Foto: Manchester Evening News

Siapa sih yang tidak suka Eric Cantona. Dia adalah salah satu dari sekian banyaknya legenda United yang disukai karena karakternya yang unik. Ia bengal, berani, berwatak keras, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya layaknya seorang filsuf yang sarat akan makna.

Dia adalah kepingan puzzle terakhir United yang membawa tim ini memutus puasa gelar liga yang terjadi 26 tahun. Sayangnya, dia juga harus meninggalkan United dengan cepat karena memutuskan pensiun saat usianya baru 31 tahun.

The Athletic berkesempatan mewawancarai sosok yang juga akrab dengan julukan King ini. Di sini, mantan pemain Leeds tersebut mengeluarkan pandangannya tentang pengalamannya menjadi pemain sepakbola dan juga menjadi seorang manusia.

Pada bagian pertama ini, berikut adalah beberapa kutipan dari Eric terkait keputusannya memilih Inggris dan kenapa dirinya tidak suka dijadikan contoh oleh banyak orang.

Keputusan Meninggalkan Prancis dan Memilih Inggris

“Saya tidak ingin main lagi di Prancis atau di negara Mediterania. Jadi, saya memilih meninggalkan sepakbola saat itu selama dua bulan. Inggris negara yang baik untuk saya. Saya butuh energi dan sepakbola mereka. Sepakbola Inggris itu luar biasa. Ada Kevin Keegan, lalu George Best. Seperti bintang rock ‘n’ roll.”

“Saya sadar bahwa saya terlalu berharap banyak dari orang-orang. Saya sadar kalau saya adalah tawanan sehingga saya harus mencari solusi. Saya menemukan kata dalam bahasa Prancis ‘Je suis de passage’ (Saya sedang transit) dan itu membantu saya.”

“Saya sedikit emosional tepat sebelum saya meninggalkan Prancis. Lalu setelahnya saya tidak peduli. Saya tinggal di hotel ketika saya hijrah ke Manchester United yang mana itu memberi saya kebebasan mengekspresikan diri. Jika saya masih terjebak di mentalitas sebelumnya, saya bisa saja tidak berhasil di Inggris. United paham akan hal itu. Bahkan mereka berkata ‘Jika Eric ingin pergi, dia bisa pergi.’”

“Martin Edwards (Chairman Excecutive) yang berkata seperti itu. Jika Anda berkata seperti itu maka saya merasa bebas. Tapi kalau Anda berkata, ‘Hei, Eric, Anda punya kontrak tiga tahun maka Anda harus tinggal selama tiga tahun,’ maka itu sama saja membuat saya seperti tawanan dan itu tidak enak.”

Saya Tidak Mau Menjadi Contoh

“Saya sebenarnya tidak ingin merasakan tanggung jawab menjadi sebuah contoh. Saya tidak ingin menjadi kapten. Jika Anda meminta saya menjadi kapten, maka saya terima. Tetapi saya tidak akan mengatakan kalau diri saya layak menjadi ‘contoh’ hanya karena saya kaptennya. Jika Anda memberikannya, maka saya akan menjalankan tugas itu tapi saya tidak akan berkata kepada diri sendiri kalau saya harus jadi pemimpin.”

“Menjadi contoh di dunia sepakbola layaknya menjadi domba. Terkadang ada reaksi dari kita dan itu tidak disukai banyak orang. Mungkin mereka benar. Tapi menjadi tidak benar ketika orang itu berkata, ‘Dia adalah contoh bagi jutaan orang, maka dia tidak bisa bereaksi seperti ini.’ Tidak seperti itu.”

“Satu-satunya tanggung jawab yang saya lakukan adalah bekerja keras dan memenangkan pertandingan. Jika Anda adalah contoh seperti yang dikatakan orang, itu karena orang tersebut berpikir kalau Anda di atas segalanya.”

“Saya tidak peduli dengan anggapan orang kalau saya adalah legenda atau segala macamnya. Kita semua hidup di dunia sirkus di mana kita bisa bermain dan menjadi badut di dalamnya seperti semua orang.”

“Saya hanya manusia sama seperti lainnya. Saya tidak suka jika saya dijadikan contoh. Saya tidak suka kalau pemain sepakbola, politisi, penyanyi, dan orang terkenal harus menjadi contoh.”

“Saya berperilaku seperti yang saya inginkan. Layaknya hubungan pertemanan atau hubungan dengan istri dan anak-anak kita. Terkadang kita tidak melakukan hal yang benar. Apakah Anda pikir semua orang melakukan hal yang benar? Anda punya tiga anak yang semuanya berbeda meski orang tuanya sama. Kami berkata sesuatu, dua anak mendengar tapi yang satu tidak. Itulah yang saya sukai. Menjadi manusia biasa seutuhnya.”