Foto: Breaking News

Setelah menang melawan PSG, imbang lawan Chelsea, dan menang atas RB Leipzig, Ole Gunnar Solskjaer menyebut kalau pekan itu menjadi pekan yang bagus bagi timnya. Akan tetapi, pekan yang bagus itu justru tidak bisa diteruskan pada pekan-pekan berikutnya. Sebaliknya, ia membuat pekan yang bagus itu menjadi tidak berarti karena timnya sudah dua kali menderita kekalahan beruntun.

Dini hari tadi, United kalah 2-1 dari Istanbul Basaksehir, kesebelasan yang sebelumnya belum pernah menang atau bahkan mencetak gol pada ajang Liga Champions musim ini. Grup H yang tadinya nyaman, justru kembali menjadi grup neraka.

Yang paling menyebalkan adalah melihat United tidak mengalami perubahan dari segi permainan. Sama seperti ketika melawan Arsenal, mereka kebingungan untuk masuk ke sepertiga akhir. Selain itu, penguasaan bola menjadi mudah hilang. Ditambah dengan kesalahan struktur organisasi pemain yang membuat kekalahan ini disebut Ole sebagai tamparan keras bagi timnya.

Ole kembali bermain menggunakan 4-4-2 diamond dengan perubahan dari sisi pemain. Ia menurunkan Juan Mata Donny Van de Beek, dan Bruno Fernandes secara bersamaan. Komposisi tiga pemain ini sebenarnya membuat United bermain full attack karena ketiganya sama-sama berorientasi menyerang.

Akan tetapi, strategi ini menjadi bumerang bagi United sendiri. Alih-alih full attack, mereka justru bermain seperti orang bingung. Posisi antar pemain saling tumpuk dan rapat sehingga membuat opsi umpan menjadi terbatas. Tidak ada permainan menyerang, yang ada hanya permainan umpan kaki ke kaki dengan sedikit adanya progresi untuk memberikan bola ke depan.

Cara main seperti ini sudah menjadi identitas Ole bersama United. Ketika build up play dari belakang tidak menemui jalan ke lini depan, opsi umpan satu dua dengan skill individu menjadi jalan keluar. Sayangnya, Istanbul sukses meredam trik United ini karena permainan United memang sedari awal tidak punya struktur.

Ini juga yang membuat keraguan kepada Ole semakin kuat. Urusan taktik memang tidak menjadi kendala. Namun ketika tim ini mengalami kesulitan di atas lapangan, ketika build up play dari belakang tidak menemui hasil, para pemain United seperti dipaksa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Entah itu dengan main bola dari kaki ke kaki atau mencari pelanggaran di kotak penalti. Balik lagi ke soal kemampuan Ole dalam hal manajemen pemain. Dia punya banyak ide cemerlang, tapi kesulitan untuk meminta pemainnya menjalankan ide cemerlang itu.

Penulis The Athletic, Michael Cox, berkata kalau United ini sudah jelek sejak awal musim karena semuanya serba buruk. Kesulitan menguasai bola dengan baik, ceroboh, tidak memiliki mental pemenang, dan mudah panik. Apa yang dituliskan Cox tampak benar adanya jika melihat permainan United semalam.

Dua gol Basaksehir hadir karena kecerobohan dan tidak adanya struktur yang jelas ketika menghadapi transisi. Pada gol pertama milik Demba Ba, bola sebenarnya berada pada penguasaan Aaron Wan-Bissaka. Saat dia melakukan penetrasi, biasanya akan ada dua pemain yang akan menjaga lini belakang. Dalam proses gol ini hanya Matic yang berada di belakang. Akan tetapi, jaraknya dengan Ba sudah jauh sehingga ia bisa leluasa menggiring bola berhadapan dengan Dean Henderson. Situasi seperti itu justru terjadi saat laga baru memasuki menit ke-12. Paul Scholes menyebut pertahanan United layaknya tim U-10.

Gol Ba sendiri mempertegas kritik Keane kalau United kekurangan leader dan komunikasi antar pemain. Meski Maguire membantahnya, namun sulit untuk mengelak dari kritikan tersebut.

Garis pertahanan tinggi menjadi masalah bagi United. Mereka tidak siap dengan counter attack Basaksehir. Lagi-lagi, masalah transisi buruk kembali terlihat dalam proses gol kedua. Juan Mata kehilangan bola karena passing Bruno yang terlalu tajam akibat pressing pemain Basaksehir, Ba cerdik melakukan dummy, sedangkan Luke Shaw tertinggal jauh di belakang yang membuat posisinya bisa dieksploitasi oleh Edin Visca.

Basaksehir sendiri memang pantas untuk menang. Terlepas dari babak kedua yang tidak banyak mereka memberi ancaman, namun mereka bertahan dengan sangat bagus. 4-4-2 flat yang dimainkan Okan Buruk ketika bertahan mampu mempersempit suplai bola ke lini tengah karena mereka melakukan pendekatan man to man kepada tiga playmaker United pada pertandingan tersebut. Kemampuan United keluar dari pressing lawan kerap menjadi titik lemah tim ini.

Pada babak kedua, Ole memainkan semua penyerangnya kecuali Ighalo. Akan tetapi, tidak banyak peluang berarti yang datang kecuali yang tendangan bebas Bruno atau kecerobohan Mehmet Topal yang sapuannya nyaris masuk ke gawang sendiri. Selebihnya, United lebih banyak bermain umpan pendek yang tidak efektif, minim variasi dari segi sayap, dan para pemain cadangan yang masuk sifatnya menjadi formalitas semata.

Setelah kekalahan dari Arsenal, beberapa pemain United berkicau kalau mereka akan bangkit pada pertandingan berikutnya. Janji serupa kembali keluar setelah kekalahan ini. Namun, para penggemar sudah pasti tidak mau mendengar omongan manis seperti ini lagi karena yang mereka ingin lihat adalah bukti di atas lapangan.

Ole sudah menjalani 101 pertandingan bersama United. Namun, dalam dua setengah musim ini, ia tampak belum menemui formula yang tepat atau bahkan susunan pemain yang tepat di setiap pertandingannya. Ia tampak seperti Sir Alex Ferguson yang gemar memberi menit main kepada mayoritas pemainnya sehingga gap antara pemain inti dan cadangan bedanya sangat tipis.

Namun sebelum sampai ke sana, ada baiknya Ole memperbaiki masalah dasar yang masih sering muncul ketika United bertanding yaitu struktur cara bertahan, menyerang, memanfaatkan dan mengatasi set piece, hingga transisi.