Bisa dibilang, performa Manchester United di musim kedua Jose Mourinho terbilang cukup baik. Berada di posisi kedua, masih bermain di Piala FA, serta menapaki fase gugur Liga Champions, menjadi catatan yang positif ketimbang saat masih ditangani oleh dua manajer sebelumnya. Performa apik United di musim ini pun menghasilkan perpanjangan kontrak setahun oleh Mourinho yang didapatnya Januari lalu.

Akan tetapi, meski memiliki peningkatan yang tergolong positif, ada beberapa ketidakpuasan yang dilontarkan penggemar Setan Merah dari performa United musim ini. Salah satunya tentu strategi pragmatis yang menjadi pakem Jose Mourinho musim ini. Taktik Mou yang mementingkan hasil akhir dan kemenangan alih-alih sepakbola indah kerap dikritik karena tidak mencerminkan identitas United yang dikenal menganut sepakbola menyerang.

Maka dari itu tidak sedikit yang mengharapkan United gagal meraih gelar di musim ini. Harapannya dengan hasil itu maka Mou akan dilengserkan dari manajer. Dengan cara ini maka supporter bisa kembali berharap manajemen Setan Merah mengambil manajer yang punya latar belakang sebagai ahlinya sepakbola menyerang.

Satu nama yang sering muncul untuk dijadikan pengganti Jose Mourinho adalah Ryan Giggs. Nama ini pertama kali muncul menjadi kandidat kuat manajer United setelah Louis Van Gaal lengser pada 2016 lalu. Akan tetapi, manajemen saat itu lebih memilih manajer berpengalaman dalam diri Mou yang saat itu sedang menganggur.

Tidak ada jaminan Ryan Giggs akan Sukses

Kisah romantisme klub mengangkat mantan pemainnya sebagai manajer memang kerap muncul beberapa musim terakhir. Barca menggunakan jasa Pep, Real Madrid mengambil jasa Zidane, sedangkan yang terbaru AC Milan mengalami peningkatan performa bersama Gennaro Ivan Gattuso setelah sukses bersama Ancelotti. Hal-hal ini yang mungkin membuat fans United ingin dengan segera menjadikan Giggs sebagai manajer.

Hubungan Giggs dengan Manchester United terbilang sangat erat. Ia adalah pemilik caps terbanyak United. Giggs juga yang membantu menyeimbangkan kapal United setelah goyah bersama Moyes. Akan tetapi, apakah Giggs juga akan memberikan kesuksesan serupa layaknya tiga nama diatas? Belum tentu.

Milan butuh Filipo Inzaghi, Christian Brocchi, hingga Clarence Seedorf sebelum performanya membaik di musim ini. Zidane dan Pep bahkan menangani tim muda terlebih dahulu sebelum bisa sesukses sekarang. Lantas, apa yang bisa diberikan Giggs kepada United jika modal yang dia punya hanyalah status sebagai murid dari seorang Sir Alex Ferguson.

Satu-satunya yang melemahkan Giggs untuk menjadi manajer United adalah pengalaman. Bukan salah United juga jika saat itu ia memilih Jose Mourinho karena reputasi The Welsh Wizard masih terbilang minim. Apabila Giggs tidak memiliki pengalaman, maka bagaimana ia bisa menunjukkan reputasinya kalau ia layak mengisi jabatan sebagai manajer United.

Dilansir dari Independent, sebuah penelitian menunjukkan bahwa 58% perusahaan menjadikan pengalaman sebagai prioritas utama dalam memilih tenaga kerja. Sementara 48% menjadikannya sebagai prioritas nomor dua. Hal ini menunjukkan kalau pengalaman tidak selalu menjadi yang utama namun begitu vital dalam sebuah organisasi. Begitu juga dengan sebuah klub sepakbola.

Nama besar saat menjadi pemain juga tidak menjadi tolak ukur bagi seorang manajer untuk bisa sukses. Diego Maradona contohnya. Setelah memenangi Piala Dunia 1986, ia kemudian menjadi pelatih Albiceleste untuk Piala Dunia 2010. Di tangan Diego, Argentina justru mencicipi kekalahan memalukan dari Bolivia 6-1 dan dipermak Jerman 4-0 tanpa perlawanan sedikitpun.

Marco van Basten juga menjadi contoh lain. Ditangani dua nama hebat macam Rinus Michel dan Arrigo Sacchi, Basten gagal total ketika menangani kesebelasan macam Ajax hingga klub medioker AZ dan Heerenveen. Contoh terbaru tentu Gary Neville. Pandai berbicara dan menganalisis lewat layar kaca, Gary jeblok ketika menangani Valencia dengan membawa pulang kekalahan 7-0 dari Barca.

Lantas apakah Giggs sudah pasti akan gagal jika menjadi manajer United? Tentu tidak. Saat ini, ia punya kesempatan untuk membangun pengalaman serta reputasinya dengan diangkat sebagai manajer timnas Wales. Ujian sebenarnya adalah dengan membawa Gareth Bale cs berprestasi pada UEFA Nations League September mendatang. Dengan taktik jitu yang ditambah prestasi, maka bukan tidak mungkin ia akan jadi kandidat utama menjadi manajer United berikutnya.

Didikan Fergie Tidak Bagus Sebagai Manajer

Satu ganjalan lain yang membuat Giggs bukanlah manajer yang tepat untuk Setan Merah (bahkan timnas Wales) adalah sejarah buruk yang menaungi para pemain United ketika menjadi manajer. Sepanjang sejarahnya ada 31 pemain didikan Fergie yang memilih karir sebagai juru racik, namun dari jumlah tersebut 25 di antaranya pernah merasakan pemecatan.

Catatan tersebut belum ditambah dengan pemain-pemain United yang tidak sukses sebagai manajer sebelum Fergie datang macam Wilf McGuiness, Steve Coppell, ataupun Brian Kidd. Kesebelasan yang ditangani oleh pemain didikan Fergie pun kebanyakan bukanlah kesebelasan besar. Rata-rata mereka menangani tim papan tengah Premier League bahkan ada yang menangani kesebelasan amatir. Bryan Robson bahkan pernah menangani timnas Thailand namun dipecat setelah disingkirkan Indonesia pada Piala AFF 2010.

Akan tetapi, tidak semua dari didikan Fergie tersebut gagal menjadi manajer. Ada beberapa diantaranya yang meraih prestasi. Laurent Blanc memberi 11 gelar untuk PSG, sementara Ole Gunnar Solskjaer memberikan gelar Liga Norwegia pertama bagi Molde setelah 100 tahun berdiri. Akan tetapi, nasib keduanya pun sama yaitu pernah mendapatkan surat pemecatan.

Hal ini tentu harus dihapus oleh Giggs dengan memberikan prestasi untuk tim nasional Wales sebelum akhirnya bersiap menangani klub-klub Eropa. Akan tetapi, hal ini juga bergantung dari performa United di bawah arahan Jose Mourinho. Bukan tidak mungkin, apabila Mou masih konsisten memberikan tropi untuk Setan Merah hingga 2020 nanti, manajemen United tidak akan pernah melirik nama Ryan Giggs sama sekali.