Musim 2015/2016, Manchester United berada dalam kondisi yang begitu memperihatinkan bersama Louis van Gaal. Tersingkir di penyisihan grup Liga Champions, 10 kali kalah di Premier League, serta kerap menunjukkan permainan yang kurang menggigit, membuat posisi akhir Setan Merah saat itu keluar dari zona empat besar.

Di tengah keterpurukan United muncul dua bintang muda yang bersinar sepanjang musim tersebut yaitu Marcus Rashford dan Anthony Martial. Keduanya menunjukkan penampilan yang positif dalam musim pertama mereka. Martial menjadi top skor klub dengan 17 gol sementara Rashford, di usia yang masih 18 tahun, bisa mencetak delapan gol dari 18 pertandingan.

Mereka juga membuat cerita indah yang akan selalu terkenang di benak para pendukung United. Tidak akan hilang dari ingatan kita ketika Martial mengajarkan Martin Skrtel cara bermain bola dengan baik. Begitu juga Marcus Rashford yang mampu mencetak gol debut di setiap ajang yaitu Premier League, Piala FA, Europa League, Derby Manchester, serta pertandingan Internasional. Nama mereka kemudian terdaftar dalam skuat Prancis dan Inggris untuk Piala Eropa 2016 meski tidak memberikan kontribusi yang maksimal.

Akan tetapi, apa yang terjadi dua tahun lalu justru bertolak belakang ketika menginjak tahun 2018. Penampilan mereka naik turun. Sensasi dalam satu laga tidak bisa dilanjutkan dalam laga berikutnya. Yang ada, hujatan serta kritikan datang silih berganti. Yang terbaru, mereka dikabarkan menjadi sasaran kritik dari manajernya sendiri.

Potensi Martial-Rashford Sebagai Pemain Besar

Banyak berita yang muncul kalau salah satu dari keduanya akan dipersilahkan pergi musim panas nanti. United dirumorkan mempersiapkan dana untuk merekrut Willian. Sebuah keputusan yang dirasa penulis begitu terburu-buru dan hanya didasarkan pada emosi sesaat.

Penulis sebenarnya tidak setuju kalau di antaranya keduanya ada yang harus pergi. Maka dari itu, setiap membahas kedua pemain ini, penulis kerap menekankan kata konsistensi sebagai senjata yang harus mereka asah. Karena keduanya punya peluang besar untuk menjadi pemain terbaik dunia suatu hari nanti.

Rashford bisa dibilang adalah generasi striker Inggris berikutnya bersama Harry Kane. Dibanding striker muda lain seusianya macam Dominic Solanke dan Tammy Abraham, Rashford memiliki prestasi yang jauh lebih baik. Saingan Rashford untuk menemani Kane sebagai striker kedua mungkin hanya Jamie Vardy.

Ia dipuji ketika menjadi aktor dibalik kemenangan United melawan Crystal Palace dan Liverpool. Namun, di sisi lain ia dicibir ketika gagal menyelesaikan skema serangan balik muda di laga lawan Leicester dan Bristol City. Saat melawan Brighton, ia kebingungan ketika sudah berhadapan langsung dengan penjaga gawang Brighton.

Di sisi lain, Martial diprediksi menjadi satu dari trio penyerang dahsyat Prancis di masa depan bersama Kylian Mbappe, dan Ousmane Dembele. Namun, dalam pertandingan terakhir, ia kalah bersinar dibanding jagoan tuan rumah, Anthony Knockaert. Meski begitu keduanya punya potensi sebagai pemain besar.

Seperti Kisah Ronaldo-Rooney

Kisah kedua pemain di atas mengingatkan kita pada musim dimana Fergie membangun skuat pasca kesuksesan meraih Premier League musim 2002/2003. Ketika itu, ia mendatangkan Cristiano Ronaldo (2003) dan Wayne Rooney (2004). Keduanya didatangkan untuk menggantikan pemain senior yaitu David Beckham dan Ruud van Nistelrooy.

Baik CR7 dan Rooney dikenal sebagai salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Setan Merah. Jalan berliku pun kerap mereka alami sebelum menanjak sebagai pemain hebat. Tidak jarang keduanya mendapat kritik pedas baik dari media maupun sang manajer sendiri yaitu Sir Alex Ferguson.

Ronaldo datang dari Sporting dan langsung mengemban nomor tujuh sepeninggal Beckham. Media sampai dibuat terkecoh karena dikira Ronaldo yang datang adalah Ronaldo Brasil berambut botak. Musim pertama berseragam merah, CR7 dianggap pemain yang egois. Ia lebih senang memaksakan diri untuk melewati lawan meski tidak dibekali dribel yang bagus. Yang lebih parah, ia dikenal sebagai pemain yang suka diving.

“Musim pertama, CR7 adalah pemain yang banyak ulah. Dia gampang sekali jatuh, keseimbangan dan kecepatannya sangat buruk. Di awal-awal dia pemain yang lebih mementingkan gaya ketimbang kolektivitas tim. Pada awalnya, ia hanyalah pemain yang suka pamer,” tutur Fergie dalam My Autobiography.

Hal serupa juga terjadi saat mendatangkan Rooney semusim kemudian. Si Pele Putih datang dengan label remaja termahal dunia (sama seperti Anthony Martial). Namun, jika CR7 dicap sebagai pemain egois, maka Rooney sempat bermasalah karena temperamennya yang tinggi sehingga kerap mendapat masalah baik di dalam maupun di luar lapangan.

“Rooney adalah pemain yang mampu menguji kesabaran setiap orang di tempat latihan. Saya sering mengkritiknya karena sikap yang ia miliki. Setelah saya kritik, ia pasti akan mengamuk di ruang ganti. Tapi, yang saya suka dari Rooney adalah keesokan harinya ia akan meminta maaf ke saya dan mengatakan, ‘Apakah minggu depan saya akan main bos?’ Saya hanya bisa jawab ‘tidak tahu,” tutur Fergie.

Kedua pemain ini bahkan pernah mendapat kritik secara langsung oleh Fergie di depan media. Kejadiannya terjadi saat menghadapi Sunderland pada musim 2005/2006. Kedua pemain ini mencetak banyak gol musim tersebut tapi ketika melawan tim yang sudah terdegradasi, mereka hanya sanggup bermain imbang 0-0.

“Mereka berdua adalah pemain hebat, tapi pertandingan hari ini adalah pertandingan yang buruk bagi mereka. Mereka berdua benar-benar tampil buruk,” ujarnya saat itu.

***

Akhir dari kisah CR7 dan Rooney berakhir saat keduanya mampu menjadi aktor dalam kesuksesan United meraih gelar liga pertama setelah tiga musim absen pada 2006/2007. Keduanya sama-sama mencetak 23 gol dan menjadi top skor klub. Mereka pun bertransformasi menjadi satu di antara pemain terbaik dunia.

Kritikan Jose Mourinho kepada Martial dan Rashford mungkin membuat mental keduanya mengalami penurunan. Akan tetapi, menurut Ryan Giggs, cara menghadapi hal-hal seperti itu adalah selalu bermain bagus di setiap kesempatan.

“Setiap saya mendapat treatment hair dryer, saya akan berusaha untuk bermain bagus di babak atau pertandingan berikutnya. Jadi, cepat atau lambat dia akan tahu bagaimana cara saya membuat amarahnya hilang,” ujarnya.

Nada serupa juga pernah diungkapkan oleh Sir Alex. “Seorang manajer boleh bersikap dominan di atas para pemainnya. Akan tetapi, begitu juga sebaliknya, pemain juga berhak untuk merasa lebih hebat dari si manajer sampai akhirnya mereka mencobanya di permainan apakah saya benar-benar hebat di mata manajer atau tidak. Karena saya pun akan marah jika mereka tidak melakukan hal yang saya inginkan.”

Martial dan Rashford memang bukan The next Cristiano Ronaldo atau Wayne Rooney. Akan tetapi, mereka berdua bisa mengikuti jejak kedua pemain tersebut. Kritikan yang datang bertubi-tubi bisa dijadikan pelecut untuk menjadi lebih baik lagi. Ditambah usia mereka yang masih di angka 20-an, menegaskan kalau mereka masih punya jalan yang panjang.

Akan tetapi, segala kerja keras perlu diikuti pula oleh rasa sabar apabila mereka benar-benar ingin menjadi legenda di United. Rashford dan Martial harus sabar untuk bisa melalui segala kritikan yang datang, begitu juga para penggemar yang harus sabar dalam melihat perkembangan kedua pemain ini.