Foto: Team Talk

Sosok Schneiderlin pernah dipandang sebagai salah satu yang terbaik di Liga Inggris. Sayangnya, predikat tersebut menguap setelah ia memperkuat Manchester United.

Morgan Schneiderlin membuat perjudian besar ketika ia memilih meninggalkan Strasbourg menuju Southampton pada musim panas 2008. Maklum, saat itu Strasbourg bermain di Ligue 1 sedangkan The Saints berada di peringkat ke-23 Championship alias siap terdegradasi menuju League One.

Alan tetapi, momen itulah yang kemudian membentuk karakter seorang Morgan Schneiderlin. Pada usia yang belum genap 20 tahun dia langsung menjadi motor lini tengah klub yang kausnya bernuansa merah-putih itu. Tidak butuh waktu lama bagi dia membawa Southampton naik ke Championship hingga puncaknya adalah ketika mereka promosi ke Premier League 2012/2013.

Naik divisi semakin membuat sinar kebintangan Schneiderlin mencuat. Puncaknya sudah pasti ketika dia memutuskan hengkang ke Manchester United pada 2015. Saat itu, Schneiderlin dipandang sebagai holding midfielder terbaik di Premier League dan masuk incaran klub besar.

Pada musim terakhirnya bersama Southampton, ia membuat rataan tiga tekel per pertandingan. Hal ini membuktikan kecakapannya sebagai pemutus serangan. Tidak hanya itu, penempatan posisi dan kelihaiannya melepas operan juga sangat baik.

Bagi Schneiderlin, mendapat tawaran dari kesebelasan sekelas Manchester United adalah sebuah pencapaian hebat. Hal itu membuktikan kalau talentanya dihargai begitu tinggi sekaligus sebagai penegas kalau kualitasnya mendapat pengakuan dari salah satu tim besar Eropa. Ia merasa bahagia bisa bergabung bersama Setan Merah.

“Ketika United datang memberikan penawaran, saya merasa mudah untuk langsung membuat keputusan. Mendapatkan kesempatan bergabung bersama skuad yang berisi pemain-pemain sukses, tentu saja tidak bisa Anda lewatkan, tuturnya kepada situs resmi klub.

Akan tetapi, kebahagiaan Schneiderlin mendadak hilang. Kesenangan ketika bermain bersama Southampton tidak dapat ia rasakan ketika mengenakan seragam United. Padahal ia digadang-gadang sebagai pengganti Michael Carrick yang mulai mendekati fase akhir kariernya.

“Ketika pertama kali bergabung dengan United, saya adalah pemain yang memiliki ambisi besar. Saya sangat siap untuk mencapai hal-hal baik bersama mereka. Akan tetapi, karena beberapa alasan, hal-hal baik itu tidak terjadi. Saya berpikir kalau saya mendarat di United pada waktu yang kurang tepat,” ungkap Schneiderlin kepada Telegraph.

Schneiderlin kesulitan menemukan peran yang sesuai seperti ketika ia masih di Southampton. Hal ini yang kemudian memaksa Louis van Gaal merotasinya beberapa kali.

Alasan kenapa Schneiderlin tidak berkembang adalah karena ia kerap dipasang dengan gelandang bertahan lainnya macam Ander Herrera atau Bastian Schweinsteiger. Sayangnya, karakter kedua pemain ini mirip dengannya. Beda dengan di Southampton ketika ia diproteksi oleh Victor Wanyama, gelandang bertahan lain yang lebih mengandalkan fisik. Tak ayal, ia merasa telah kehilangan jati dirinya sebagai Morgan Schneiderlin ketika bersama United

“Ketika bekerjasama dengan Van Gaal, saya merasa kalau saya bukan menjadi diri saya sendiri. Saat saya menerima bola, saya tidak berpikir seperti apa yang saya pikirkan melainkan seperti apa yang dia (Van Gaal) pikirkan. Ketika Anda terlalu memikirkan banyak hal, saat itulah Anda mulai sering melakukan kesalahan,” tuturnya.

“Dengan dia, saya bermain seperti robot. Dia berkata kepada saya, ‘Anda tidak boleh pergi dari sini dan Anda harus mendapatkan bola di bagian ini. Anda tidak boleh melakukan ini-itu’. Instruksi ini mengganggu saya. Dampaknya adalah, saya menjadi kurang efisien.”

Louis van Gaal akhirnya dipecat pada akhir musim. Pihak klub kemudian mendatangkan Jose Mourinho. Schneiderlin berharap sosok Mourinho bisa mengembalikan lagi kepercayaan dirinya yang hilang di tangan Van Gaal.

Akan tetapi, angan-angan tersebut langsung hilang ketika United mendatangkan Paul Pogba. Justru amarahnya semakin meningkat. Masuknya Pogba membuat posisinya tersingkir dari skuad dan hanya bermain 11 menit saja di kompetisi Premier League.

“Saya marah karena saya tahu kalau saya bisa bermain untuk United setiap pekan. Saya tidak bisa terus-terusan datang latihan, memberikan tanda tangan dan pura-pura bahagia meski kenyataannya tidak. Lebih baik saya nonton teman-teman saya bermain dari rumah.”

Masa-masa terberatnya ketika menangani United harus disudahi dengan cara pindah ke tempat lain. Pada 12 Januari 2017, Schneiderlin kemudian hijrah ke Everton yang saat itu dipegang oleh Ronald Koeman, mantan manajernya di Southampton.

“Saat Anda tidak di bawa ke pertandingan, saat Anda lebih banyak berada di bangku cadangan, dan saat Anda hanya bermain satu menit, itulah akumulasi kalau Anda harus mengatakan cukup.”

“Bersama Koeman, saya juga diberi tahu apa-apa yang harus saya lakukan minggu ini dan mengevaluasi apa yang terjadi pada minggu lalu. Akan tetapi, dia mengatakan juga untuk tidak melupakan siapa saya. Dia tetap mengatakan untuk bermain seperti saya ingin bermain dan memberi saya kebebasan di lapangan,” tuturnya.

Kebahagiaan yang dicari Schneiderlin berhasil ia dapat bersama The Toffees. Dua musim bersama Everton, ia mendapat lebih banyak pertandingan dibanding saat masih bersama United. Akan tetapi, kedatangan Marco Silva membuatnya kembali merasakan fenomena serupa seperti ketika memperkuat United.

Dia bahkan sempat tidak bermain sama sekali dalam rentang Oktober 2018 hingga Februari 2019 karena masalah personal. Schneiderlin kemudian kembali mendapat kebahagiaannya kembali dalam bermain bola ketika memutuskan hengkang ke Nice pada musim panas 2019. Di sana ia kembali menjadi pilihan utama dan masih bertahan hingga sekarang

Tulisan ini dibuat untuk merayakan ulang tahun ke-33 Morgan Schneiderlin yang jatuh pada 8 November