Foto: Twitter

Salah satu legenda Manchester United, Paul Scholes, begitu percaya diri sebelum sepak mula laga Villarreal vs Man United dimulai. Menurut pemilik 718 penampilan bersama Setan Merah itu, mantan klubnya seharusnya bisa memenangkan laga ini dengan mudah.

Alasannya sederhana. The Yellow Submarine hanya menyelesaikan kompetisi pada urutan tujuh liga Spanyol. Ia juga menambahkan kalau La Liga adalah kompetisi yang buruk. Dua alasan ini seharusnya menjadi modal bagi United untuk bisa angkat piala ketika wasit Clement Turpin meniup peluit pertandingan berakhir.

Akan tetapi, Scholes seperti lupa kalau klub-klub Spanyol adalah musuh United. Termasuk lawan yang mereka hadapi saat itu. Empat pertemuan sebelumnya semuanya berakhir imbang 0-0. Selain itu, La Liga adalah penguasa Eropa. 14 dari 20 musim terakhir, selalu ada setidaknya satu wakil liga Spanyol menjadi juara entah itu di Liga Champions atau Liga Europa.

Itulah kenapa ketika United menemui realita kalau mereka kalah dari Villarreal malam tadi, Scholes hanya bisa ngeles. Ia menyebut kalau kegagalan ini tidak akan menyakiti United karena Ole tidak dituntut untuk meraih trofi.

Dini hari tadi, ambisi Setan Merah untuk memutus puasa gelar kembali sirna. Mereka kalah 11-10 dalam drama adu penalti melawan Villarreal setelah skor pada waktu normal berakhir 1-1. David De Gea menjadi satu-satunya penendang penalti yang gagal, sedangkan 11 pemain Villarreal menjalankan tugasnya dengan mulus. Tidak hanya itu, Unai Emery kembali mempertegas kalas UEL tidak hanya Uefa Europa League namun juga Unai Emery League.

Bagi United segalanya berjalan lancar sejak awal. Beberapa kali pressing United sukses membuat Villarreal tidak nyaman ketika menguasai bola sehingga bola bisa kembali jatuh ke penguasaan mereka. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan kreativitas pemainnya.

Bola memang berhasil dikuasai United, namun cara mereka menyerang hanya mengandalkan sisi sayap yang kemudian menjadi tidak efektif karena terkesan monoton. Ketika bola dipegang Lindelof atau Bailly, maka outlet serangan United hanya akan melalui Wan-Bissaka atau Shaw. Padahal, mereka punya kesempatan merusak struktur pertahanan Villarreal dari lini tengah karena United kerap dalam situasi unggul jumlah seperti yang terjadi pada gambar di bawah ini. Sayangnya, posisi pemain kerap berjauhan sehingga serangan United terkesan begitu-begitu saja.

Villarreal juga sukses meredam permainan United melalui pertahanan mereka yang bisa sampai 6 pemain di dalam kotak penalti dengan dua pemain sayap ikut membantu pertahanan. Sisanya, mereka akan melakukan counter attack.

Catatan xGoals, angka peluang yang bisa menjadi gol, kedua kesebelasan yang begitu kecil menandakan kalau keduanya memang tidak banyak mendapat peluang matang. Villarreal hanya punya 0,75 xG sedangkan United hanya 1,06.

Villarreal disini lebih cerdas ketimbang United. Mereka sukses memanfaatkan kelemahan mereka yang sudah mengakar sejak awal musim yaitu bola mati. Gol Gerard Moreno hadir dari situasi ini yang mempertegas buruknya United ketika bertahan pada situasi bola mati. Tidak ada marking yang ketat dari Lindelof dan juga Bailly.

Namun sebelum gol ini, United sebenarnya sudah mulai tidak tenang. Beberapa kali Pogba dan De Gea membuat situasi yang tidak berbahaya menjadi berbahaya bagi mereka sendiri. Puncaknya kemudian gol dari Gerard Moreno tersebut.

Sudah lemah dalam antisipasi set-piece, beberapa individu juga tidak bermain dalam performa terbaiknya. Rashford menjadi sasaran hujatan karena tidak banyak aksi yang membahayakan lawan. Catatan shots, key pass, hingga dribel sukses milik Bruno adalah nol. Cavani pun terbantu dengan satu golnya.

Inilah yang kemudian membuat Ole tidak bisa berbuat banyak. Jatah pergantian yang ada dia gunakan hanya untuk mempersiapkan diri menghadapi adu penalti. Menurut The Athletic, Ole terkadang sengaja tidak melakukan pergantian karena ingin melihat timnya matang selama jalannya pertandingan. Ini juga yang terlihat pada musim lalu ketika melawan Sevilla. Ketika itu, Ole membuat empat pergantian sekaligus setelah mereka kebobolan.

Kondisinya memang menyulitkan. Di satu sisi, Ole terlihat percaya kepada pemainnya di atas lapangan. Namun, di sisi lain hal ini menunjukkan betapa pelapis United belum bisa dipercaya mengemban beban para pemain utama. Maka dari itu, kita terus dipaksa melihat permainan Rashford yang justru lebih menggebu-gebu ketika diwawancarai setelah pertandingan ketimbang saat berada di ada lapangan.

Di sisi lain, Villarreal memaksimalkan lima pergantian ini dengan baik. Rotasi membuat tenaga mereka lebih segar terutama untuk memperbaiki pos yang menjadi area United melakukan serangan.

Sudah sulit menyerang, United juga tidak bisa memanfaatkan adu penalti dengan baik. Sasarannya sudah pasti ke arah David De Gea. Satu-satunya orang yang tidak bisa menahan atau bahkan mencetak gol dalam drama tersebut. Keberadaan De Gea di bawah mistar saat adu penalti seperti sudah pertanda kalau United akan kalah. Maklum, 2016 adalah kali terakhir dia menepis tendangan penalti lawan.

Setelah sebelumnya mentok di semifinal, musim ini United dua kali menyandang status runner-up. Apakah ini sebuah kesuksesan? Tergantung dari sudut mana kita memandang. Bagi Ole, ini bukan kesuksesan karena dia sadar penilaiannya hanya akan dilihat dari seberapa banyak piala yang ia raih.

Di sisi lain, kita juga harus menerima kalau United memang belum layak untuk masuk ke dalam penantang titel sebuah kejuaraan mengingat mereka belum punya mental juara. Selain itu, pelapis yang ada juga tampak tidak sepadang.

Menarik untuk melihat apakah kegagalan ini akan membuat United menjadi tim yang lebih lapar lagi akan kesuksesan pada musim depan. Tugas Ole kini tinggal meminta manajemen United untuk membeli tiga sampai empat pemain yang menjadi incarannya demi membuat skuad ini menjadi lebih ideal lagi untuk mengarungi musim depan.