Gagalnya Manchester United dalam menjebol gawang Chelsea di Final Piala FA telah menunjukkan bahwa para penyerang mereka sedang mengalami penurunan performa. Apalagi, sang pelatih Jose Mourinho terlihat seperti tidak punya rencana ketika memainkan Marcus Rashford pada laga tersebut.

Pada pekan yang penuh keringat dan juga sangat melelahkan di Wembley tersebut, hasil akhir musim ini bagi Manchester United sangatlah mengecewakan. Meski sebelumnya, musim ini sempat disebut sebagai musim yang baik untuk United di Premier League. Namun apa daya, pernyataan seperti itu dengan mudahnya sirna setelah Eden Hazard menyelesaikan penalti di babak pertama untuk Chelsea di final Piala FA.

Di samping itu, Chelsea sendiri sebenarnya memiliki musim yang beragam. Dan kemenangan di Wembley pada pekan lalu merupakan sebuah refleksi bahwa pasukan The Blues mempunyai Hazard sebagai pemain terbaik mereka di atas lapangan, yang cukup untuk membuat perbedaan bahkan hanya dalam sekejap saja.

Namun bagi United, hasil itu terasa seperti sesuatu yang lain. Mereka harus cepat-cepat mengobati hasil akhir musim ini dengan ‘dosis obat’ yang cukup untuk menyembuhkan performa mereka di musim depan. Entah bagaimana caranya, tapi  ini tampaknya merupakan refleksi yang tepat untuk merepresentasikan situasi yang sedang dialami United saat ini.

Dari Anfield ke St James ’Park, dari Andalucía ke Ashton Gate, musim United telah menjadi hal yang berat, dengan rasa seperti seluruh energi terperangkap dengan hasil-hasil yang ikonsisten. Hal ini telah menjadi satu-satunya indikasi konstan pasca era Ferguson. Melalui lima tahun dan tiga manajer, tim United terlihat seperti sama saja. Tak ada perubahan signifikan yang membuat para penggemar merasa puas.

Semua harapan yang bersangkut dengan kesuksesan Manchester United, entah bagaimana hal seperti ini malah menjadi sia-sia. Tim Mourinho kini telah mengakhiri musim dengan koleksi tujuh gol dalam delapan pertandingan terakhir mereka. Meskipun, bahkan pada saat-saat yang sudah terbebas dari beban harus meraih gelar juara liga, ada kualitas yang seharusnya bisa ditunjukkan demi tercapainya hasil mengesankan di akhir musim.

Jika ada pemain yang mungkin ingin mewujudkan perjuangan seperti hal itu di Wembley, mungkin sosok Marcus Rashford adalah orangnya. Ia adalah seorang pemain yang tidak pernah takut, yang terus berlari dan berambisi menunjukkan tajinya di laga besar seperti final Piala FA pekan lalu. Meskipun pada kenyataannya, Jose Mourinho tidak terlihat memiliki recana dalam memainkannya di laga besar tersebut.

Dengan absennya Romelu Lukaku, momen itu seharusnya adalah kesempatan bagus bagi Rashford untuk bermain sebagai penyerang tengah. Rashford memang memulai sebagai penyerang tengah melawan Brighton beberapa minggu yang lalu, yang kemudian menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa Mourinho memutuskan memainkannya di posisi tersebut. “Mengapa saya selalu memainkan Lukaku? Sekarang Anda tahu jawabannya,” tutur Mou pasca pertandingan melawan Brighton.

Faktanya, di pertandingan itu (melawan Brighton) Marcus Rashford berbaris tepat di depan Alexis Sánchez, dengan tambahan sebuah instruksi untuk bermain samar-samar dan memanfaatkan seberapa pun peluang yang diberikan dua rekannya di depan. Setelah lima menit dan 30 detik, Rashford justru kehilangan fokusnya dan tidak bisa menguasai perannya di posisi tersebut. Ia justru berlari layaknya penyerang sayap dan bermain tak beratuan. Inilah yang menjadikan alasan mengapa Rashford sulit mendapat kepercayaan untuk bermain di posisi milik Lukaku.

Rashford memang masih berusia 20 tahun, dan di tengah salah satu musim yang sulit, pemain muda sepertinya masih mendapat kepercayaan dari Mou untuk memainkan pertandingan. Meski, bukan sebagai pemain reguler. Namun, bukan itu letak masalahnya. Masalah yang sesungguhnya lebih luas, karena pemain seperti Rashford telah hanyut ke dalam zona mati di mana ia tampaknya tidak yakin peranannya dapat menjadi kunci sukses keterampilan alami yang telah dimilikinya. Para penggemar sangat mengkritik Mourinho dalam hal ini.

Pada hakikatnya, memang ada yang hilang di dalam situasi tersebut. Rashford adalah pemain yang memiliki bakat dan keinginan. Tidak ada yang diragukan lagi dan hal itu memang benar adanya. Namun, hanya saja, rasa jengkel timbul dan mempertanyakan bahwa pemain muda Inggris itu bukanlah pemain ‘nomor 9’ di tim yang siap pakai, dan justru, entah bagaimanapun, Rashford terlihat lebih seperti pemain tim junior yang terlalu dipromosikan. Mourinho selalu tanpa rencana dalam memainkan pemain berusia 20 tahun tersebut.

Tentu saja, jelas sekali mengatakan bahwa Jose Mourinho lebih menginginkan Lukaku di barisan depan United ketimbang Rashford. Pemain seperti Lukaku adalah pemain kesukaan Mou karena sering menyelesaikan peluang dari second ball (peluang bola pantul) dan bertipe predator kuat di area kotak penalti lawan.

Walau terkadang, pemain asal Belgia tersebut kurang berkontribusi lebih dalam mencetak gol untuk timnya di pertandingan-prtandingan besar. Tapi jika kembali mempertanyakan peran Rashford di bawah Mourinho, harus bagaimana lagi pemain sepertinya bermain di dalam tim jika tak ada rencana khusus yang menyertainya?

Sumber:

https://www.theguardian.com/football/2018/may/19/manchester-united-jose-mourinho-marcus-rashford-fa-cup-final