Bagi Erik ten Hag, tidak ada rekan kerja yang lebih baik selain Mitchell van der Gaag.

Meski telah mengumumkan kalau Erik ten Hag akan menjadi manajer anyar Manchester United pada April 2022 lalu, beberapa media sepakbola masih dibuat bertanya-tanya mengenai siapa yang akan menemani pria plontos itu di bangku cadangan.

Spekulasi pun bermunculan dari mantan pemain macam Robin van Persie, hingga orang-orang yang sebelumnya sudah pernah menjadi asisten di Manchester United macam Mike Phelan hingga Michael Carrick. Sampai pada akhirnya, Ten Hag memilih dua nama yang akan selalu bersamanya sepanjang musim yaitu Steve McClaren dan Mitchell van der Gaag.

Nama McClaren tentu sudah tidak asing di telinga suporter United. Ia pernah menjadi tangan kanan Sir Alex Ferguson. Jauh berbeda dengan Mitchell yang baru pertama kali bekerja di Inggris. Sempat timbul keraguan mengingat profil Van Persie jauh lebih mentereng dibandingkan dirinya. Namun Ten Hag tetap percaya kepada Mitchell.

“Sosok Mitchell (dan McClaren) adalah dua nama yang tahu bagaimana caranya untuk bisa meraih kemenangan,” kata Ten Hag.

***

Sama seperti mayoritas pelatih sepakbola pada umumnya, karier Mitchell dimulai sebagai pemain di banyak kesebelasan. Ia pernah bermain di Belanda, Skotlandia, Portugal, hingga Arab Saudi. Ia mencetak 50 gol sepanjang karier di kompetisi liga. Jumlah yang terbilang banyak untuk ukuran seorang bek tengah.

Setelah pensiun sebagai pemain pada 2007, Mitchell langsung menjadi juru racik bagi tim Maritimo B. Pada Oktober 2009, ia dipromosikan menjadi pelatih utama setelah mereka memecat Carlos Carvalhal. Sayangnya ia dipecat setahun kemudian karena hasil buruk tim pada kompetisi liga.

Sempat dua tahun vakum, Mitchell kemudian bekerja di Belenenses. Di sana, ia langsung membawa tim ini promosi ke divisi utama Liga Portugal. Seiring berjalannya waktu, Mitchell terus mendapat pengalaman di beberapa kesebelasan seperti Ermis, Eindhoven, Excelsior, dan NAC Breda.

Sampai pada akhirnya ia ditemukan oleh Marc Overmars dan diangkat menjadi pelatih Jong Ajax pada 2019. Dua tahun kemudian, barulah ia menjalani kolaborasi indah di tim utama Ajax bersama Erik ten Hag. Ia masuk menggantikan Christian Poulsen.

Salah satu kelebihan Mitchell adalah komunikasi. Ini yang membuatnya menjadi prioritas utama Ten Hag ketika memilih asisten. Pria berusia 51 tahun ini fasih berbicara enam bahasa yaitu Belanda, Inggris, Portugis, Jerman, Prancis, dan Spanyol. Mengingat di United ada pemain-pemain dari negara tersebut, maka bisa dipastikan komunikasi bisa berjalan lebih lancar.

Selain itu, Mitchell juga pandai membuka diri dengan hal-hal baru di sekitarnya. Ia cepat beradaptasi. Oleh karena itu, ia hampir tidak memiliki masalah ketika bekerja di Portugal, Belanda, dan Inggris sejauh ini. Namun satu yang paling krusial adalah ia selalu menetapkan standar tinggi kepada para pemainnya.

“Dia selalu menetapkan standar tinggi setiap hari. Hal itu ia tetapkan kepada semua pemain termasuk para staf. Dia ingin kami berambisi untuk menetapkan standar yang lebih tinggi. Jika kami sudah mencapainya, maka itu harus lebih tinggi lagi di keesokan harinya. Itulah cara dia bekerja,” kata Pascal Maas, asistennya Mitchell di Eindhoven dulu.

Inilah yang memberi pengaruh besar kepada semua pemainnya, termasuk Manchester United musim ini. Meski belum sempurna, tapi cara mereka membangun permainan tampak mulai jauh lebih rapi. Hal ini tentu berbeda dibanding musim lalu ketika mereka tampak bingung memainkan possesion football bersama Ralf Rangnick. Kini, United seperti punya pakem dalam hal permainan. Semua berkat Ten Hag yang tentu saja dibantu oleh filosofi yang dibawa seorang Mitchell.

Di United, kapasitas sebagai manajer utama masih dipegang Ten Hag, tapi Mitchell digambarkan sebagai penghubung antara Ten Hag dan tim pelatih lainnya yang lebih luas. Ia akan melihat apakah semua departemen tersebut bisa bekerja dengan baik laksana sebuah mur dan baut. Maka dari itu, Ten Hag kerap memandang Mitchell (dan McClaren) sebagai orang yang setara dengannya.

Mitchell juga orang yang tegas. Ia tidak segan menghukum para pemainnya jika mendapat kekalahan. Masih ingat ketika United kalah 4-0 dari Brentford? Saat itu, para pemain United dihukum untuk menambah porsi berlarinya karena kalah segalanya ketika di atas lapangan. Tapi ia juga dikenal sebagai sosok yang kocak dan bisa diajak bercanda kapan saja.

***

Jika saja nasib baik tidak menaungi Mitchell, maka bisa dipastikan karier dia di sepakbola tidak akan sampai ke level tertinggi seperti sekarang ini. Tidak hanya itu, kehidupannya juga sudah pasti akan berakhir.

Laga Belenenses melawan Maritimo pada September 2013 sempat terhenti karena timbul kepanikan luar biasa yang terjadi pada bangku cadangan Belenenses. Seorang pria tiba-tiba pingsan dan orang itu adalah Mitchell van der Gaag, yang ketika itu menjadi manajer mereka.

“Dia pingsan di bangku cadangan dan membuat laga dihentikan. Kami kemudian sadar pada babak pertama lalu dengan cepat mengambil defibrillator di ruang istirahat. Itu sangat menakutkan bagi kami. Untungnya dia punya alat jantung bawaan dan berfungsi seperti yang kami mau. Saya harap kejadian ini tidak akan pernah terjadi lagi,” kata Matt Jones, penjaga gawang Belenenses saat itu.

Yang menarik dari kejadian itu adalah para pemain saat itu tidak tahu kalau manajer mereka punya riwayat penyakit jantung yang sewaktu-waktu bisa memengaruhi kondisinya. Mitchell pun akhirnya bisa diselamatkan dengan menanam Defibrillator-Cardioverter.

Mitchell pun sempat menjauh beberapa tahun dari sepakbola untuk memulihkan kesehatannya. Bagaikan mendapat berkah terselubung, jalan karier Mitchell kemudian terus mengalami peningkatan seiring dengan kesehatannya yang membaik. Dari menjadi manajer utama tim-tim kecil, memimpin tim muda Ajax, hingga kemudian menjadi asisten bagi tim utama Ajax dan Manchester United.