris pun sama saja karena menganggap sepakbola sekadar bisnis. “Bedanya, mungkin, pebisnis Inggris tahu lebih soal jiwa kesebelasan dan komunitas,” tutur Cantona.

Uang yang Mengubah Segalanya

Sepakbola masa kini amat mudah menghambur-hamburkan uang. Gaji pemain bisa dibilang sudah tidak lagi realistis. Sejumlah pemain sudah bisa membeli mobil supersport setiap pekan saat ia gajian. Di sisi lain, banyak pemain yang datang dari kelas pekerja di mana mereka akan merasa mendapatkan kuasa.

“Saat aku masih muda, aku mendengar orang bilang bahwa pesepakbola terlalu mendapatkan banyak uang. Namun, bedanya, di masaku aku tak pernah mendengar ayah memintaku bermain untuk uang. Ini adalah tentang gairah, bukan cuma soal mimpi,” kata Cantona.

Alumnus Akademi Auxerre tersebut merasa kalau pada masa kini, banyak yang terpapar oleh kemewahan yang ditampilkan media. Banyak orang tua yang menginginkan anaknyamenjadi pesepakbola hanya untuk mengeruk uang dan untuk menjadi terkenal.

Hal ini menjadi masalah lain di sepakbola di mana berbagai fenomena muncul di atas lapangan. Para pesepakbola lebih mementingkan soal popularitas. Hilangnya gairah untuk bermain bola pada akhirnya akan menular pada penonton sepakbola yang bukan tidak mungkin merasa kalau sepakbola sudah menonton.

Agaknya, memang benar kata Cantona. Ada yang hilang dari sepakbola pada masa kini. Gairah yang biasa terlihat perlahan memudar seiring dengan pesepakbola yang menjadikan profesinya sebagai tambang uang, bukan sebagai pemenuhan mimpi-mimpinya. Pada akhirnya, kita benar-benar rindu pada Cantona, pada gairahnya kala itu, pada apa yang telah ia perbuat tim dan sepakbola pada umumnya.