Foto: Ninety Minutes Online

“Senang dan puas.” Itulah kalimat yang keluar dari mulut Louis van Gaal ketika timnya mengalahkan Club America pada pra musim 2015. Saat itu, United menang tipis dengan skor 1-0 berkat gol dari rekrutan baru mereka Morgan Schneiderlin.

“Dia cetak lima gol bersama Southampton dan kami melatih situasi ini bersama dia. Saya senang dengan performanya,” ujarnya saat itu.

Periode 2012 hingga 2015 menjadi masa-masa gemilang dalam karier Morgan Schneiderlin di Inggris. Dia yang sebelumnya hanya bermain di kompetisi macam Championship hingga League One, tiba-tiba sukses mencicipi atmosfer Premier League. Dia mampu beradaptasi dengan tingginya tekanan di sana hingga pada musim panas 2015, ia mendapat tawaran dari Manchester United.

Bagi Schneiderlin, mendapat tawaran dari kesebelasan sekelas Manchester United adalah sebuah pencapaian hebat. Hal itu membuktikan kalau talentanya dihargai begitu tinggi sekaligus sebagai penegas kalau kualitasnya mendapat pengakuan dari salah satu tim besar Eropa. Ia merasa bahagia bisa bergabung bersama Setan Merah meski sebenarnya ia juga mendapat tawaran Spurs karena ada sosok Pochettino di sana.

“Saya sebenarnya tertarik dengan Spurs karena ada Pochettino. Beberapa klub menghubungi agen saya tetapi ketika klub seperti United menelepon Anda, maka Anda tidak bisa menolak,” ujarnya.

Bukan tanpa alasan Schneiderlin direkrut. Pada musim terakhirnya bersama Southampton, ia menjelma sebagai salah satu gelandang bertahan terbaik di Premier League. Rataan tiga tekel per pertandingan membuktikan kecakapannya sebagai gelandang bertahan.

Van Gaal tentu membutuhkan pemain seperti ini mengingat musim pertamanya, ia terlalu bergantung kepada sosok Michael Carrick. Bahkan menurut dia, gaya main Schneiderlin bisa melengkapi para pemain yang sudah ada. Sebuah ucapan yang pada akhirnya tidak menjadi kenyataan.

Kebahagiaan Schneiderlin mendadak hilang. Kesenangan ketika bermain bersama Southampton tidak dapat ia rasakan ketika mengenakan seragam United. Padahal ia digadang-gadang sebagai pengganti Michael Carrick yang mulai mendekati fase akhir kariernya.

Kesulitan beradaptasi dengan taktik Van Gaal menjadi salah satu alasan mengapa penampilannya tidak sebagus sebelumnya. Van Gaal, pelatih yang cukup kaku dalam hal taktik, membuat kariernya sulit untuk berkembang. Meski bermain dalam 39 pertandingan, ia justru merasa bermain bukan sebagai Morgan Schneiderlin melainkan sebagai sosok yang lain. Dia merasa terkekang dan tidak bisa bebas berekspresi seperti yang ia rasakan saat masih di Southampton dulu.

“Ketika bekerjasama dengan Van Gaal, saya merasa kalau saya bukan menjadi diri saya sendiri. Saat saya menerima bola, saya tidak berpikir seperti apa yang saya pikirkan melainkan seperti apa yang dia (Van Gaal) pikirkan. Ketika Anda terlalu memikirkan banyak hal, saat itulah Anda mulai sering melakukan kesalahan,” tuturnya.

“Dengan dia, saya bermain seperti robot. Dia berkata kepada saya, ‘Anda tidak boleh pergi dari sini dan Anda harus mendapatkan bola di bagian ini. Anda tidak boleh melakukan ini-itu’. Instruksi ini mengganggu saya. Dampaknya adalah, saya menjadi kurang efisien.”

Inilah yang kemudian membuat Schneiderlin kehilangan kepercayaan diri. Kepada istrinya ia sering mengeluh. Dia tidak mempermasalahkan tekanan klub dari segi hasil akhir dan sebagainya. Namun yang membuatnya gelisah adalah ia merasakan kalau kebebasannya di atas lapangan dibatasi oleh Van Gaal. Ia bahkan merasa iri dengan rekan senegaranya, Anthony Martial yang diberi kebebasan hanya karena si pemain tidak bisa bahasa Inggris.

“Pemain-pemain muda seperti Martial bisa bermain dengan bebas karena Martial tidak mengerti apa yang dikatakan manajer kepadanya. Saya berharap saya yang mendapatkan keuntungan itu, ketika saya hanya bisa berkata “setuju” dengan apa yang diucapkan manajer,” tuturnya.

Schneiderlin sebenarnya menjalani musim yang lumayan baik. Ia bermain 39 kali, mendapat Piala FA, yang merupakan gelar tertingginya selama di Inggris, dan menjadi anggota skuad timnas Prancis pada Euro 2016. Namun hal itu tetap tidak membuatnya puas.

Kabar baik kemudian datang ketika Louis van Gaal dipecat pada akhir musim. Ia sebenarnya kasihan karena kepergian Van Gaal diumumkan saat tim sedang menggelar pesta keberhasilan menjadi juara Piala FA. Meski begitu, ia gembira karena setidaknya punya peluang memiliki karier yang lebih baik bersama Jose Mourinho. Saking ia ingin mendapatkan perhatian Mou, Schneiderlin hanya menggunakan tiga hari dari jatah delapan hari yang diberikan klub kepadanya.

Akan tetapi, angan-angan tersebut langsung hilang ketika ia hanya bermain 11 menit di Premier League bersama Mourinho. Selain itu, kehadiran Paul Pogba juga mempersempit peluangnya untuk bermain. Ia sempat mendatangi Mourinho dan berkata kenapa dia tidak pernah bermain meski sang manajer menyebut kalau dia senang dengan cara Schneiderlin berlatih.

Kekesalannya ini yang membuat Schneiderlin ingin pergi dari United. Mourinho sempat menahannya untuk tidak pergi dengan janji kalau dia akan mendapat kesempatan. Sayangnya, Schneiderlin sudah tidak mau lagi mendengar janji palsu. Yang dia mau hanya bukti kalau dia akan bermain sebagai pemain inti.

“Saya marah karena saya tahu kalau saya bisa bermain untuk United setiap pekan. Saya tidak bisa terus-terusan datang latihan, memberikan tanda tangan dan pura-pura bahagia meski kenyataannya tidak. Lebih baik saya nonton teman-teman saya bermain dari rumah.”

Masa-masa terberatnya ketika menangani United harus disudahi dengan cara pindah ke tempat lain. Pada 12 Januari 2017, Schneiderlin kemudian hijrah ke Everton yang saat itu dipegang oleh Ronald Koeman, mantan manajernya di Southampton, dengan membawa sebuah penyesalan.

“Jika saya lebih mendengarkan kata hati saya, saya seharusnya menerima tawaran Spurs. Saya sudah paham siapa manajernya dan bagaimana cara dia melatih. Saya sadar kalau saat itu saya menandatangani kontrak hanya karena nama besar Manchester United dan bukan karena manajer,” tuturnya.

Kebahagiaan yang dicari Schneiderlin berhasil ia dapat bersama The Toffees. Dua musim bersama Everton, ia mendapat lebih banyak pertandingan dibanding saat masih bersama United. Akan tetapi, kedatangan Marco Silva membuatnya kembali merasakan fenomena serupa seperti ketika memperkuat United.

Setelah empat tahun bertahan di Goodison Park, Schneiderlin memutuskan untnuk kembali ke Prancis pada musim panas ini untuk bermain bersama Nice.